25 Nov 2015

Memahami Cara Allah untuk Melatih Diri



 

Kebanyakan orang menggerutu atas kejadian yg tidak mengenakkan yg menimpa dirinya. Padahal menggerutu, mengeluh, atau merasa sial atas itu semua tidaklah membawa manfaat sedikitpun, tidak pula menjadikan permasalahan teratasi, yang ada hanyalah menjadikan stress, tensi darah naik, kulit wajah semakin berkerut dan rasa dongkol yang bertambah-tambah dalam hati yg tentunya tidaklah mengenakkan.

Mengapa tidak mencoba melihat kejadian dan permasalahan yg buruk itu sebagai cara Allah untuk melatih diri kita agar bisa semakin bersabar, semakin berlapang dada dan bijaksana dalam bersikap. Bertindak bijak saat emosi memang agak susah, biasanya sumbu pendek yg lebih sering menang ketimbang sumbu panjang. Ketika kesal, sebenarnya cukup berhenti sejenak, ambil posisi duduk dan renungkan sikap positif apa yg bisa diambil.

Dan yang paling penting, semua yg sudah terjadi itu tidak ada yg sia-sia, tidak ada yg buruk. Semua yg sdh digariskan itu pasti selalu ada hikmah, tinggal kitanya saja bisa mencari hikmah itu atau tidak.
Jum'at barakah, waktu yg baik untuk tingkatkan kualitas amal. Selamat belajar.

24 Okt 2015

Memahami Konsepsi Baiat dalam Islam


Memahami Definisi Bai’at

Secara Bahasa, kata baiat berasal dari kata Baaya’a-Yubayi’u, Bai’an, Mubaya’an Wa Mubaya’atan, yaitu ikatan janji dalam transaksi jual beli, atau ikatan janji atas ketaatan. Dikatakan Baaya’a fulanun mubaaya’atan  yakni ia telah membuat ikatan jual beli bersamanya serta berjabat tangan sebagai tanda sempurnanya dalam ikatan dan keridhaan. Dapat juga berarti Perjanjian dan saling bersepakat, dikatakan baaya’ahu ‘alahi mubaaya’atan yakni saling mengadakan perjanjian. (Lihat:  Tartibul Qamus Al-Muhith Li Zawi, Ashihah Lil  Jauhari, Tajul ‘Urs Liz Zubaidi, dalam Bab Baya’a)

Adapun secara istilah, para ulama dalam mendefinisikan baiat menghadirkan berbagai macam pengertian yang berbeda, yaitu ketika ditinjau dari orang yang melakukan baiat. Apakah bai’at itu muncul dari Ahlul Halli Wal ‘Aqdi sebagai perwakilan dari umat untuk mengangkat khalifah yang telah memenuhi syarat, atau muncul dari pribadi kaum muslimin yang berbaiat kepada khalifah, imam, pemimpin tertentu atau kepada penguasa seperti raja, presiden atau amir yang  memimpin suatu negara, yaitu selama mereka menegakkan syariat Allah dan menerapkan hukum-Nya dan tidak memerintahkan kepada kemaksiatan atau melarang untuk melakukan ketaataan. (Lihat: Ahmad Mahmud Alu Mahmud, Al-bai’ah Fil Islam, hal.20)

Ibnu Khaldun dalam kitabnya Al-Muqaddimah berkata, “Baiat adalah perjanjian terhadap kesetiaan, seolah orang yang berbai’at itu berjanji kepada amirnya untuk menyerahkan kepadanya  segala urusan dirinya dan urusan kaum muslimin. tidak menentangnya sedikit pun serta taat dalam segala urusan yang diperintahkan kepadanya, baik suka maupun tidak.” (Al-Muqaddimah, hal.  299)

Dalil Syar’i Terkait Bai’at
 
Allah ta’ala berfirman: إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ ۚ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ ۖ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ ۚوَمَنْ أَوْفَىٰ بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ ۚفَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ ۚوَذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ


“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 111) 

Ayat ini turun ketika Baiat ‘Aqabah yang kedua, yaitu bai’at kubro dimana yang ikut di dalamnya mencapai tujuh puluh orang sahabat anshar. Mereka berkumpul bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di ‘Aqabah, kemudian berbai’at kepada beliau untuk senantiasa mendengar dan taat, baik dalam keadaan senang atau malas, dalam keadaan susah maupun mudah, selalu menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah segala bentuk kemungkaran, selalu berkata benar tidak takut celaan orang-orang yang mencela dan siap menolongnya jika beliau datang ke Madinah serta melindunginya sebagaimana mereka melindungi dirinya sendiri, istri dan anak mereka, maka bagi mereka balasan syurga jika mereka menepati janjinya tersebut.

Meskipun ayat ini turun pada peristiwa tersebut namun ia tetap berlaku untuk umum, yaitu kepada setiap mujahidin yang berjuang di jalan Allah dari sejak masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari kiamat kelak. (Al-Qurthubi, Jami’ul Ahkam Al-Qur’an, 8/267)

Dalam ayat lain Allah ta’ala juga menyebutkan:

“Sesungguhnya Allah telah rida terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Al-Fath: 18)

Peristiwa bai’at yang disebutkan dalam ayat di atas adalah Baiat Ar-Ridwan yang terjadi pada tahun 6 Hijriah. Tidak diragukan lagi–sebagaimana yang disebutkan para sejarah Muslim–bahwa baiat tersebut bukanlah baiat dalam rangka mendaulat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pimpinan tertinggi kaum muslimin.

Baiat tersebut merupakan sikap pembelaan para sahabat terhadap Utsman bin Affan yang diisukan telah dibunuh oleh kafir Quraisy. Baiat untuk membela darah Utsman bin Affan sampai titik darah penghabisan. (Lihat: Ar-Rahiq Al-Makhtum hal. 298)

حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِى عُبَيْدٍ عَنْ سَلَمَةَ – رضى الله عنه – قَالَ بَايَعْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – ثُمَّ عَدَلْتُ إِلَى ظِلِّ الشَّجَرَةِ ، فَلَمَّا خَفَّ النَّاسُ قَالَ : يَا ابْنَ الأَكْوَعِ ، أَلاَ تُبَايِعُ .قَالَ قُلْتُ قَدْ بَايَعْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ : وَأَيْضًا. فَبَايَعْتُهُ الثَّانِيَةَ . فَقُلْتُ لَهُ يَا أَبَا مُسْلِمٍ ، عَلَى أَىِّ شَىْءٍ كُنْتُمْ تُبَايِعُونَ يَوْمَئِذٍ قَالَ عَلَى الْمَوْتِ

Dari Yazid bin Abi ‘Ubaid, dari Salamah –radhiyallahu ‘anhu– dia berkata, “Aku berbai’at kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– kemudian aku beranjak ke bawah naungan pohon. Tatkala kerumunan manusia (di sekeliling beliau) telah berkurang, beliau berkata, “Wahai Ibn al-Akwa’, tidakkah kau membai’atku?” Aku berkata, “Aku telah membai’atmu, wahai Rasulullah.” Beliau berkata, “Berbai’atlah lagi!” Maka aku pun membai’at beliau untuk kedua kalinya. Aku (Yazid bin Abi ‘Ubaid) berkata kepadanya (yakni kepada Salamah bin al-Akwa’), “Wahai Abu Muslim, atas perkara apakah kalian berbai’at pada hari itu?” Salamah bin al-Akwa’ menjawab, “Atas kematian.” (HR. Bukhari-Muslim)

Kemudian salah satu praktek bai’at yang ditunjukkan oleh sahabat adalah apa yang dilakukan oleh sahabat Ikrimah bin Abu Jahal bersama empat ratus para sahabat lain dalam perang Yarmuk. Dalam peristiwa tersebut, Ikramah menyerukan baiat kepada sahabat yang disekitarnya untuk siap syahid dalam medan tempur (bai’ah ‘alal maut), bai’at ini dilakukan untuk memporak-porandakan musuh yang jumlahnya jauh berkali lipat. Satu hal yang perlu dicatat, dalam peristiwa tersebut, tidak ada satu pun dari para sahabat yang mengingkari baiat yang dilakukan Ikrimah. Padahal Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ketika itu ada seribu sahabat yang ikut dalam perperangan tersebut dan di antara mereka ada seratus sahabat dari ahlu badar. (Lihat: Fathul Bari, 13/63, Bidayah Wan Nihayah, 7/9)
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa baiat adalah ikatan janji yang diikrarkan oleh kaum muslimin kepada pemimpin untuk senantiasa taat dan patuh selama tidak dalam kemaksiatan. Penetapannya telah ada sejak awal adanya Islam itu sendiri.Ia menjadi salah satu mekanisme pengangkatan pemimpin di dalam Islam. Tidak hanya terbatas pada pengangkatan khilafah, praktek baiat juga sering dilakukan kaum muslimin ketika mengangkat orang yang mampu memegang urusan mereka. Wallahu’alam bis shawab! [bersambung]
Macam-Macam Baiat di Masa Rasulullah saw dan Para Sahabat


Dalam hal baiat, berkaitan dengan permasalahan ini, Nabi SAW telah memberi beberapa  petunjuk praktis yang langsung beliau contohkan di hadapan para sahabat. Beliau tidak hanya membaiat mereka untuk masuk Islam, tetapi juga sering mengambil baiat dari mereka untuk menepati beberapa perihal lain dalam berislam. Di antara beberapa praktek baiat yang dicontohkan oleh Nabi SAW adalah sebagai berikut:

1. Baiat masuk islam yang mengharuskan seseorang untuk tunduk kepada berbagai hukum islam

Baiat untuk menetapi Islam adalah jenis baiat yang paling utama. Baiat ini merupakan baiat yang paling banyak diikrarkan para sahabat di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara bentuk baiat tersebut adalah sebagai berikut:

Allah ta’ala berfirman:
“Wahai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidakakan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka serta tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Al-Mumtahanah: 12)

Dari  Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu ia berkata:

بايعت رسول الله صلى الله عليه وسلم على شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، والسمع والطاعة، والنصح لكل مسلم

“Aku berbaiat kepada Rasulullah saw untuk bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, senantiasa mendengar dan taat serta menasihati kepada setiap muslim.” (HR. Bukhari-Muslim)

2. Baiat untuk Memberikan Nusrah dan Ma’unah (Pertolongan dan Perlindungan)
Sejarah mencatat bahwa pada tahun ketiga belas kenabian, Rasulullah SAW mengambil baiat dari utusan kaum Anshar di Aqobah. Ketika itu jumlah mereka mencapai tujuh puluh tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan. Baiat ini dinamakan dengan Baiat Aqabah yang kedua.

Disebutkan bahwa “…Mereka mengadakan perjanjian rahasia dengan Nabi saw di Aqabah, dan pada pertengahan hari Tasyriq, ketika Nabi saw datang menjumpai mereka serta membacakan ayat al-qur’an, menyerukan kepada agama Allah dan memotivasi mereka di dalamnya. Kemudian beliau berkata, “Saya ambil baiat  dari kalian agar kalian melindungi saya sebagaimana kalian melindungi istri dan anak-anak  kalian. Perawi mengatakan, Bara’ bin Ma’rur memegang tangan Nabi saw, kemudian berkata, ‘iya, demi yang telah mengutus anda dengan al-haq, sungguh kami akan melindungi anda sebagaimana kami melindungi  anak dan istri kami,’ Kemudian Rasulullah saw pun mengambil baiat dari kami…” (HR. Imam Ahmad)

 3. Baiat untuk Berjihad di Jalan Allah dan Tidak Lari dari Medan Perang

Allah ta’ala berfirman:

إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنجِيلِ وَالْقُرْءَانِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (itu telah menjadi) janji Allah yang benar di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 111)

Allah ta’ala membeli dari orang mukmin jiwa dan harta mereka dengan tawaran surga. Allah ta’ala juga telah menjanjikan di dalam kitab-Nya terhadap siapa saja yang memenuhi tawaran tersebut. Yaitu dengan berperang di jalan Allah, baik mereka yang membunuh atau mereka yang terbunuh.

4. Baiat untuk Senantiasa Mendengar dan Taat

Baiat ini adalah bentuk baiat yang diikrarkan oleh kaum muslimin ketika hendak mengangkat seseorang untuk menjadi pemimpin mereka. Dari Ubadah bin Shamit RA ia berkata:

 بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّالاَ نَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ

“Kami berbaiat kepada Rasulullah SAW untuk mendengar dan taat, baik dalam keadaan semangat ataupun lemah (berat), dan untuk tidak menentang perintah pemimpinnya serta untuk menegakkan (kebenaran) atau berkata dengan benar di manapun kami berada, tidak takut dalam membela agama Allah dari celaan orang-orang yang mencelanya.” (HR. Bukhari)

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كُنَّا نُبَايِعُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَيُلَقِّنُنَا فِيمَا اسْتَطَعْتَ

Dari Ibnu Umar RA ia berkata, “Kami berbaiat kepada Nabi SAW untuk selalu mendengar dan taat, lalu beliau bersabda menuntun kami, ‘Atas sesuatu yang kalian mampu’.” (HR. Muslim)

 5. Baiat dalam Bentuk Ikatan Janji untuk Melakukan Suatu Amal

Ikrimah bin Abu Jahal adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang terkenal pemberani. Ia termasuk di antara sahabat yang masuk Islam belakangan, yaitu setelah pembebasan Mekkah. Meskipun demikian, ketulusan dan keberaniannya untuk memperjuangkan Islam telah ia ikrarkan sejak pertama kali memeluk Islam.

Ikrimah berkata, “Wahai Rasulullah, aku memohon kepadamu untuk mengampuniku atas setiap permusuhanku terhadapmu, setiap jejak langkahku, setiap kesempatan aku bertemu denganmu, dan setiap perkataan yang aku ucapkan di hadapanmu atau tidak di hadapanmu.”

Diriwayatkan bahwa pada masa Umar bin Khattab, yaitu pada tahun 13 H terjadi perang antara kaum muslimin melawan Romawi atau yang dikenal dengan perang Yarmuk. Dalam perang tersebut Umar mengangkat Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai panglima perang. Ikrimah bin Abu Jahal adalah salah satu pasukan yang bergabung dalam barisan kaum muslimin.

Diceritakan bahwa kaum muslimin ketika itu harus menghadapi musuh dengan jumlah yang tidak berimbang. Untuk mendobrak barisan pertahanan musuh, Ikrimah bin Abu Jahal mengambil baiat kaum muslimin yang siap bertempur sampai gugur. Tercatat sejumlah 400 prajurit membaiatnya untuk siap bertempur sampai mati.

Ibnu Katsir menyebutkan dalam peristitwa tersebut tidak ada satu pun dari para sahabat yang mengingkari baiat yang diserukan oleh Ikrimah. Padahal ketika itu ada seribu sahabat yang ikut dalam perperangan tersebut dan di antara mereka ada seratus sahabat dari Ahlu Badar. (Fathul Bari, 13/63, Bidayah Wan Nihayah, 7/9)

Apakah saat ini kaum muslimin disunnahkan atau diwajibkan untuk berbaiat?

Para ahli fiqih dari kalangan madzhab Hanafi berkata, “Seseorang memberikan perjanjian (baiat) baiat kepada syeikh. Di saat yang bersamaan dia memberikan baiat kepada Syeikh yang lain. Dari dua perjanjian itu manakah yang mengikat? Mereka menjawab bahwa tidak ada satu pun yang mengikutnya. Hal itu tidak berdasar.”

Berdasarkan keterangan ini maka setiap baiat yang diterima oleh para syeikh dari para muridnya atau yang diterima para pemimpin dari pengikutnya tidaklah bersifat mengikat. Meski demikian, baiat untuk melakukan amal shalih, maka seseorang boleh mengambilnya dari siapapun. Keduanya tidak lalu terikat secara individu.

Zaman sekarang tahta khilafah telah tiada. Para Fuqoha madzhab Syafi’i telah menulis bahwa dalam keadaan seperti ini hukum khilafah diberikan kepada orang yang paling alim di zamannya. Sementara madzhab Hanafi berprinsip bahwa seseorang tidak dianggap khalifah kecuali setelah seluruh perintahnya dipatuhi, yakni setelah kekuasaan eksekutif dimiliki. Sebelum hal ini terwujud, maka baiat yang diakui hanyalah baiat amal. (Membina Angkatan Mujahid, Said Hawwa, hal. 131– 132)

Ketidak-beradaan kholifah kaum muslimin menjadikan baiat tidaklah wajib dilakukan oleh setiap muslim namun demikian baiat (amal) ini perlu dilakukan oleh seseorang yang ingin beramal islami memperjuangkan islam dan kaum muslimin sebagai peneguhan dan bentuk keseriusan.

Dalam keadaan sekarang ini hendaklah seseorang  memahami secara baik kepada siapa dia berbaiat, artinya hendaklah baiat tersebut dilakukan atas dasar ilmu dan pemahaman tidak atas dasar emosional atau hawa nafsu.

Hendaknya ia mempelajari terlebih dahulu secara baik tentang jamaah yang dipimpin oleh orang yang akan dibaiatnya: bagaimana aqidahnya? Adakah hal-hal penyimpangan di dalamnya? Bagaimana prinsip-prinsip da’wahnya? Apa tujuan da’wahnya? dan lain-lain. Sehingga tidak memunculkan penyesalan di akhir dikarenakan kekurang-jelian dalam melihat dan mempelajari jamaah yang akan diikutinya.

Ketika seseorang memberikan baiatnya kepada seorang pemimpin dalam suatu jamaah maka ia diharuskan mentaati dalam amal-amal kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Namun ketaatan tersebut bukanlah ketaatan yang tanpa ilmu (taqlid) karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya haruslah di atas dari ketaatan kepada yang lainnya. Karena baiat ini adalah baiat amal maka tidak ada keterikatan antara seorang pengikut dengan pemimpinnya, sebagaimana penjelasan di atas.

Kesimpulan

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa praktek baiat yang pernah ada pada masa Nabi saw dan para sahabat tidak hanya dilakukan dalam urusan pengangkatan imam atau khalifah. Namun selain berbaiat untuk mengangkat khalifah, para sahabat juga sering mengikat baiat mereka kepada seseorang yang dipercayai bisa memimpin perjuangan mereka untuk mencapai tujuan tertentu.

Baiat dalam rangka melakukan ketaatan kepada Allah merupakan hal yang sudah biasa dipraktekkan oleh para sahabat nabi saw, para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat pada masa salafush shalih. Bukan hanya di depan para penguasa, namun ikatan tersebut kadang mereka diberikan kepada seseorang yang diyakini dapat menegakkan kebenaran dan mampu menghapus setiap kemungkaran.

Tentunya konsekuensi baiat dalam hal ini berbeda dengan konsekuensi yang ada pada baiat Kubra, yaitu baiat kepada amiiul mukminin atau khalifah kaum muslimin. Namun ia hanya ibarat sebuah janji setia yang lazim dilakukan setiap orang, bukan sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap muslim, seperti layaknya baiat Kubra yang hanya diperuntukkan kepada khalifah atau penguasa tertinggi umat Islam.


Pada akhirnya kita pun berkesimpulan bahwa perihal baiat tidak selalunya pada urusan pengangkatan imam atau khalifah kaum muslimin. Baiat hanyalah salah satu instrumen umat Islam untuk mengikat janji setia terhadap kepemimpinan seseorang. Baik dalam skala global maupun dalam lingkup yang lebih kecil. Dan pastinya, konsekuensi hukum yang dilahirkan dari masing-masing baiat tersebut tidak sama. Akan tetapi berbeda-beda sesuai  akad dari baiat yang diucapkan.

*disadur dari berbagai sumber : eramuslim, kiblat.net, dll

22 Okt 2015

Mau Masuk Salafi Mana?

 
Realita yang memilukan.
  • Syaikh Yahya Al-Hajuri (murid senior Syaikh Muqbil) mentahdzir Ustadz Luqman Ba'abduh CS. 
  • Ustadz Dzulqarnain dan Ustadz Afifuddin mentahdzir Ustadz Firanda Andirja dan Radio Rodja. 
  • Ustadz Luqman Ba'abduh mentahdzir Ustadz Dzulkarnain CS dan memfatwakan bahwa Dzulkarnain CS adalah MLM (Mutalawwin La'ib Makir). 
  • Ulama muda Salafi dari madinah, yakni Syaikh DR.Abdullah Al-Bukhari menyebut Syaikh Muqbil Bin Hadi Al-Wadi'i khawarij, meyebut Ust.Firanda Dajjal, menyebut Ust.DR.Ali Musri pendusta khabits. 
  • Ustadz DR.Ali Musri di tahdzir Ustadz Luqman Ba'abduh, sedangkan Ust.Luqman Ba'abduh di katakan MALING oleh Ustadz Ali Musri karena pernah mencuri kitab seharga kurang lebih 200 juta. 
  • Ustadz Agus Hasan Bashori dan Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi di tahdzir oleh Ustadz Abdurrahman At-Tamimi dan di vonis sebagai Sururi. 
  • Sedangkan Ustadz Abdurrahman at-Tamimi CS di tahdzir sebagai Hizbi oleh para pengikut Ustadz Faisal Usamah Mahri CS. 
  • Ustadz Indra Al-Medani, Syaikh Utsman Shalih Al-Ifriki, dan Salafi STAI Aly As-Sunnah medan di tahdzir oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Medani CS dan dianggap sebagai Hizbi, manhajnya tidak jelas, dst. 
  • Syaikh Salim Bin 'Ied Al-Hilali dituduh pencuri oleh mereka yang kontra Syaikh Yahya Al-Hajuri. 
  • Syaikhain Ibnai Bazmul (dua bersaudara) mentahdzir Syaikh Ali Hasan Al-Halabi. 
  • Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali menyebut Syaikh Ali Hasan Al-Halabi sebagai ahli bid'ah dan mentahdzirnya. 
  • Sedangkan Syaikh Falih bin Naafi' Al Harbi mentahdzir Syaikh Rabi'. 
  • Di Mesir juga demikian, dua murid Syaikh Al-Albani yakni Syaikh Muhammad Hasan dan Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini disebut mubtadi' (ahli bid'ah) oleh murid-muridnya Syaikh Muqbil. 
  • Ulama sekaliber Syaikh Ibnu Jibrin ditahdzir oleh Syaikh Yahya An-Najmi sebagai ikhwani (ikhwanul muslimin). 
  • Ulama Salafi Syaikh Hasan bin Abdullah Qu'ud menyindir Syaikh Rabi' bahwa bahasa Arab Sayyid Quthub sekelas mahasiswa sedangkan bahasa Arab Syaikh Robi' masih sekelas anak-anak i'dadi (pemula). 
  • Syaikh Abdul Aziz bin Manshur Al Kinani mentahdzir Syaikh Robi: dan membuat kitab khusus membantah "kesesatan" Syaikh Robi' berjudul Ar-Raddu 'Alal-Ad'iyatis-Salafiyah setebal 239 hal. 
  • Syaikh Abu Utsman As-Salafi mentahdzir Syaikh Robi' dengan menulis kitab khusus berjudul "61 Ashlan Faasidan lifirqati murji'ah al khuluf: Ra-Rabi'iyun".
Demikianlah faktanya. Lantas, ke "Salafi" mana saya harus masuk ? Semuanya mengaku paling SALAFI dan selainnya adalah Ahli Bid'ah, Hizbiyyah, dholaalah, dll. !!?? 
  • Kalau saya masuk Salafi Rodja, saya di tahdzir oleh Salafi Dzulkarnain. Padahal Ust.Dzulkarnain adalah murid yang diakui oleh Syaikh Shalih Fauzan. 
  • Kalau saya masuk Salafi Ustadz Dzulkarnain, saya di tahdzir oleh Salafi Luqman Ba'abduh. Padahal Ust.Luqman Ba'abduh adalah murid Syaikh Muqbil dan diakui oleh Syaikh Robi'. 
  • Kalau saya masuk Salafi Ustadz Luqman Ba'abduh, saya di tahdzir oleh Salafi Syaikh Yahya Al-Hajuri. Padahal Syaikh Yahya Al-Hajuri adalah pewaris utama dakwah Syaikh Muqbil Bin Hadi Al-Wadi'i di markaz dakwah darul hadits, dammaj, yaman. 
  • Kalau saya masuk Salafi Ust.Abdullah Hadrami, Ust.Agus Hasan Bashori, Ust.Khalid Basalamah, Ust.Ahmad Rofi'i, saya di tahdzir oleh Salafi STAI Ali Bin Abi Thalib surabaya. 
  • Kalau saya masuk Salafi STAI Aly As-Sunnah medan, maka saya di tahdzir oleh para pengikut Abu Ihsan Al-Medani CS. padahal STAI Aly As-Sunnah medan itu punya silaturahmi baik dengan Bpk.Patrialis Akbar (Mantan Menkuham) dan menjalin kerjasama Dakwah.
Lantas, manakah Salafi paling murni ?? Manakah Salafi sejati yang murni 24 karat ? 
 
Bersambung . . . 

Catatan bersama MTYT


Bersama keluarga besar MTYT Taipei dalam kajian rutin bulanan, kali ini membahas tentang kemuliaan Bulan Muharram dan meluruskan ritual tradisi kaum muslimin di bulan Suro.

Berikutnya, bagi rekan mahasiswa dan siapa saja yang ingin bergabung bisa datang pada hari Ahad, tiap pekan ke-4 jam 14.00 di Taipei Grand Mosque.

Pertemuan kali ini terasa istimewa karena kami kedatangan saudara baru. Bapak Wang, salah seorang warga asli Taiwan telah resmi berikrar dua kalimat syahadat dan kini berganti nama menjadi Muhammad Wang.

Salah satu alasan yang menjadikan beliau mantap memeluk agama islam adalah karena konsep ketuhanan dalam islam yang logis dan rasional, yakni Tuhan yang satu yang tidak perlu disimbolkan atau digambarkan dengan sesuatu apa pun juga.

Semangat berpikir rupanya telah mengantarkan beliau mendapat hidayatul al 'Aqal (hidayah melalui akal), dan biasanya orang yang masuk islam karena berpikir akan memiliki semangat yang baik dalam berislam ke depannya.

Semoga beliau bisa teguh dalam keimanan dan mampu istiqomah dalam menjalankan syariat islam secara kaffah sehingga bisa menjadi tambahan kekuatan kaum muslimin untuk menyampaikan risalah dakwah islam di bumi Formosa.

Neraka, Dragon Ball, dan Shinto

 
-Intermezzo-

Barusan liat dragon ball movie fukatsu. Di situ Freeza yg hidup kembali, bercerita soal pengalamannya ketika disiksa di neraka.

Freeza berkata pada menit 54:38, "Neraka bumi memang mengerikan. Tak hanya kekuatanku yang dihilangkan. Aku dibalut seperti kepompong, dan digantung di tengah padang bunga dengan tempat yang cerah di mana ada malaikat dan peri tinggal. Dan bersamaan, aku harus menyaksikan boneka yang imut dan lucu, menari-nari dan bernyanyi."

Ini menarik, sebab apa yg diucapkan Freeza tersebut senada dengan Sabda Rasullullah SAW saat menggambarkan keadaan surga dan neraka.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Surga itu diliputi dengan hal-hal yang tidak menyenangkan, dan neraka itu diliputi hal-hal yang menyenangkan." (HR. Muslim IV/2174 no.2822, At-Tirmidzi IV/693 no.2559, dan Ahmad III/284 no.14062)

Dari ini muncul pertanyaan, apakah agama Shinto yang menjadi kepercayaan mayoritas masyarakat Jepang itu juga meyakini konsep surga, neraka, dan akhirat? Jika iya, mungkinkah konsep surga dan neraka mereka sama dgn islam?

*Rileks sejenak sambil persiapan menikmati malam minggu.

http://www.indoakatsuki.net/watch.php?vid=7f09c9d5d

Mustahil Membuat Semua Orang Suka Terhadapmu

Sekedar kembali mengingat, bahwa sebaik apapun usahamu, niat baikmu untuk memberikan kebaikan kepada orang lain, akan tetap ada saja orang yang menyelisihimu, kecewa pada pendapatmu, mengeksploitasi celah kekuranganmu dan menjadikannya sarana untuk mencelamu.

Maka, merupakan kemustahilan jika engkau ingin membuat semua orang setuju terhadap pendapat dan sikap-sikapmu. Cukup lakukan saja sesuatu yang Allah suka, lalu yang datang entah itu pujian atau cacian, abaikan saja. Kembalikan semua ke Allah, niscaya hati akan menjadi tenang.

Jum'at Mubarak.

Jangan lupa sertakan doa terbaik kita di penghujung hari Jum'at ini untuk saudara-saudara kita kaum muslimin dan mujahidin di syams (khususnya Palestina dan Suriah) agar tetap diberi kekuatan dan kesabaran serta konflik yang berkepanjangan dapat segera berakhir dengan kemenangan di tangan kaum muslimin.

"Hari Jum'at itu dua belas saat. Tidak ada seorang muslim pun yang memohon sesuatu kepada Allah dalam waktu tersebut melainkan akan dikabulkan oleh Allah. Carilan (saat pengabulan itu) pada akhir saat setelah Ashar." (H.R Abu Dawud, An-Nasa'i, dishahihkan oleh An Nawawi dan Al Albany)

13 Okt 2015

Sebenarnya, dia di mana?




Sebenarnya, dia di mana?

Jika dia di seberangnya lautan, maka tak cukup sekedar berteriak dan memanggil namanya. Jika dia ada di langit, maka untaian pinta sang doa adalah cara terbaik untuk meraihnya. Dan itu semua harus diperjuangkan.

Jauhnya jarak terbentang seyogyanya tak lekas membuat diri terhempas. Laut dan langit yang tertatap, tetaplah sama bukan? Ataukah sudah berbeda?

Kun anta tazdada jamala...

Jaga Niatmu, Jangan Sampai Pahala Hangus Gegara Status


Alhamdulillah, hari ini aku sudah menyelesaikan amalan sunnah baca surat al kahfi. Tadi juga udah selesai sholat dhuha. Setelah ini mau berangkat ke masjid untuk sholat Jum'at. Semoga berkah smile emoticon

Sungguh amalan yg bagus nan agung. Namun sayangnya semua itu aku tuliskan untuk update status. Hingga kemudian banyak jempol dan komentar yg berdatangan. Aku pun sumringah. Tanpa terasa diriku telah membuat seekor setan kecil dipojok sudut sana ketawa cekikikan kegirangan lantaran senang akibat hangusnya ganjaran pahala ibadah seorang anak manusia.

16 Sep 2015

Catatan Awal Dzulhijah 1436


Alhamdulillah, dari hasil sidang isbat Kemenag kemarin, tanggal 14 September sore petang ini sudah masuk tanggal 1 Dzulhijah. Dengan demikian puasa Arofah akan jatuh pada 23 September 2015 dan Idul Adha pada Kamis, 24 September. Keputusan ini sama dengan yang ditetapkan dengan Kerajaan Saudi.
Dan perlu diingat bahwa terakhir kali memotong kuku dan rambut bagi yang sudah niat berkurban adalah sore ini saat sudah masuk waktu maghrib. Larangan tersebut berlaku hingga hewan qurban disembelih.
Sudah jamak diketahui bahwa 10 hari pertama Dzulhijah merupakan hari-hari yang utama. Maka sebaiknya kesempatan ini bisa dijadikan sbg momentum titik baliknya iman dan amal sholih yg dulu sempat loyo pasca Ramadhan. Memperbanyak puasa dan istighfar pada rentang waktu itu, serta bertakbir muthlak (yang dilakukan pada setiap saat, siang ataupun malam sampai matahari terbenam tanggal 13 Dzulhijah) dan juga takbir muqoyyad (yang dilakukan setiap selesai sholat fardhu dari sejak pagi hari ‘Arafah setelah shalat Subuh 9 Dzulhijah sampai shalat Ashar akhir hari Tasyriq 13 Dzulhijah) adalah sebagian contoh amalan afdhol pada bulan Dzulhijah selain Haji dan Qurban.
Semoga para jamaah haji dapat kembali ke tanah air dengan selamat dan menjadi haji mabrur. Musibah yang kemarin terjadi di tanah suci seyogyanya bisa menjadikan ibadah haji semakin khusyuk dan semakin menyadarkan bahwa manusia itu lemah dan tak berdaya dihadapan Rabb-nya. Semoga berkah, dan selamat memilih kambing

3 Sep 2015

Benarkah Khalifah Umar Melabrak Teks? (Studi Kasus Potong Tangan Bagi Pencuri)

 
Para pengusung liberalisme di Indonesia seringkali menjadikan tokoh Khalifah Umar sebagai rujukan dalam mengekspresikan ide-ide mereka sehingga “ijtihad”-nya terasa mendapatkan legitimasi. Menurut mereka, Umar adalah seorang rasionalis sejati. Ijtihad Umar yang selalu mempertimbangkan konteks historis turunnya ayat dan pertimbangan kepentingan umum (al-mashlahah al-mursalah) sangat mewarnai perjalanan kepemimpinannya.

Mashlahah dan maqashid syari’ah yang mereka dengung-dengungkan sekilas lalu tidak ada problem karena konsep ini adalah salah satu “pusaka” para mujtahid dalam ber-istinbath. Namun dalam tataran praktisnya, di tangan mereka (orang-orang liberal), pusaka ini menjadi senjata beracun yang membuat mereka berani mengutak-atik wilayah yang sudah qath’i sehingga meracuni para pembaca.

Dengan mengusung kaidah ushul fikih “al-ibrah bi al-maqashid la bi al-alfadz” (yang menjadi pertimbangan adalah tujuan bukan lafadz) atau “jawaz naskh al-nushus bi al-mashlahah” (bolehnya penghapusan nash-nash dengan mashlahah), tanpa mereka sadari, sesungguhnya mereka telah membangun “tuhan” baru bernama “akal”. Mereka kemudian memunculkan kaidah “tanqih al nuhush bi al-‘aql al-mujtama’. [baca Ahmad Sahal, Umar bin Khaththab dan Islam Liberal, dalam luthfi assyaukanie (ed), wajah liberal islam di indonesia, hal: 4-5].

Kaidah ini hendak menyatakan bahwa akal publik memiliki kewenangan untuk menyulih dan mengamandemen sejumlah ketentuan “dogmatik” agama menyangkut perkara-perkara publik. Sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan bunyi harfiah teks ajaran, maka akal publik berotoritas untuk mengedit, menyempurnakan, dan memodifikasikannya.[ Counter Legal Draft KHI, Pembaharuah Hukum Islam: Kompilasi Hukum Islam Perempuan, dalam pendahuluan, hal: 17-18]

Padahal ada tiga unsur dalam ushul fiqih. Pertama, ma’rifah dala’il fiqhi (pengetahuan tentang dalil-dalil fiqih), kaifiyah al-istifadah (metodologi penggunaan dalil), dan hal mustafid (kriteria mujtahid). Tiga definisi tersebut kita bisa mengetahui, mana yang termasuk ushul fiqih dan mana yang bukan.

Sedangkan kaidah si penulis liberal sejak awal justru mengajak untuk meninggalkan lafadz-lafadz (dalil), baik dari al-Qur’an atau as-Sunnah. Jadi, sangat jelas, kaum liberal umumnya tidak memahami makna ushul fiqih, dan batasan-batasan definisinya. Dan yang kedua, umumnya mereka (dengan keterbatasan ilmu) sok ingin membuat kaidah layaknya para ulama mujtahid. Padahal kualifikasinya tidak layak melakukan ijtihad.

Pertanyaannya, benarkah khalifah Umar sering melabrak teks?

Satu hal yang tidak banyak diperhatikan terhadap khalifah Umar adalah kedudukannya waktu itu. Ketika banyak melakukan ijtihad, Khalifah Umar waktu itu berfungsi sebagai penguasa, ini berbeda dengan Khalifah Ali yang berfungsi sebagai hakim (qadhi) atau Ibnu Mas’ud yang berfungsi sebagai guru.

Perbedaan fungsi itu telah melahirkan gerak ijtihad yang berbeda. Umar dalam proses pengambilan keputusannya sering dihadapkan kepada soal-soal yang rumit dan mendesak. Situasi perang sedang terjadi dan bergolak ketika menghadapi tentara Romawi dan Persia.

Yang perlu diperhatikan lagi adalah keunikan Umar dalam potensi intelektualnya. Ia cenderung “revolusioner”, tanggap baliknya cepat dalam menyelesaikan masalah tertentu. Kedudukan dan fungsi inilah yang sering dilupakan orang sehingga ia sering menjadi bulan-bulanan “kambing hitam”, padahal dalam kajian-kajian fiqh sering kita peroleh bahwa Umar merujuk kembali kepada nash. Dalam kitab “Al-Muhalla” karya Ibnu Hazm diceritakan bahwa dalam kasus mahar dan tanah Iraq, Umar merujuk kembali kepada nash.[ Prof. KH. Ali Yafie, “Sistem Pengambilan Hukum oleh Aimmatu al-Madzahib” tanggapan atas tanggapan Jalaluddin Rakhmat, dalam Abdurrahman Wahid, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia.]

Disamping itu, Khalifah Umar sebagai penguasa tentunya tetap memegang teguh hadist nabi ”kullukum ra’in wa kullukum mas’uluun ‘an ra’iyatihi, sehingga dengan penuh kesadaran dan kehati-hatian, ia memperlakukan rakyatnya dengan seadil-adilnya. Bahkan dalam gerak ijtihad-nya, ia senyatanya tidak melawan teks akan tetapi mengamalkan teks yang lain yang dianggap lebih sesuai dengan masa dan kebutuhan rakyatnya. Ia juga melahirkan gagasan-gagasan baru tidak semata-mata karena ia mempunyai otoritas kebijakan. Hal ini terbukti, dalam banyak ijtihadnya ia banyak melibatkan para sahabat dengan cara bermusyawarah.

Tidak memotong tangan pencuri

Di bawah ini ada kasus ijtihad khalifah Umar. Dalam “al-Syaikhan” (Bukhari Muslim), disebutkan bahwa di akhir tahun ke delapan belas Hijriyah, masyarakat Arab di Hijaz, Tihana dan Najd mengalami musim kemarau panjang atau masa paceklik. Selama sembilan bulan tidak turun hujan padahal hujan menjadi sumber kehidupan mereka. Ada riwayat yang mengatakan bahwa pada masa inilah Khalifah Umar tidak menjatuhkan hukuman potong tangan terhadap pencuri.

Diriwayatkan oleh Qasim bin Abdurrahman bahwa ada seorang laki-laki yang mencuri harta Baitul Mal, lalu Sa’ad bin Abi Waqas menulis surat kepada khalifah umar perihal laki-laki tersebut. Umar pun membalas surat Sa’ad yang isinya pelarangan potong tangan bagi pencuri karena ia menganggap pencuri itu mempunyai hak terhadap harta Baitul Mal.

Bahkan Imam Malik dalam kitab “al-Muwatta’”-nya meriwayatkan bahwa Abdullah bin Amr al-Hadhrami datang mengadu kepada khalifah Umar perihal budaknya yang mencuri cermin putrinya yang harganya 60 dirham, tapi jawaban khalifah Umar ketika itu, “Lepaskanlah dia, tiada pemotongan baginya.” Dan masih banyak riwayat yang lain.

Ada sebagian orang yang beranggapan bahwa dalam kasus di atas, Khalifah Umar seolah menafikan ayat tentang perintah potong tangan untuk pencuri (al-Maidah/38) padahal ayatnya sangat jelas. Bahkan, Rasulullah pernah bersabda: ”Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya Muhammad benar-benar memotong tangannya.” Lalu pertanyaannya, benarkah Khalifah Umar menafikan nash? Maka jawabannya sama sekali tidak benar. Karena jika kita memahami definisi pencuri, maka orang yang mengambil harta pada tahun paceklik tidak bisa dikatakan pencuri (saariq), karena ia mempunyai hak terhadap apa yang ia ambil. Sebagaimana yang kita fahami bahwa yang dikatakan pencuri adalah orang yang mengambil harta milik orang lain atau bukan haknya dengan cara sembunyi-sembunyi.

Maka sangat beralasan jika khalifah Umar tidak memberi sanksi dengan potong tangan kala itu. Di samping itu, mengingat motivasi mencuri ketika itu masih syubhat, antara mencuri dengan disengaja atau karena darurat. Maka berlakulah kaidah umum yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas bahwa Rasulullah bersabda: “Idrra’uu al-hudud bi al-syubuhat.” (Tinggalkanlah sanksi sebab adanya syubhat). Atau kaidah umum yang diriwayatkan Abu Daud dan Nasa’i dari Aisyah bahwa Nabi bersabda: “Tangguhkanlah sanksi terhadap orang Islam semampumu. Jika ada jalan keluar, maka biarkan mereka melewati jalan itu.”

Sesungguhnya pemerintah yang salah di dalam memaafkan lebih baik dari pada salah dalam pelaksanaan sanksi. [Muhammad Muhammad Madani, “Nadzaraat Fi Ijtihadaat al-Faruq Umar bin Khatthab”, (bairut: darr an-nafais), hal: 70-72]

Dalam kasus di atas dapat disimpulkan bahwa pendapat Khalifah Umar tidak melaksanakan hukuman potong tangan karena ia meneliti subjek pelakunya yang berada dalam keadaan darurat, yaitu kesulitan mendapatkan makanan ketika itu. Dalam kitab fiqh, Umar juga disebutkan “Barang siapa yang mencuri dalam keadaan darurat hendaklah meninggalkan sanksi karena terdapat perkara yang syubhat dan hendaklah membolehkan perkara yang diharamkan karena darurat (al-dharurah tubiihu al-mahdhuraat). (Ruwai’I bin Rajah al-Ruhaili, “Fiqh Umar Ibn Khaththab”, Beirut; Dar al-Gharb al-Islami, 1403 h0 juz 1, hal 2915).

Oleh karena itu, dalam kasus pencurian yang masih syubhat, Khalifah Umar mengamalkan hadits Nabi dan sama sekali tidak bertentangan dengan al-Maidah ayat 38. Selain itu, sesungguhnya semangat hukuman dalam Islam adalam lebih banyak memberi ampunan dan tidak mudah memberi hukuman. Namun tidak berarti para khalifah seperti Umar dianggap melabrak/melawan teks al-Quran. Wallahu a’lam.

Oleh: A. Wafi Muhaimin
Penulis adalah Kandidat Master Ushul Fiqh, International Islamic University Malaysia, aktiv di Islamic Studies Forum for Indonesian (ISFI)

1 Sep 2015

Bila Saat Ini Kita Sendirian, Tidak Apa-Apa Kan?


Sebenarnya sudah kucoba. Ku tengok luasnya lautan, dan ku seberangi jauhnya benua. Ku pandang jauh rumah dan gedung yang tinggi itu, bahkan hingga sampai ke sudut kota. Tapi, mengapa tak kunjung juga aku jumpa dirimu?

Aku terus mencarimu. Menyusuri ramainya ibu kota, menyisir teriknya pasir pantai, hingga ku tekuni jalan setapak di pematang sawah itu. Tapi, belum juga aku menemukanmu.

Aku masih mencarimu. Bahkan terus ku cari pada lantunan harap bait dan do'a. Sekali lagi di mana kah dirimu?

Tak apa saat ini kita belum berjumpa. Tapi ku yakin, kita akan bertemu di masa depan. Bila saat ini kita sendirian, tidak apa-apa kan?

*dari seberkas cahaya,
catatan terik senja di bawah langit negeri Sakura.

29 Agu 2015

ITS : Gerakan Cinta Subuh !

 
 
Kabar gembira datang dari tanah air tepatnya di (eks) almamater, kampus perjuangan ITS Surabaya wa bil khusus dari masjid Manarul Ilmi. Setelah beberapa waktu lalu TL sempat gempar lantaran foto jamaah sholat dhuhur di ITB, sekarang muncul foto gerakan sholat subuh berjamaah di masjid kampus Manarul Ilmi ITS.
 
Gerakan cinta subuh di ITS ini dimotori dan dikampanyekan langsung oleh rektor ITS, Prof. Ir. Joni Hermana, M.Sc.ES. Ph.D yg berkolaborasi dengan institusi BEM ITS serta Lembaga Dakwah Kampus JMMI ITS.
 
Beliau tak malu menyampaikan bahwa gerakan ini terinspirasi dari kebijakan pemerintah Turki yang mampu bertransformasi menjadi negara mandiri tanpa bantuan pinjaman dari luar negeri. Hal itu dilakukan oleh pemerintah Turki melalui tiga program nasional mereka, yakni gerakan sholat subuh di masjid, gerakan infaq sodaqoh dan gerakan ekonom umat.
 
"Saya ucapkan mohon maaf sebesar-besarnya karena harus berangkat di sepertiga malam terakhir. Namun, saya ucapkan selamat karena Anda berhasil melawan kantuk dan malas. Sesungguhnya inilah esensi spiritual ketika kalian masuk pertama kali di ITS, bukan hanya mengejar gelar, namun Anda mengawali kuliah di ITS ini untuk mencari ridho Allah swt." (Hermana, 2015)
 
Program yang tadi diikuti oleh lebih dari 5000 jamaah sholat subuh itu juga diisi tausiyah oleh Ustadz Budi Ashari, da'i kondang pengisi acara Khalifah TRANS 7.
 
Kami berharap kebijakan dan gerakan ini bisa ditiru oleh seluruh kampus di Indonesia. Semoga ke depan gerakan sholat subuh berjamaah ini bisa istiqomah serta dapat dilakukan secara sadar oleh setiap individu muslim secara umum. Sebab, ummat islam tak akan menang dan mencapai puncak kejayaan sebelum jumlah jamaah sholat subuh sama dengan jumlah jamaah sholat Jumat !
 
‪#‎SelamatBerjuang‬.

Jamaah Tabligh, Al Ikhwan Muslimun atau Salafiyyun?




Samahatu As-Syaikh Abdulaziz bin Baz rahimahullah ditanya:

“Engkau mengetahui wahai Syaikh fenomena yang terjadi saat ini, munculnya beraneka ragam jamaah, seperti jamaah tabligh, jamaah ikhwan, salafiyyah dan jamaah yang lainnya. Setiap dari jamaah itu mengklaim bahwa mereka lah yang benar dalam mengikuti sunnah. Oleh karena itu wahai syaikh, jamaah yang manakah yang berada diatas kebenaran? Siapa yang harus kita ikuti dari mereka? Sebutkanlah namanya? Jazakallahu khairal jazaa`”

Beliau menjawab: 

Engkau telah mendengar dalam ceramah dan komentarnya, siapakah jamaah yang layak untuk diikuti. Jamaah yang wajib untuk diikuti dan diterima manhajnya adalah para penganut jalan yang lurus, mereka pengikut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para pengikut Kitab dan sunnah yang mengajak kepada kitabullah dan sunnah rasul-Nya ‘alaihish shalaatu was salam.
 
Adapun jamaah-jamaah yang lainnya, hendaknya engkau tidak mendengar dari mereka kecuali yang sesuai dengan kebenaran, baik itu dari kalangan ikhwan muslimun, jamaah tabligh, anshor sunnah atau dari orang-orang yang mendakwa bahwa mereka salafiyyun, jamaah islamiyyah atau yang lainnya, apa pun nama yang mereka gunakan, atau yang juga menamai diri mereka sebagai ahli hadis, mereka hanya diikuti dalam kebenarannya saja. Jika mereka sesuai dengan dalil diikuti, jika tidak maka ditolak. 

Kita katakan, “tidak, ini kesalahan yang ada pada kalian.” Atau “Kalian telah keliru dalam masalah ini.” “Kami sepakat dalam urusan yang sesuai ayat atau hadis, yang menyepakati ijmak para ulama dan ahli sunnah wal jamaah. Adapun perkataanmu yang ini, atau perbuatanmu yang itu, hal ini telah menyelisihi kebenaran.”

Inilah yang dikatakan ahli ilmu tentang mereka. Ahli imu yang mengetahui jamaah-jamaah islamiyyah ini: jamaah tabligh, jamaah ikhwan, jamaah anshor sunnah, jamaah salafiyyah. Ahli ilmu yang berpegang kepada al Qur`an dan sunnah, yang mendalami agama melalui al Kitab dan sunnah, mereka lah yang mengetahui rincian dari jamaah-jamaah ini. Seluruh jamaah-jamaah ini memiliki sisi kebenaran dan kebatilan. Tidak ada yang maksum. Akan tetapi, kebenaran itu adalah yang berdiri diatas dalil. Maka, yang sesuai dengan dalil al Qur`an dan sunnah Rasul-Nya dari jamaah-jamaah ini, atau dari madzhab Hanbali, Syafi’I, Maliki, Dzahiri, Hanafi atau yang lainnya, itulah yang benar.”
 
[Dikutip dari “Al Fiqhu Fid Din” hal. 67 - 68, transkrip Muhadhoroh Syaikh Shaleh al Fauzan hafidzahullah dan Ta’liq Syaikh Bin Baz rahimahullah]

7 Fakta Ilmiah Seputar "Isbal"


Berikut 7 fakta ilmiah seputar isbal :

  1. Para ulama sepakat bahwa isbal yang disertai kesombongan haram hukumnya.
  2. Masalah Isbal yang tidak disertai kesombongan merupakan wilayah khilafiyyah Ijtihadiyyah.
  3. Pendapat arus utama dalam setiap madzhab yang empat dalam masalah isbal adalah makruh, tidak haram.
  4. Haramnya isbal adalah pendapat Ahmad (dalam satu riwayat yang tidak masyhur), Adz-Dzhaby dan Ibnu Hajar dari kalangan Syafi'iyyah, Ibnul Araby dari kalangan Malikiyyah.
  5. Ada dua nukilan pendapat Ibnu Taimiyyah dalam masalah Isbal. Ibnu Muflih dalam "Adab Syar'iyyah" menukil bahwa Ibnu Taimiyyah memilih pendapat tidak haram.
  6. Tidak ada maksud para ulama (yang tidak mengharamkan isbal) untuk menentang hadis-hadis Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam terkait masalah ini, mereka hanya memahami hadis berdasarkan metode istinbath yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan.
  7. Shohibul status tidak musbil dan memilih pendapat yang mengharamkan secara mutlak, namun toleran kepada yang berpendapat berbeda.

Wallahu a'lam,


oleh : Abu Khaleed

27 Agu 2015

Catatan Perjalanan Detention Center

 
Hari ini kami diberi kesempatan untuk mengunjungi salah satu detention center di salah satu sudut kota Taipei. Para tenaga kerja yang kurang beruntung itu mau tidak mau harus tinggal di balik pagar jeruji besi yg disebabkan berbagai persoalan semisal masalah administrasi, paspor / visa yang expired, sampai masalah ribut dengan agen atau bos mereka sendiri.

Tujuan kunjungan kami adalah seperti biasa, sedikit berbagi rezeki dan sembari memberikan sedikit tausiyah agar mereka tetap terhibur dan merasa dipedulikan, serta tentunya untuk saling mengingatkan agar senantiasa menjaga sholat dan ibadah.

Yang membuat khawatir adalah, bahwa ternyata setiap jam kunjungan dibuka, selalu ada misionaris Nasrani yang membagikan harta dan makanan kepada mereka para detainee. Proyek Nasranisasi itu rutin dilakukan oleh para misionaris setiap pekan, dengan ceramah ala mereka dan tentunya ajakan untuk mengikuti agama mereka.

Tentu ini menjadi kewajiban dakwah bagi da'i yang ada di sini untuk lebih memperhatikan kondisi ini. Mohon do'a dan dukungan dari teman-teman sekalian agar saudara-saudara kita tetap terjaga iman dan akidahnya. Dan semoga kami diberi kekuatan, kesehatan, kelapangan waktu dan semangat oleh Allah swt agar lebih bisa untuk saling menjaga dalam keimanan serta saling menasihati dalam taqwa dan ketaatan. Sungguh, setiap muslim itu adalah bersaudara.

22 Agu 2015

Untain Hikmah dari Dr. Aidh Al Qarni, "Kita bukanlah penduduk asli bumi!"

  
Kita tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi. Juga tak bisa menggariskan masa depan. Lalu mengapa membunuh diri dengan penyesalan atas apa yang sudah tak bisa diubah?

Hidup itu singkat, sementara targetnya banyak. Maka tataplah awan dan jangan lihat ke tanah. Kalau merasa jalan sudah semakin sempit, kembalilah kepada Allah yang Maha Mengetahui hal yang ghaib. Lalu, ucapkan alhamdulillah atas apa saja.


Ingatkah,
Kapal Titanic dibuat oleh ratusan orang. Sedangkan kapal nabi Nuh dibuat hanya oleh satu orang. Tapi, Titanic tenggelam. Sementara kapal Nabi Nuh menyelamatkan umat manusia.
Taufik dan pertolongan hanyalah dari Allah swt, bukan dari usaha manusia.
 

Kita bukanlah penduduk asli bumi. Asal kita adalah surga, tempat dimana orang tua kita, Adam, tinggal pertama kali. Kita tinggal di bumi hanyalah untuk sementara. Untuk mengikuti ujian lalu segera kembali kehadirat-Nya.
 

Maka berusahalah semampumu, untuk mengejar kafilah orang-orang shalih, yang akan kembali ke tanah air yang sangat luas, tentunya di akhirat sana. Surga tepatnya
Jangan sia-siakan waktumu di planet kecil ini !
 

Perpisahan itu bukanlah karena perjalanan yang jauh.
Bukan pula karena ditinggal orang tercinta.
Bahkan, kematian pun bukanlah perpisahan, sebab kita akan bertemu kembali di akhirat.
Perpisahan adalah ketika satu diantara kita masuk surga, sedang yang lainnya terjerembab ke dalam neraka. 


Semoga Allah menjadikan aku dan kita semua menjadi penghuni surga-Nya.
Allahumma Aamin.
 

*Disadur dari nasihat الشيخ عائض القرني dengan perubahan kata seperlunya*

Bolehkah Mengundurkan Diri dari Jama'atul Minal Muslimin?


    "Jikalau kita sudah menganggap kebijakan suatu jamaah tidak sesuai dengan Qurán dan sunnah Rasulullah SAW yang menjadi tauladan kita, apakah berdosa hukumnya keluar dari jamaah tersebut? Bagaimana caranya di hadapan Allah SWT , apakah mohon ampun? Sepertinya adalam siroh tidak ada ya mekanismenya? Sbg info, jamaah tsb bersikukuh masih menjalankan manhaj sesuai sunnah Rasul, namun selalu membuat pusing akhir-akhir ini."
Waalaikumussalam Wr Wb
Kedudukan Jama’atul Muslimin

Jama’ah secara bahasa barasal dari kata jam’u yang berarti mengumpulkan yang terpecah belah dan menggabungkan sesuatu dengan mendekatkan sebagiannya dari sebagian yang lain. Jama’ah adalah sekelompok orang yang dikumpulkan dengan satu tujuan.

Kata jama’ah ini juga digunakan untuk selain manusia sehingga mereka mengatakan,”jama’ah pohon, jama’ah tumbuh-tumbuhan.” Karena itulah kata jama’ah digunakan untuk kumpulan segala sesuatu.

Adapun menurut istilah para fuqoha kata jama’ah digunakan untuk sekumpulan manusia. Al Kasaani mengatakan bahwa jama’ah diambil dari arti ijtima’ dan minimal terjadinya ijtima’ adalah dua orang.” Dan dia mengatakan bahwa minimal disebut jama’ah adalah dua orang yaitu imam dan makmum.” (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 5435)

Husein bin Muhammad bin Ali Jabir dalam menjelaskan tentang makna jama’ah menurut syariat mengutip apa yang dikatakan Imam Syathibi bahwa jama’ah adalah :

  1. Para penganut islam apabila bersepakat atas suatu perkara; dan pengikut agama lain diwajibkan mengikuti mereka. 
  2. Masyarakat umum dari penganut islam.
  3. Kelompok ulama mujtahidin.
  4. Jama’atul muslimin apabila menyepakati seorang amir.
  5. Para sahabat Rasulullah saw secara khusus.
Setelah itu Imam Syathibi menguatkan bahwa yang dimaksud dengan jama’ah adalah jama’atul muslimin apabila mereka menyepakati seorang amir. Pendapat ini didukung oleh al Hafizh Ibnu Hajar didalam kitabnya “Fathul Bari” Husein bin Muhammad mengatakan pula bahwa empat pendapat pertama diatas dapat dirangkum dalam satu rumusan. Bahwa Jama’atul Muslimin adalah jamaah ahlul halli wal aqdi apabila menyepakati seorang khalifah umat dan umat pun mengikuti mereka. (Menuju Jama’atul Muslimin hal 32)

Sesungguhnya berkelompok atau berjama’ah tidaklah bisa dilepaskan dari kehidupan setiap orang dalam melasanakan segala aktivitas dan untuk memenuhi berbagai kebutuhannya. Dan dengan berjama’ah atau berkelompok maka segala permasalahan yang sulit akan terasa mudah, yang berat akan menjadi ringan dan segala yang tampak seolah-olah tidak mungkin akan menjadi mungkin direalisasikan. Karena itulah ada ungkapan bahwa berjama’ah adalah rahmat sedangkan perpecahan adalah adzab.

Islam sebagai agama rahmat senantiasa meminta setiap umatnya untuk memperhatikan tentang kebersamaan atau berjama’ah dan Allah memberikan kelebihan bagi yang melakukannya. Allah memberikan kelebihan dua puluh tujuh derajat bagi orang yang melaksanakan shalat dengan berjama’ah ketimbang orang yang shalat sendirian. Rasulullah saw pun menegaskan sesungguhnya setan bersama orang yang sendirian dan ia menjauh dari orang yang berdua.

Didalam urusan bepergian (safar) saja islam memerintahkan agar dipilih seorang amir diantara mereka yang bepergian. Lalu bagaimanakah dengan menegakkan syariat? Menanamkan nilai-nilai islam ditengah-tengah umat? Tentunya didalam kedua urusan terakhir ini keberadaan imam sebagai representasi dari jama’ah menjadi lebih utama bagi kaum muslimin.

Pada dasarnya seluruh kaum muslimin hanya diikat oleh satu jama’ah yaitu jama’atul muslimin dengan satu kepemimpinan yaitu khalifah. Jamaatul muslimin ini merupakan ikatan yang kuat didalam menjalankan hukum Allah dan syari’at-Nya ditengah-tengah kehidupan umat manusia sehingga menjadikan islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Dan ketika ikatan jama’atul muslimin ini hancur maka hancurlah seluruh ikatan-ikatan islamnya, hilanglah syia’ar-syi’arnya dan umat menjadi terpecah-pecah. Inilah makna ungkapan Umar bin Khottob,”Wahai masyarakat Arab, tidak ada islam kecuali dengan jama’ah, tidak ada jama’ah kecuali dengan kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan kecuali dengan ketaatan.” (HR. Bukhori)

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Umamah al Bahiliy dari Rasulullah saw bersabda,”Ikatan-ikatan islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad)

Dan ketika jamaatul muslimin atau jama’ah yang mengikat seluruh kaum muslimin di alam ini dengan satu kepemimpinan khilafah telah terwujud maka umat islam diharuskan untuk membaiatnya serta dilarang untuk melepaskan baiatnya dari keterikatannya dengan jama’atul muslimin, sebagaimana didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Hudzaifah bin al Yaman berkata bahwa orang-orang banyak bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan dan aku pernah menanyakan kepadanya tentang keburukan, karena aku khawatir menemui keburukan itu. Aku bertanya,”Apa yang engkau printahkan kepadaku jika aku menemui keadaan itu?’ Beliau saw bersabda,”Hendaklah engkau berkomitmen (iltizam) dengan jama’atul muslimin dan imam mereka.” (HR. Bukhori)

Dari Abdullah bin ‘Amr ra bahwa Nabi saw bersabda,”Barangsiapa yang membaiat seorang imam kemudian imam itu memberikan untuknya buah hatinya dan mengulurkan tangannya maka hendaklah ia menaatinya sedapat mungkin.” (HR. Muslim)

Dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah saw bersabda,”Kamu akan diperintah oleh para pemimpin yang kamu kenal (tidak baik) dan kamu mengingkarinya.” Mereka bertanya,”Apakah kami boleh memerangi mereka?” Beliau saw menjawab,”Jangan selama mereka masih shalat.” (HR. Muslim dan Tirmidzi, beliau mengatakan hadits hasan shahih)

Demikianlah beberapa hadits diatas yang menunjukkan betapa tingginya kedudukan seorang imam jama’atul muslimin didalam diri setiap rakyatnya. Di situ juga disebutkan betapa setiap muslim harus senantiasa mengedepankan kesabaran, tidak membangkang, tetap menaatinya dengan segenap kemampuannya walaupun seorang imam melakukan kemaksiatan selama ia masih menegakkan shalat. Hadits-hadits itu melarang setiap muslim untuk meninggalkan ketaatan kepadanya atau keluar darinya dan membentuk jama’ah sendiri atau tidak berjama’ah.

Adakah Jama’atul Muslimin Saat Ini

Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah jama’atul muslimin ada pada saat ini? Bisakah jama’ah-jama’ah pergerakan, partai-partai islam, ormas-ormas islam yang ada saat ini disebut dengan jama’atul muslimin?

Husein bin Muhammad bin Ali Jabir mengatakan bahwa sesuai dengan pengertian syar’inya maka jamaatul muslimin boleh dikatakan tidak ada lagi di dunia sekarang ini. Beberapa bukti yang menunjukkan hal itu adalah :

  1. Diantara alasan-alasan yang digunakannya adalah hadits yang diriwayatkan dari Huzaifah bin Yaman yang berkata bahwa orang-orang banyak bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan dan aku pernah menanyakan kepadanya tentang keburukan, karena aku khawatir menemui keburukan itu. Aku bertanya,”Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemui keadaan itu?’ Beliau saw bersabda,”Hendaklah engkau berkomitmen (iltizam) dengan jama’atul muslimin dan imam mereka.” (HR. Bukhori). Hadits ini memberitahu akan datangnya suatu zaman kepada umat islam dimana jama’atul muslimin tidak muncul di tengah kehidupan umat islam. Seandainya ketidakmunculannya itu mustahil, niscaya dijelaskan oleh Rasulullah saw kepada Hudzaifah. Tetapi, Rasulullah saw justru mengakui terjadinya hal tersebut dan mengarahkan Hudzaifah agar menggigit akar pohon (islam) dalam menghadapi tidak adanya Jama’atul Muslimin dan imam mereka itu.
     
  2. Bukti lainnya yang menunjukkan tidak adanya Jama’atul Muslimin ialah adanya beberapa pemerintahan yang memerintah umat islam. Sebab, islam tidak mengakui selain satu pemerintahan yang memerintah umat islam. Bahkan islam memerintakan umat islam agar membunuh penguasa kedua secara langsung, sebagaimana dijelaskan oleh nash-nash syariat. Dari Abu Said al Khudriy bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila ada baiat kepada dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Ahmad)

    Imam Nawawi dalam mengomentari hadits ini berkata,”Arti hadits ini ialah apabila seorang khalifah yang dibaiat setelah ada seorang khalifah maka baiat pertama itulah yang sah dan wajib ditaati. Sedangkan bai’at kedua dinyatakan batil dan diharamkan untuk taat kepadanya.

  3. Bukti lainnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Umamah al Bahiliy bahwa Rasulullah saw bersabda,”Ikatan-ikatan islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad). Hadits ini jelas menyatakan akan datangnya suatu masa dimana pemerintahan dan khilafah tidak muncul. (Menuju Jama’atul Muslimin hal 42 – 46)
Sementara itu jama’ah-jama’ah pergerakan yang ada saat ini, seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jama’ah Tabligh, Salafi, PKS, PPP, NU, Muhammadiyah atau lainnya bukanlah jama’atul muslimin namun hanyalah jama’ah minal muslimin yaitu jama’ah yang terdiri dari sekelompok kaum muslimin yang berjuang untuk mewujudkan cita-cita islam berdasarkan manhaj atau metode gerakan masing-masing.

Kepemimpinan pada masing-masing jama’ah minal muslimin tidaklah bersifat universal mengikat seluruh kaum muslimin namun ia hanya mengikat setiap anggota yang ada didalam jama’ahnya.
Keberadaan jama’ah minal muslimin pada saat ini atau saat tidak adanya jama’atul muslimin sangatlah dibutuhkan dan diperlukan sebagai ruh dan anak tangga dari kemunculan jama’atul muslimin sebagaimana disebutkan dalam suatu kaidah “Tidaklah suatu perkara wajib dapat sempurna kecuali dengan sesuatu yang lain maka sesuatu itu menjadi wajib pula.” Menegakkan khilafah atau jama’atul muslimin adalah kewajiban setiap muslim dan ia tidak akan terwujud kecuali dengan da’wah yang dilakukan secara berkelompok maka menegakkan da’wah dengan cara berjamaah (jama’ah minal muslimin) ini adalah wajib.

Sayyid Qutb mengatakan bahwa bagaimana proses kebangkitan islam dimulai sesungguhnya ia memerlukan kepada golongan perintis yang menegakkan kewajiban ini.” Ustadz Sayyid Hawwa mengatakan bahwa satu-satunya penyelesaian ialah harus menegakkan jama’ah.” Ustadz Fathi Yakan mengatakan bahwa Rasulullah tidak pernah sama sekali mengandalkan kepada kerja individual (infirodiy) tetapi sejak awal beliau telah menganjurkan penegakkan jama’ah.”

Melepaskan Ba’iat atau Keluar dari Jama’ah Minal Muslimin

Tentunya sebagai sebuah jamaah yang menggabungkan sekian banyak da’i atau orang-orang yang ingin berjuang untuk islam didalamnya maka diperlukan soliditas, komitmen dan ketaatan semua anggotanya kepada pemimpin dan aturan-aturan jamaah tersebut. Untuk meneguhkan itu semua maka jamaah perlu mengambil janji setia dari setiap anggotanya yang kemudian dikenal dengan istilah baiat, sebagaimana firman Allah swt :


إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا

إِArtinya : “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (QS. Al Fath : 10)

Tentulah kedudukan baiat kepada imam, amir, qiyadah jama’ah minal muslimin berbeda dengan baiat kepada imam dari jama’atul muslimin dikarenakan imam jama’atul muslimin dipilih oleh ahlul halli wal aqdi dari seluruh umat islam sedangkan imam dari jama’ah minal muslimin dipilih oleh majlis atau dewan syuro sebagai perwakilan seluruh anggota di jama’ah itu.

Hadits-hadits yang melarang bahkan mengancam seseorang melepaskan baiatnya adalah terhadap imam atau khalifah dari jama’atul muslimin bukan terhadap imam dari jama’ah minal muslimin, seperti hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa yang melepaskan tangannya (baiat) dari suatu keaatan maka ia akan bertemu Allah pada hari kiamat tanpa adanya hujjah (alasan) baginya. Dan barangsiapa mati sementara tanpa ada baiat di lehernya maka ia mati seperti kematian jahiliyah.” (HR. Muslim)

Dan para pemimpin atau amir suatu jamaah minal muslimin tidaklah termasuk didalam hadits ini. DR. Husamuddin Unafah, Ustadz bidang studi fiqih dan ushul di Universitas al Quds, Palestina mengatakan bahwa yang dimaksud dengan baiat didalam hadits diatas adalah baiat imam kaum muslimin atau khalifah kaum muslimin yang dibaiat oleh ahlul halli wal ‘aqdi dari umat islam. Hadits ini tidak bisa diterapkan kepada para pemimpin di zaman ini atau pembesar partai (jamaah) karena setiap dari mereka bukanlah imam (pemimpin) dari seluruh kaum muslimin.

Al Mawardi mengatakan bahwa apabila ahlul halli wal ‘aqdi didalam pemilihan melihat ahlul imamah memenuhi persyaratan maka hendaklah ahlul halli wal ‘aqdi mengedepankan untuk dibaiat orang yang lebih utama dan lebih sempurna persyaratannya diantara mereka dan hendaklah manusia segera menaatinya dan tidak berhenti untuk membaiatnya.

Untuk itu ahlul halli wal ‘aqdi dari kaum muslimin adalah orang-orang yang berwenang memilih imam kaum muslimin dan khalifah mereka dan pendapat orang-orang awam tidaklah dianggap terhadap kesahan baiat. Ar Romli dari ulama Syafi’i mengatakan bahwa baiat yang dilakukan oleh selain ahlul halli wal ‘aqdi dari kalangan awam tidaklah dianggap.

Imam kaum muslimin yang diharuskan berbaiat kepadanya memiliki berbagai persyaratan yang telah disebutkan ahlul ilmi. Dan persyaratan itu tidaklah bisa diterapkan kepada pemimpin partai, jama’ah-jama’ah yang ada sekarang ini.

Imam Nawawi meletakkan hadits Ibnu Umar diatas pada bab “Kewajiban Bersama Jamaah Kaum Muslimin..”. Maksud dari hadits itu adalah bahwa barangsiapa yang mati tanpa ada baiat dilehernya maka matinya seperti kematian jahiliyah yaitu ketika terdapat imam syar’i saja. Inilah pemahaman yang benar dari hadits itu bahwa jika terdapat imam syar’i yang memenuhi berbagai persyaratan kelayakan untuk dibaiat dan tidak terdapat padanya hal-hal yang menghalanginya maka wajib bagi setiap muslim untuk bersegera memberikan baiatnya apabila ahlul halli wal ‘aqdi memintanya atau meminta darinya dan tidak boleh bagi seorang pun yang bermalam sementara dirinya tidak memiliki imam.

Adapun apabila tidak terdapat berbagai persyaratan baiat pada seorang hakim maka tidaklah ada kewajiban baginya dibaiat akan tetapi hendaklah dia berusaha untuk mengadakan seorang imam syar’i sesuai dengan kemampuannya dan Allah tidaklah membebankan seseorang kecuali dengan kemampuannya. Argumentasi lainnya adalah :

  1. Sesungguhnya baiat adalah kewajiban yang kifayah artinya jika sebagian kaum muslimin menegakkannya maka terlepaslah kewajiban itu bagi selain mereka, sebagaimana dikatakan jumhur ulama.
     
  2. Apa yang dilakukan Ibnu Umar sebagai perawi hadits diatas dan dia adalah orang yang paling faham terhadap hadits itu daripada orang lain. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa beliau tidak mau membaiat Ali atau Muawiyah lalu dia membaiat Muawiyah setelah terjadi perdamaian dengan Hasan bin Ali dan manusia telah berkumpul dihadapannya. Lalu beliau membaiat Yazid bin Muawiyah setelah kematian Muawiyah karena manusia telah berkumpul dihadapannya kemudian tidak mau membaiat seseorang pada saat terjadi perpecahan sehingga terbunuhnya Ibnu Zubeir dan kekuasaan seluruhnya diserahkan kepada Abdul Malik bin Marwan dan ia pun membaiatnya pada saat itu… dan juga terdapat riwayat dari pekataannya,”…akan tetapi aku tidak suka membaiat dua orang amir (imam) sebelum manusia berkumpul pada satu orang amir.” (www.islamweb.net)

Dengan demikian diperbolehkan bagi seseorang untuk melepaskan baiatnya dari imam atau pemimpin jama’ah minal muslimin atau keluar darinya setelah meyakini bahwa telah terjadi penyimpangan yang cukup signifikan dalam tubuh jama’ah tersebut baik penyimpangan dalam diri qiyadah, para pemimpin, garis perjuangannya atau prinsip-prinsip pergerakannya yang dapat memberikan pengaruh negatif kepada umat, sebagaiamana hadits Rasulullah saw, ”Tidak ada ketaatan dalam suatu kemaksiatan akan tetapi ketaatan kepada hal yang ma’ruf.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Pada dasarnya baiat yang diberikan kepada pemimpin jamaah itu adalah baiat untuk beramal islam. Artinya baiat atau janji setia diantara orang yang berbaiat dengan orang yang dibaiat dalam hal ini adalah pemimpin sebagai representasi dari jama’ah itu bisa diteruskan selama mereka komitmen dengan amal-amal islam, seperti tidak melanggar rambu-rambu akidah, berpegang teguh dengan syariah, tidak mengerjakan yang diharamkan Allah dan lainnya.

Namun hendaklah pelepasan baiat atau keluar darinya dilakukan setelah berbagai upaya megingatkan atau memberikan nasehat baik secara langsung atau pun tidak langsung baik yang telah dilakukan olehnya maupun orang-orang selainnya yang menginginkan perbaikan didalam tubuh jama’ah tidaklah diterima atau digubris sehingga mengakibatkan kesalahan-kesalahan itu terus berulang dan berulang karena agama ini tegak diatas landasan nasehat sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abu Ruqayyah bin Aus ad Dary ra menerangkan bahwa Nabi saw bersabda,”Agama itu nasehat.” Kami bertanya,”Bagi siapa?” Beliau saw menjawab,”Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin muslim dan bagi kaum muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim)

Ketika dia memutuskan untuk melepaskan baiatnya maka hendaklah setelah itu dia mencari jama’ah minal muslimin lainnya yang diyakininya lebih baik darinya untuk bisa beramal islam secara berjama’ah meskipun hal ini bukan menjadi suatu kewajiban baginya pada masa-masa ketidakberadaan jama’atul muslimin akan tetapi hal itu merupakan bagian dari keutamaan. Dan jika dirinya tidak melihat ada jama’ah minal muslimin lainnya yang lebih baik darinya maka diperbolehkan baginya untuk berdiam diri sejenak atau tidak bergabung dengan jama’ah manapun sampai dia menemukan jama’ah lainnya yang lebih baik darinya atau kembali kepada jama’ah yang ditinggalkannya itu ketika diyakini bahwa jama’ah tersebut telah kembali ke jalannya seperti sediakala.

Wallahu A’lam.

Sumber : Eramuslim

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India