24 Apr 2015

Hukum Qisash di Saudi Tidak Sah Karena Bukan Khilafah?


Hukum Qisash di Saudi tidak sah karena bukan khilafah??


Dengan kedangkalan ilmu tapi overconfident untuk berfatwa atau menyalahkan orang di luar kelompoknya seorang kawan menulis bahwa hukum qisas dan hudud di Arab Saudi tidak sah dgn alasan harus dilakukan oleh khalifah.

Ini sungguh sesat dan menyesatkan, bila kita buka lembaran-lembaran kitab para ulama sejak dulu kala maka akan kita dapati bahasan khusus penegakan hudud dalam kondisi KETIADAAN IMAM.
Ambil contoh adalah kitab Ghiyats Al-Umam karya Abu Al-Ma'ali Al-Juwaini Asy-Syafi'i yang mengatakan,

أَمَّا مَا يَسُوغُ اسْتِقْلَالُ النَّاسِ [فِيهِ] بِأَنْفُسِهِمْ وَلَكِنَّ الْأَدَبَ يَقْتَضِي فِيهِ مُطَالَعَةَ ذَوِي الْأَمْرِ، وَمُرَاجَعَةَ مَرْمُوقِ الْعَصْرِ، كَعَقْدِ الْجُمَعِ، وَجَرِّ الْعَسَاكِرِ إِلَى الْجِهَادِ، وَاسْتِيفَاءِ الْقِصَاصِ فِي النَّفْسِ وَالطَّرْفِ، فَيَتَوَلَّاهُ النَّاسُ عِنْدَ خُلُوِّ الدَّهْرِ.

"Adapun yg diperbolehkan manusia mengambil peran sendiri.... (di sini sepertinya ada kalimat yg terpotong dari manuskrip asli -pent) akan tetapi adab mengharuskan perhatian pemegang urusan (ulama atau umara) dan tinjauan dari tokoh yg masih tersisa dari masa yg ada, misalnya pelaksanaan shalat Jum'at, menggiring tentara untuk jihad, MELAKSANAKAN QISAS UNTUK JIWA MAUPUN ANGGOTA BADAN, itu bisa dilakukan manusia ketika tak ada lagi masa (kepemimpinan). (Al-Ghiyatsi hal. 386).

Al-Juwaini juga menyatakan,

وَقَدْ قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ: لَوْ خَلَا الزَّمَانُ عَنِ السُّلْطَانِ فَحَقٌّ عَلَى قُطَّانِ كُلِّ بَلْدَةٍ، وَسُكَّانِ كُلِّ قَرْيَةٍ، أَنْ يُقَدِّمُوا مِنْ ذَوِيالْأَحْلَامِ وَالنُّهَى، وَذَوِي الْعُقُولِ وَالْحِجَا مَنْ يَلْتَزِمُونَ امْتِثَالَ إِشَارَاتِهِ وَأَوَامِرِهِ، وَيَنْتَهُونَ عَنْ مَنَاهِيهِ وَمَزَاجِرِهِ ; فَإِنَّهُمْ لَوْ لَمْ يَفْعَلُوا ذَلِكَ، تَرَدَّدُوا عِنْدَ إِلْمَامِ الْمُهِمَّاتِ، وَتَبَلَّدُوا عِنْدَ إِظْلَالِ الْوَاقِعَاتِ.

"Sebagian ulama mengatakan kalau zaman tak lagi punya sulthan maka menjadi kewajiban bagi penghuni tiap negeri dan penduduk tiap kampung untuk memajukan tokoh cendikia yg punya kapabilitas menujuk orang untuk menegakkan isyarat dan perintahnya dan mencegah apa yg dia larang. Kalau mereka tidak melakukan itu maka mereka akan berputar pada jarangnya hal-hal penting dan menjadi bodoh dalam naungan bencana."

Lalu Ibnu Hajar Al-Haitami salah satu pembsar ulama Syafi'iyyah juga mengatakan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj jilid 7 hal. 261:

(فَرْعٌ) :
إذَا عُدِمَ السُّلْطَانُ لَزِمَ أَهْلَ الشَّوْكَةِ الَّذِينَ هُمْ أَهْلُ الْحَلِّ وَالْعَقْدِ ثَمَّ أَنْ يُنَصِّبُوا قَاضِيًا فَتَنْفُذَ حِينَئِذٍ أَحْكَامُهُ لِلضَّرُورَةِ الْمُلْجِئَةِ لِذَلِكَ

Apabila sulthan (penguasa) tidak ada maka wajiblah bagi yg pnya kekuatan yg merupakan ahlul halli wal aqdi (pimpinan masyarakat) kemudian mengangkat seorang hakim yg menjalankan hukum-hukumnya lantaran keperluan mendesak untuk itu."

Jga Ibnu Taimiyah yg mengatakan dalam Majmu' Al-Fatawa jilid 34 hal. 175-176:

فلهذا: وجب إقامة الحدود على ذي السلطان ونوابه.والسنة أن يكون للمسلمين إمام واحد، والباقون نوابه، فإذا فُرِضَ أن الأمة خرجت عن ذلك لمعصية من بعضها، وعجز من الباقين، أو غير ذلك فكان لها عدة أئمة. لكان يجب على كل إمام أن يقيم الحدود، ويستوفي الحقوق،

"Maka dari itu wajib menegakkan hudud oleh sulthan atau wakilnya. sunnahnya kaum muslimin hanya punya satu imam dan yg lain adalah wakilnya. Tapi kalau ummat tak melaksanakan itu karena membangkang dari sebagiannya atau tak mampu melakukan sisanya atau hal lain sehingga terjadi perbilangan kepemimpinan maka wajiblah bagi TIAP IMAM untuk menegakkan hudud dan menunaikan hak..........

Selanjutnya Ibnu Taimiyah berkata,


والأصل أن هذه الواجبات تُقام على أحسن الوجوه. فمتى أمكن إقامتها مع أمير لم يحتج إلى اثنين، ومتى لم يقم إلا بعدد ومن غير سلطان أقيمت إذا لم يكن في إقامتها فساد يزيد على إضاعتها

"Pada dasarnya kewajiban ini (penegakan hudud) dilakukan dgn cara terbaik. Kalau memungkinkan untuk dilakukan oleh seorang amir maka tak perlu dua orang. Tapi kalau tak dilakukan kecuali dgn beberapa amir dan TANPA SULTHAN maka tetap harus dilakukan asalkan pelaksanaannya tidak menyebabkan kerusakan yg lebih besar daripada meninggalkannya...."

Maka perhatikanlah wahai kaum muslimin yg rindu khilafah dan syariah, pernyataan para ulama di atas berlaku kala tak ada imam suatu negeri, nah bagaimana lagi kalau ternyata imam itu ada hanya saja belum berkuasa seluas khilafah tapi sudah dalam negara berdaulat dgn sistem hukumnya tersendiri??

Jadi, pendapat bahwa tidak sahnya hudud dan qisas kecuali kalau ada satu khalifah saja adalah pernyataan yg sesat dan menyesatkan.

oleh : Ust. Anshari Taslim

Mungkinkah Imam Syafi'i Belum Tahu akan Keshohihan sebuah Hadits?

 
Mungkinkah Imam Syafi'i belum tahu akan sebuah hadits atau keshahihannya?

Jawabnya ya mungkin saja dan faktanya juga bicara seperti itu.
Berikut pengakuan pribadi Imam Asy-Syafi'i:

«كُلُّ مَا قُلْتُ، وَكَانَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِلافُ قَوْلِي، مِمَّا يَصِحُّ، فَحَدِيثُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَى، وَلا تُقَلِّدُونِي»

"Setiap yg aku katakan tapi dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri menyelisihi perkataanku dan itu shahih dari beliau maka hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam lebih utama dan jangan bertaklid kepadaku."

Beliau juga berkata kepada Ahmad bin Hanbal dan kawan-kawannya:

«أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِالْحَدِيثِ وَالرِّجَالِ مِنِّي، فَإِذَا كَانَ الْحَدِيثُ صَحِيحًا فَأَعْلِمُونِي، كُوُفِيًّا كَانَ، أَوْ بَصْرِيًّا، أَوْ شَامِيًّا، حَتَّى أَذْهَبَ إِلَيْهِ، إِذَا كَانَ صَحِيحًا»

"Kalian LEBIH MENGERTI TENTANG HADITS DAN PERAWI dibanding aku, maka bila ada hadits yg shahih tolong beritahu aku, baik itu riwayat orang Kufah, Bashrah, Syam agar aku bisa berpendapat dengannya kalau hadits itu shahih." (Adab Asy-Syafi'i wa Manaqibuhu oleh Ibnu abi Hatim hal. 70).

Dia juga berkata,

إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ قَوْلًا، فَأَنَا رَاجِعٌ عَنْ قَوْلِي، وَقَائِلٌ بِذَلِكَ

"Jika telah shahih suatu hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sedangkan aku telah mengemukakan satu pendapat (yg menyelisihinya) maka aku akan rujuk meninggalkan pendapatku itu serta berali ke hadits tersebut." (Hilyatul Awliya oleh Abu Nua'im jilid 9 hal. 107).

Dalam banyak kasus Asy-Syafi'i sendiri ragu akan keshahih sebuah hadis sehingga lebih mendahulukan qiyas, tapi kemudian para ahli hadits di kalangan madzhabnya menemukan bahwa hadits itu shahih dan mentarjihnya dibanding pendapat sang imam.

Contoh kasus 1 :

Imam Syafi'i tidak tahu apakah hadits berwudhu lantaran makan daging onta itu shahih makanya beliau menyelisihinya dalam qaul jadid.

Meski begitu dia mengatakan kalau haditsnya shahih saya akan ikut, berikut pernyataannya:

إنْ صَحَّ الْحَدِيثُ فِي لُحُومِ الْإِبِلِ قُلْت بِهِ

"Kalau shahih hadits ttg wudhu lantaran makan daging onta maka aku akan berpendapat dengannya."

Lalu kemudian Al-BAihaqi menyatakan hadits itu shahih salah satunya riwayat Muslim. Itu pula yg menyebabkan An-Nawawi menguatkan pendapat wudhu lantaran makan daging onta.

Contoh kasus 2 :

Asy-Syafi'i belum jelas ttg keshahihan hadits Ibnu Mas'ud ttg kasus Barwa` binti Wasyiq yg ditinggal mati suaminya sebelum disetubuhi dan belum pula disebutkan mahar. Maka menurutnya dia tidak berhak mendapatkan mahar.

Lalu Al-Hakim menyatakan hadits itu shahih, maka hendaknya Asy-Syafi'i mengikutinya. Sampai-sampai dalam kitab Al Mustadrak Al Hakim saking bangganya berkata,

و لو حضرت الشافعي رضي الله عنه لقمت على رؤوس أصحابه و قلت فقد صح الحديث فقل به

"Kalau aku hadir di masjlisnya Asy-Syafi'i radhiyallahu anhu, niscaya aku berdiri di tengah kerumunan murid-muridnya dan berkata, "Haditsnya shahih, maka ikutilah dia!" (Al-Mustadrak 2/196).

Itu saja dulu, masih banyak contoh lain dimana Imam Asy-Syafi'i sendiri berpesan agar tetap meneliti hadits dan kalau shahih maka beliau akan ikut dan melarang orang hanya bertaklid kepada beliau dgn meninggalkan hdits yg shahih.

oleh : Ust. Anshari Taslim

Mendudukkan Hadits Hudzaifah tentang Taat Kepada Khalifah


Ada sebuah hadits yang saat ini sangat popular dijadikan dalil untuk menekankan ketaatan kepada pemimpin meskipun pemimpin itu menyiksa dan berlaku zalim. Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah bin Al-Yaman yang ada dalam Shahih Muslim.

Apakah hadits ini bisa dipahami demikian? Tentu untuk memahami sebuah hadits maka kita harus mengumpulkan dulu semua jalur isnadnya dan juga redaksionalnya, lalu memilah mana isnad yang shahih mana yang dhaif, kemudian memilah mana redaksi yang shahih mana yang syaadz atau munkar.

Hadits Hudzaifah yang dikenal dengan hadits tentang fitnah (huru-hara akhir masa) ini ada dalam Shahihain dengan redaksi yang sudah disepakati keshahihan isinya. Riwayat yang disepakati ini melalui jalur Abu Idris Al-Khaulani yang nama aslinya adalah ‘A`idzullah bin Abdullah yang berkata, Aku mendengar Hudzaifah bin Al-Yaman berkata,

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ، فَجَاءَنَا اللهُ بِهَذَا الْخَيْرِ، فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ؟ قَالَ: «نَعَمْ، وَفِيهِ دَخَنٌ» ، قُلْتُ: وَمَا دَخَنُهُ؟ قَالَ: «قَوْمٌ يَسْتَنُّونَ بِغَيْرِ سُنَّتِي، وَيَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي، تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ» ، فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ؟ قَالَ: «نَعَمْ، دُعَاةٌ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا» ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، صِفْهُمْ لَنَا، قَالَ: «نَعَمْ، قَوْمٌ مِنْ جِلْدَتِنَا، وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا» ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، فَمَا تَرَى إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ؟ قَالَ: «تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ» ، فَقُلْتُ: فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ؟ قَالَ: «فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ عَلَى أَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ»

“Orang-orang semua bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang kebaikan, sementara aku bertanya tentang keburukan karena aku takut akan menimpa diriku. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, kami ini telah melewati masa jahiliyyah dan keburukan lalu Allah mendatangkan kebaikan ini kepada kami. Apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?” Beliau menjawab, “Ya.”
Aku, “Apakah setelah keburukan itu akan kembali datang kebaikan?”
Rasulullah, “Ya, tapi ada sedikit kabut (ketidakjelasan).”
Aku, “Apa kabutnya?”
Rasulullah, “Adanya kaum yang tidak melaksanakan sunnahku dan tidak berpedoman pada petunjukku. Ada yang kamu dukung perbuatan mereka ada pula yang kamu ingkari.”
Aku, “Apakah setelah kebaikan itu ada lagi keburukan?”
Beliau, “Ya, kaum yang menyeru di pintu-pintu jahannam, siapa yang memenuhinya akan mereka lemparkan ke dalamnya.”
Aku, “Tolong diskripskan kaum itu kepada kami ya Rasulullah.”
Beliau, “Orang-orang dari kulit kita sendiri dan bicara dengan bahasa kita.”
Aku, “Wahai Rasulullah, apa saran anda kalau aku mendapati itu?”
Beliau, “Tetaplah bergabung pada jamaah kaum muslimin dan imam mereka.”
Aku, “Bila tidak ada jamaah tidak pula ada imam?”
Beliau, “Tinggalkan semua kelompok itu meski kau harus menggigit akar pohon sampai kematian mendatangimu dalam keadaan seperti itu.”
(HR. Al-Bukhari, no. 3606 dan 7084, Muslim, no. 1847).

Inilah redaksi yang telah disepakati keshahihannya dari hadits Hudzaifah ini. Dengan redaksi inilah ditimbang riwayat lain apakah ada tambahan yang munkar atau syaadz, ataukah tambahan yang bisa diterima.

Selain Abu Idris Al-Khaulani hadits Hudzaifah ini juga diriwayatkan oleh Abu Sallam Mamthur dari Hudzaifah dengan ada tambahan yang diperbincangkan. Berikut redaksinya:

وحَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ سَهْلِ بْنِ عَسْكَرٍ التَّمِيمِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ، ح وحَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدَّارِمِيُّ، أَخْبَرَنَا يَحْيَى وَهُوَ ابْنُ حَسَّانَ، حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ يَعْنِي ابْنَ سَلَّامٍ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ سَلَّامٍ، عَنْ أَبِي سَلَّامٍ، قَالَ: قَالَ حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ، فَجَاءَ اللهُ بِخَيْرٍ، فَنَحْنُ فِيهِ، فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قُلْتُ: هَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الشَّرِّ خَيْرٌ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قُلْتُ: فَهَلْ وَرَاءَ ذَلِكَ الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قُلْتُ: كَيْفَ؟ قَالَ: «يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ» ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: «تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ»

Secara umum redaksinya sama dengan riwayat Abu Idris tapi ada tambahan yang berbeda dengan redaksi Abu Idris yaitu pada kalimat yang dicetak merah. (وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ) (Akan ada di kalangan mereka orang-orang yang hatinya adalah hati setan berwujud manusia) dan juga kalimat (وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ) (meski punggungmu dipukul dan hartamu diambil).

Dengan redaksi inilah sebagian orang berdalil untuk tetap mentaati pemimpin yang berhati Iblis termasuk yang berhukum dengan undang-undang thaghut atau hukum jahiliyyah meski mengambil harta dan memukul punggung.

Mari kita tinjau riwayat Mamthur ini dari sisi sanad. Imam Muslim memuat hadits ini sebagai mutabi’ (penguat) bagi hadits Abu Idris Al-Khaulani, bukan sebagai riwayat utama. Sebagaimana diketahui bahwa riwayat mutabi’ dalam shahih Muslim kadang sanadnya dha’if, karena memang tidak dijadikan hujjah hanya sekadar dijadikan penguat riwayat di atasnya. Maka, harus ditinjau bila ada tambahan kalimat yang tidak terdapat pada riwayat utama, bila isnadnya dha’if maka kalimat tambahan itu tidak dapat dijadikan hujjah.

Sisi kelemahan riwayat ini adalah pada Mamthur ke Hudzaifah dimana Mamthur ini meskipun tsiqah tapi menurut para kritikus hadits dia tidak bertemu dengan Hudzaifah dan tidak mendengar hadits darinya, sehingga riwayatnya dari Hudzaifah dianggap munqathi’ (terputus) dan riwayat yang terputus terkategori dha’if tak bisa dijadikan hujjah.

Adalah Ad-Daraquthni dalam kitabnya Al-Ilzaamat wat Tatabbu’ mengkritisi Muslim dalam riwayat ini dengan mengatakan,

وهذا عندي مرسل، أبو سلام لم يسمع من حذيفة ولا من نظرائه الذين نزلوا العراق لأن حذيفة توفي بعد قتل عثمان (رضي الله عنه) بليال، وقد قال فيه حذيفة فهذا يدل على إرساله.

“Menurutku ini mursal, Abu Sallam tidak mendengar dari Hudzaifah dan tidak pula dari rekan semasa Hudzaifah yang hijrah di Irak. Hudzaifah wafat beberapa malam setelah terbunuhnya Utsman RA, dan di sini dia mengatakan, “Hudzaifah berkata”, itu menunjukkan bahwa riwayat ini mursal.”[1]

Pernyataan Ad-Daraquthni ini dibenarkan oleh muhaqqiq kitab Al-Ilzamat yaitu Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dengan mengatakan,

“Dalam hadits Hudzaifah yang ini (riwayat Mamthur) ada tambahan yang tidak ada dalam riwayat yang disepakati keshahihannya yaitu tambahan kalimat, (meski punggungmu dipukul dan hartamu diambil). Ini adalah tambahan yang lemah karena bersumber dari jalur yang terputus ini.”

Sementara An-Nawawi dalam syarh Shahih Muslim (12/237-238) membenarkan pernyataan Ad-Daraquthni bahwa riwayat ini mursal (terputus antara Abu Sallam dengan Hudzaifah) tapi dia menganggap matannya shahih karena jalur Abu Idris yang shahih. Pernyataan An-Nawawi ini perlu ditinjau ulang dalam bahasan khusus di luar ini agar tidak terjadi tumpang tindih.

Ada yang berusaha mementahkan pernyataan Ad-Daraquthni ini dengan mengatakan bahwa Abu Sallam Mamthur ini mendengar dari Ubadah bin Shamit yang wafat lebih dulu daripada Hudzaifah, sehingga besar kemungkinan dia juga mendengar dari Hudzaifah. Yang seperti ini tidak dapat diterima karena mendengar dari yang lebih dulu meninggal bukan ukuran bahwa orang itu pernah mendengar dari yang belakangan wafat. Yang jadi ukuran adalah adanya riwayat yang mengatakan dia mendengar atau adanya persaksian dari seorang ulama muhaddits yang memang terbiasa dengan ilmu rijal. Yang ada, Ad-Daraquthni memastikannya tidak mendengar dari Hudzaifah dan itu disetujui oleh para ulama rijal setelahnya yaitu Al-Mizzi yang dalam kitab Tahdzib Al-Kamal ketika menyebut biografi Abu Sallam Mamthur ini dia menyebutkan guru-gurunya dan salah satunya adalah Hudzaifah tapi dia komentari (وَيُقَالُ: مُرْسَلٌ) “Dikatakan mursal”. Sepertinya Al-Mizzi merujuk pada perkataan Ad-Daraquthni di atas. Sementara Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tahdzib At-Tahdzib memastikan bahwa riwayat Mamthur dari Hudzaifah dan Abu Dzar adalah mursal.[2]

Adz-Dzahabi memberi isyarat bahwa dia sering memursal dari riwayatnya dari senior sahabat adalah mursal sebagaimana kebiasaan orang-orang Syam. Adz-Dzahabi juga menyebutkan bahwa dia meninggal di atas tahun seratus Hijriyyah.[3]
       
Riwayat Subai’ bin Khalid

Ada penguat lain untuk riwayat Mamthur Abu Sallam Al-Aswad ini yaitu riwayat Subai’ bin Khalid Al-Yasykuri. Yang meriwayatkan darinya ada tiga orang yaitu Nashr bin ‘Ashim, Shakr bin Badr dan Ali bin Zaid bin Jud’an.

Subai’ bin Khalid Al-Yasykuri sendiri hanya dikenal meriwayatkan satu hadits yaitu hadits Hudzaifah ini. Dia disebut dalam Ats-Tsiqaat Ibnu Hibban, Al-Maghlathi dalam Ikmal Tahdzib Al-Kamal menukil bahwa Ibnu Khalfun juga menganggapnya tsiqah dan Al-Hakim memakainya dalam kitab Al-Mustadrak dengan menshahihkan hadits dan itu merupakan tautsiq Al-Hakim untuk Ibnu Subai’ ini.[4]

Al-ijli menyebutnya dalam kitab Ats-Tsiqaat 1/388. Ibnu Abi Hatim dalam Al-Jarh wa At-Ta’dil (3/326) menyebutnya dengan nama Khalid bin Khalid tapi tidak menyebutkan jarh maupun ta’dil.

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam At-Taqrib menilainya maqbul (artinya diterima kalau ada yang menguatkan).

Bila kita anggap riwayat Subai’ bin Khalid ini bisa terangkat menjadi hasan atau shahih karena diperkuat riwayat Abu Idris Al-Khaulani dan Mamthur maka baiklah kita cek redaksinya.

1. Redaksi riwayat Ali bin Zaid bin Jud’an.

Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya, no. 23449, Hudzaifah berkata,

قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، هَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ كَمَا كَانَ قَبْلَهُ شَرٌّ ؟ قَالَ: " يَا حُذَيْفَةُ، اقْرَأْ كِتَابَ اللهِ وَاعْمَلْ بِمَا فِيهِ "، فَأَعْرَضَ عَنِّي، فَأَعَدْتُ عَلَيْهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، وَعَلِمْتُ أَنَّهُ إِنْ كَانَ خَيْرًا اتَّبَعْتُهُ وَإِنْ كَانَ شَرًّا اجْتَنَبْتُهُ، فَقُلْتُ: هَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ ؟ قَالَ: " نَعَمْ، فِتْنَةٌ عَمْيَاءُ صَمَّاءُ، وَدُعَاةُ ضَلَالَةٍ عَلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ، مَنْ أَجَابَهُمْ قَذَفُوهُ فِيهَا

“Aku bertanya, “Wahai Rasulullah apakah setelah kebaikan ini akan terjadi keburukan sebagaimana sebelumnya adalah keburukan?” Beliau menjawab, “Wahai Hudzaifah, bacalah kitab Allah dan amalkan apa yang ada di dalamnya.” Beliau menghindar dariku dan aku mengulangnya sampai tiga kali dan aku tahu kalau itu baik maka aku akan mengikutinya tapi kalau buruk aku akan menjauhinya.
Aku bertanya, “Apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?” Beliau menjawab, “Ya, fitnah yang buta dan tuli serta penyeru ke pintu-pintu jahannam. Yang mengikuti mereka akan mereka campakkan ke dalam jahannam itu.”

Riwayat ini tidak memuat kalimat “Memukul punggung dan memakan harta”, tapi malah ada tambahan baru yaitu Rasulullah memerintahkan untuk membaca kitab Allah dan beramal kebajikan saja. Tapi Ali bin Zaid bin Jud’an sendiri dhaif dari segi hafalannya.[5]

2. Riwayat Shakr bin Badr.

Shakr bin Badr adalah perawi yang majhul hanya Abu At-Tayyah yang meriwayatkan darinya dan hanya Ibnu Hibban yang memasukkannya dalam kitab Ats-Tsiqaat. Sementara Al-Hafizh menilainya maqbul, tapi jelas dia tidak punya riwayat selain ini sehingga yang benar dia majhul.

Berikut riwayat Shakhr bin Badr dari Subai’ bin Khalid yang kami ambilkan dari riwayat Imam Ahmad dalam musnadnya, no. 23425:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي التَّيَّاحِ قَالَ: سَمِعْتُ صَخْرًا يُحَدِّثُ، عَنْ سُبَيْعٍ قَالَ: أَرْسَلُونِي مِنْ مَاهٍ إِلَى الْكُوفَةِ أَشْتَرِي الدَّوَابَّ، فَأَتَيْنَا الْكُنَاسَةَ فَإِذَا رَجُلٌ عَلَيْهِ جَمْعٌ، قَالَ: فَأَمَّا صَاحِبِي فَانْطَلَقَ إِلَى الدَّوَابِّ وَأَمَّا أَنَا فَأَتَيْتُهُ، فَإِذَا هُوَ حُذَيْفَةُ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَهُ عَنِ الْخَيْرِ وَأَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، هَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ كَمَا كَانَ قَبْلَهُ شَرٌّ ؟ قَالَ: " نَعَمْ "، قُلْتُ: فَمَا الْعِصْمَةُ مِنْهُ ؟ قَالَ: " السَّيْفُ " ـ أَحْسَبُ أَبُو التَّيَّاحِ يَقُولُ: السَّيْفُ، أَحْسَبُ ـ قَالَ:قُلْتُ: ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: " ثُمَّ تَكُونُ هُدْنَةٌ عَلَى دَخَنٍ "، قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: " ثُمَّ تَكُونُ دُعَاةُ الضَّلَالَةِ، فَإِنْ رَأَيْتَ يَوْمَئِذٍ خَلِيفَةَ اللهِ فِي الْأَرْضِ فَالْزَمْهُ، وَإِنْ نَهَكَ جِسْمَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ، فَإِنْ لَمْ تَرَهُ فَاهْرَبْ فِي الْأَرْضِ، وَلَوْ أَنْ تَمُوتَ وَأَنْتَ عَاضٌّ بِجِذْلِ شَجَرَةٍ "، قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: " ثُمَّ يَخْرُجُ الدَّجَّالُ "، قَالَ: قُلْتُ: فَبِمَ يَجِيءُ بِهِ مَعَهُ ؟ قَالَ: " بِنَهَرٍ ـ أَوْ قَالَ: مَاءٍ ـ وَنَارٍ، فَمَنْ دَخَلَ نَهْرَهُ حُطَّ أَجْرُهُ، وَوَجَبَ وِزْرُهُ، وَمَنْ دَخَلَ نَارَهُ وَجَبَ أَجْرُهُ وَحُطَّ وِزْرُهُ "، قَالَ: قُلْتُ: ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ: " لَوْ أَنْتَجْتَ فَرَسًا لَمْ تَرْكَبْ، فَلُوَّهَا حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ "

“Muhammad bin Ja’far menceritakan kepada kami, Syu’bah menceritakan kepada kami, dari Abu At-Tayyah, dia berkata, Aku mendengar Shakr menceritakan dari Subai’ yang berkata, “Mereka mengutusku dari Maah ke Kufah untuk membeli hewan kendaraan. Lalu kami mendatangi Kunasah (sebuah tempat di Kufah). Ternyata di sana ada seorang laki-laki yang dikerumuni beberapa jamaah. Temanku langsung saja menuju hewan (yang akan dibeli) sementara aku mendatanginya.

Ternyata orang itu adalah Hudzaifah. Aku mendengarnya berkata, “Para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya kepada beliau tentang kebaikan sedangkan aku bertanya tentang keburukan. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?” Beliau menjawab, “Ya.” Aku bertanya lagi, “Apa pelindung dalam hal ini?” Beliau menjawab, “Pedang.” Aku rasa Abu At-Tayyah berkata, “Pedang” dan aku rasa dia berkata, “Aku (Hudzaifah) bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Kemudian aka nada perdamaian tapi berkabut.” Aku tanyakan lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Kemudian akan ada para penyeru kesesatan. Kalau kamu melihat pada saat itu ada khalifah Allah di bumi maka ikutilah dia meski dia menyiksa tubuhmu dan mengambil hartamu. Kalau kamu tidak melihatnya (khalifah Allah) maka larilah di muka bumi meski kau mati dalam keadaan menggigit kulit pohon.”

Hudzaifah berkata, Aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Kemudian akan keluarlah Dajjal.” Hudzaifah berkata, “Aku bertanya, “Apa yang akan dia bawa ketika datang itu?” Beliau menjawab, “Dia datang membawa sungai –atau air- dan api. Siapa yang masuk sungainya habislah pahalanya dan tinggallah dosanya. Sedang yang masuk apinya maka tetaplah pahalanya dan habislah dosanya.”

Hudzaifah, Aku berkata, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab, “Kalaupun kamu memperoleh seekor kuda maka tak akan sempat kau tunggangi anaknya karena sudah keburu kiamat datang.”
       
Ini juga diriwayatkan oleh Abu Daud Ath-Thayalisi dalam musnadnya dari Hammad bin Najih, Hammad bin Zaid dan Abdul Warits, semua dari Abu Tayyah. Begitu pula Ibnu Abi Syaibah dari Hammad bin Najih dengan redaksi yang sama di atas.

Riwayat Shakhr bin Badr ini tidak memuat perintah Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk membaca kitab Allah seperti yang ada pada riwayat Ali bin Zaid bin Jud’an tapi mengandung perintah taat kepada khalifah Allah meski disiksa dan harta diambil. Ini mirip dengan riwayat Mamthur hanya dengan penjelasan bahwa yang harus ditaati kala melakukan itu adalah khalifah Allah dan bukan sembarang pemimpin.

3.Riwayat Nashr bin ‘Ashim Al-Laitsi.

Nashr bin ‘Ashim Al-Laitsi dianggap tsiqah oleh An-Nasa`iy, Ibnu Hibban dan Al-Ijli. Al-Hafizh memberinya predikat tsiqah dalam At-Taqrib, begitu pula Adz-Dzahabi dalam Al-Kasyif.[6] Dengan demikian Nashr bin ‘Ashim ini tsiqah.

Ada dua orang yang meriwayatkan dari Nashr bin ‘Ashim yaitu Qatadah bin Di’amah As-Sadusi dan Humaid bin Hilal Al-Adawi. Riwayat keduanya mempunyai perbedaan mendasar.

a. Riwayat Humaid bin Hilal.

Riwayat Humaid bin Hilal di sini semua melalui jalur Sulaiman bin Mughirah, yang meriwayatkannya dari Sulaiman adalah Abu Daud Ath-Thayalisi dalam Musnadnya (no. 443), Abu Usamah sebagaimana dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, no. 38269, Abdullah bin Maslamah Al-Qa’nabi sebagaimana dalam sunan Abi Daud, no. 4246, Abu Nadhr dan Bahz bin Asad sebagaimana dalam Musnad Ahmad, no. 23282, Bahz bin Asad sebagaimana dalam Sunan An-Nasa`iy Al-Kubra, no. 8032, Syaiban bin Abi Syaibah sebagaimana riwayat Ibnu Hibban, no. 5963. Tak ada perbedaan redaksi yang berarti sehingga boleh dikatakan tak ada perbedaan dalam riwayat Humaid bin Hilal dari Nashr bin ‘Ashim dalam hadits Subai’ ini nanti.

Berikut teks yang kami pilihkan dari riwayat Ath-Thayalisi dalam musnadnya:

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ الْمُغِيرَةِ الْقَيْسِيُّ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ هِلَالٍ الْعَدَوِيِّ، عَنْ نَصْرِ بْنِ عَاصِمٍ اللَّيْثِيِّ، قَالَ: أَتَيْتُ الْيَشْكُرِيَّ فَقَالَ: مَا جَاءَ بِكُمْ يَا بَنِي لَيْثٍ؟ قَالَ: قُلْنَا: جِئْنَا نَسْأَلُكَ عَنْ حَدِيثِ حُذَيْفَةَ فَقَالَ: غَلَتِ الدَّوَابُّ فَأَتَيْنَا الْكُوفَةَ نَجْلِبُ مِنْهَا دَوَابَّ فَقُلْتُ لِصَاحِبِي: أَدْخُلُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا كَانَتِ السُّوقُ خَرَجْتُ إِلَيْهَا فَدَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا حَلْقَةٌ كَأَنَّمَا قُطِّعَتْ رُءُوسُهُمْ مُجْتَمِعُونَ عَلَى رَجُلٍ فَجِئْتُ فَقُمْتُ فَقُلْتُ: مَنْ هَذَا؟ قَالَ: مِنْ أَهْلِ الْكُوفَةِ أَنْتَ؟ قُلْتُ: لَا بَلْ مِنْ أَهْلِ الْبَصْرَةِ قَالَ: لَوْ كُنْتَ مِنْ أَهْلِ الْكُوفَةِ مَا سَأَلْتَ عَنْ هَذَا، هَذَا حُذَيْفَةُ بْنُ الْيَمَانِ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ قَالَ: «يَا حُذَيْفَةُ تَعَلَّمْ كِتَابَ اللَّهِ وَاتَّبِعْ مَا فِيهِ» ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟ فَقَالَ: «هُدْنَةٌ عَلَى دَخَنٍ» ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْهُدْنَةُ عَلَى دَخَنٍ؟ قَالَ: «لَا تَرْجِعُ قُلُوبُ أَقْوَامٍ إِلَى مَا كَانَتْ عَلَيْهِ» ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«ثُمَّ تَكُونُ فِتْنَةٌ عَمْيَاءُ صَمَّاءُ دُعَاةُ ضَلَالَةٍ أَوْ قَالَ دُعَاةُ النَّارِ فَلَأَنْ تَعَضَّ عَلَى جِذْلٍ - يَعْنِي شَجَرَةً - خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ تَتْبَعَ أَحَدًا مِنْهُمْ»

“Sulaiman bin Mughirah Al-Qaisi menceritakan kepada kami, dari Humaid bin Hilal Al-‘Adawi, dari Nashr bin ‘Ashim Al-Laitsi, Aku mendatangi Al-Yasykuri dan dia berkata, “Apa yang membuat kalian datang wahai Bani Laits?” Aku jawab, “Kami datang menanyakan hadits Hudzaifah.”

Dia berkata, Terjadi kenaikan harga hewan kendaraan yang tinggi maka kamipun datang ke Kufah untuk membeli hewan. Aku berkata kepada temanku, “Aku akan masuk masjid, nanti kalau ada pasar (rombongan pedagang –penerj) maka aku akan keluar ke sana.”

Akupun masuk masjid dan ternyata di sana ada halaqoh pengajian seakan-akan kepala mereka terpotong[7]. Mereka berkumpul mengelilingi seorang laki-laki. Akupun datang dan bertanya, “Siapa dia?” Dia (orang yang ditanya) menjawab, “Kamu dari Kufah?” Aku jawab, “Bukan, aku dari Bashrah.” Dia berkata, “Kalau kamu dari Kufah kau tak akan bertanya siapa dia. Dia adalah Hudzaifah bin Al-Yaman.”

Dia (Hudzaifah) berkata, Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?” Beliau menjawab, “Wahai Hudzaifah, pelajarilah kitab Allah dan amalkan isinya.
Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah apakah setelah kebaikan ini ada keburukan?” Beliau menjawab, “Perdamaian di atas kekeruhan (kabut).”
Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apa maksud perdamaian di atas kekeruhan?”
Beliau menjawab, “Tidak akan kembali hati-hati orang-orang sebagaimana semula. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Kemudian akan terjadi huru-hara buta dan tuli lalu ada para penyeru sesat –atau belaiau ucapkan- penyeru ke neraka. Maka kau mati menggigit tonggak pohon akan lebih baik bagimu daripada kau mengikuti salah satu dari mereka.”

Demikian redaksi riwayat Humaid bin Hilal Al-‘Adawi dan dia tsiqah termasuk pemuka tabi’in, hanya saja Ibnu Sirin tidak suka padanya karena dia sering bekerjasama dengan penguasa, tapi dia tsiqah dalam hadits.

b. Riwayat Qatadah.

Yang meriwayatkan hadits ini dari Qatadah adalah Ma’mar sebagaimana dalam Al-Mushannaf Abdurrazzaq, no. 20711, Abu ‘Awanah sebagaimana dalam Sunan Abi Daud, no. 4244 dan Musnad Al-Bazzar, no. 2959 dan 2960, Hisyam Ad-Dastawa`iy sebagaimana dalam Musnad Ath-Thayalisi, no. 444 tapi tanpa menyebut Nashr bin ‘Ashim dan langsung dari Subai’ bin Khalid, juga riwayat Hammam di musnad Ath-Thayalisi, no. 438 juga tanpa menyebut Nashr bin ‘Ashim. Kemungkinan besar adalah Qatadah meriwayatkan kadang bersambung melalui Nashr bin ‘Ashim kadang pula memursalnya langsung kepada Subai’ bin Khalid karena dia memang biasa melakukan itu, apalagi dia seorang mudallis.

Berikut teks Qatadah kami ambilkan dari Musnad Al-Bazzar:

وَأَخْبَرَنَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى ، قَالَ : أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ حَمَّادٍ ، وَأَبُو الْوَلِيدِ ، قَالاَ : أَخْبَرَنَا أَبُو عَوَانَةَ ، عَنْ قَتَادَةَ ، عَنْ نَصْرِ بْنِ عَاصِمٍ ، عَنْ سُبَيْعِ بْنِ خَالِدٍ ، قَالَ : خَرَجْتُ إِلَى الْكُوفَةِ زَمَنَ فُتِحَتْ تُسْتَرُ لأَجْلِبَ مِنْهَا بِغَالاً فَدَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا صِدْعٌ مِنَ الرِّجَالِ تَعْرِفُ إِذَا رَأَيْتَهُ أَوْ رَأَيْتَهُمْ أَنَّهُمْ مِنْ رِجَالِ الْحِجَازِ فِيهِمْ رَجُلٌ قُلْتُ : مَنْ هَذَا ؟ قَالَ : فَحَدَّثَنِيَ الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ ، فَقَالُوا : أَلاَ تَعْرِفُ هَذَا ؟ هَذَا حُذَيْفَةُ صَاحِبُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : إِنَّ النَّاسَ كَانُوا يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ ، فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ ، أَرَأَيْتَ هَذَا الْخَيْرَ الَّذِي أَعْطَانَاهُ اللَّهُ يَكُونُ بَعْدَهُ شَرٌّ كَمَا كَانَ قَبْلَهُ ؟ قَالَ : نَعَمْ قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ ، فَمَا الْعِصْمَةُ مِنْ ذَلِكَ ؟ قَالَ : السَّيْفُ ، قُلْتُ : وَهَلْ لِلسَّيْفِ مِنْ بَقِيَّةٍ ؟ قَالَ : نَعَمْ ، قُلْتُ : ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : هُدْنَةٌ عَلَى دَخَنٍ ، وَجَمَاعَةٌ عَلَى فُرْقَةٍ ، فَإِنْ كَانَ لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَوْمَئِذٍ خَلِيفَةٌ ضَرَبَ ظَهْرَكَ وَأَخَذَ مَالَكَ فَاسْمَعْ ، وَأَطِعْ ، وَإِلاَّ فَمُتْ وَأَنْتَ عَاضٌّ بِجِذْلِ شَجَرَةٍ ، قَالَ : قُلْتُ : ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : ثُمَّ يَخْرُجُ الدَّجَّالُ مَعَهُ نَهْرٌ ، وَنَارٌ فَمَنْ وَقَعَ فِي نَارِهِ وَجَبَ أَجْرُهُ وَحُطَّ ، وِزْرُهُ ، وَمَنْ وَقَعَ فِي نَهْرِهِ وَجَبَ ، وِزْرُهُ ، وَحُطَّ أَجْرُهُ ، قَالَ : قُلْتُ ثُمَّ مَاذَا ؟ قَالَ : ثُمَّ إِنَّهَا هِيَ قِيَامُ السَّاعَةِ.

“Kami juga dikabari hadits ini oleh Muhammad bin Mutsanna, dia berkata,  Yahya bin Hammad dan Abu Walid mengabarkan kepada kami, keduanya berkata, Abu ‘Awanah mengabarkan kepada kami, dari Qatadah, dari Nashr bin ‘Ashim, dari Subai’ bin Khalid, dia berkata, “Aku berangkat ke Kufah pada masa ditaklukkannya Tustar dengan tujuan mendapatkan baghal (peranakan keledai dan kuda). Aku masuk masjid dan ternyata di sana sudah ada kumpulan orang yang kalian akan tahu kalau melihatnya bahwa mereka dari Hijaz. Di antara mereka ada seorang laki-laki dan aku tanyakan siapa dia? Orang-orang itu memandangku dengan membelalak sembari berkata, “Kamu tidak mengenalnya? Ini adalah Hudzaifah sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Hudzaifah berkata, “Sesungguhnya manusia bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tentang kebaikan tapi aku bertanya tentang keburukan. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, menurut anda apakah kebaikan yang telah dikarunaikan Allah kepada kita ini akan berganti dengan keburukan sebagaimana dulu?” beliau menjawab, “Ya.” Aku Tanya lagi, “Apa yang bisa melindungi dari itu?” Beliau menjawab, “Pedang.” Aku Tanya lagi, “Apakah pedang akan tersisa?” Beliau menjawab, “Ya.” Aku Tanya lagi, “Kemudian apa yang akan terjadi?” Beliau menjawab, “Perdamaian tapi dengan kekeruhan dan persatuan di atas perpecahan. Kalau pada saat itu allah Tabaraka wa Ta’ala punya khaliah yang memukul punggungmu dan mengambil hartamu maka dengar dan taatlah. Kalau tidak maka lebih kau menggigit batang pohon.”
Aku bertanya lagi, “Lalu apalagi setelah itu?”
Beliau menjawab, “Kemudian akan keluarlah Dajjal yang membawa sungai dan api. Siapa yang kena apinya maka tetaplah pahalanya dan terhapuslah dosanya. Tapi siapa yang kena sungainya maka tetaplah dosanya dah terhapuslah pahalanya.”
Aku Tanya lagi, “Setelah itu apa lagi?”
Beliau menjawab, “Kemudian akan terjadi hari kiamat.”

Perhatikan redaksi riwayat Qatadah ini sangat mirip dengan riwayat Shakr bin Badr, sedangkan riwayat Hilal lebih mirip dengan riwayat Ali bin Ziad bin Jud’an. Padahal tidak mungkin Nashr bin ‘Ashim menceritakannya berlainan antara Qatadah dengan Hilal bin Umayyah. Untuk itu perlu dilakukan tarjih mana yang lebih kuat diantara keduanya. Qatadah adalah mudallis, dan dalam riwayat ini dia melakukan ‘an’anah. Itu bisa mencacat riwayatnya bila dibanding dengan riwayat Hilal bin Umayyah. Dengan begitu riwayat Hilal bin Umayyah lebih kuat.

Lalu riwayat Nashr bin ‘Ashim dibandingkan dengan riwayat Shakr jelas riwayat Nashrlah yang diunggulkan karena dia tsiqah sedangkan Shakhr majhul. Sedangkan dalam riwayat Nashr ini tidak ada kalimat yang kita bahas yaitu “Pemimpin yang memukul punggung dan mengambil harta.”

Dengan begitu bisa diputuskan bahwa tambahan tersebut syaadz dan tidak ada dalam riwayat Hudzaifah. Akan tetapi riwayat Shakr ini lebih mirip dengan riwayat Abu Idris Al-Khaulani yang shahih, kecuali adanya tambahan khalifah Allah yang harus ditaati meski memukul punggung dan mengambil harta.

Kalaupun ada yang mau menganggap tambahan riwayat yang ada khalifah Allah tersebut berarti itu harus menjadi qayyid (pengikat) bagi riwayat Mamthur yang memutlakkan ketaatan kepada setiap pemimpin yang sering dijadikan landasan orang-orang sekarang untuk taat kepada pemimpin thaghut.

Kata Khalifah Allah jelas mengindikasikan bahwa pemimpin tersebut menjadikan syariat Allah sebagai dasar hukum kepemimpinannya dan tidak mungkin berlandaskan undang-undang yang bertetangan dengan hukum Allah yang dalam bahasa Al-Quran disebut undang-undang jahiliyyah (lihat surah Al-Maidah ayat 50). Atau disebut pula thaghut sebagaimana surah An-Nisa` ayat 60.

Kemudian, masih ada hadits lain yang juga memuat kalimat, “meski memukul punggung dan mengambil harta” dalam hadits Ubadah bin Shamit dan insya Allah akan kita bahas setelah ini.


Oleh : Ust. Anshari Taslim

catatan kaki :

[1] Al-Ilzaamaat wat Tatabbu’ hal. 182.
[2] Lihat Tahdzib At-Tahdzib 10/263.
[3] Syar A’lam An-Nubala` 4/355-357.
[4] Lihat Al-Ikmal 5/211.
[5] Lihat Tahdzib Al-Kamal 20/437.
[6] Lihat Tahdzib Al-Kamal 29/348, Ats-Tsiqaat oleh Al-Ijli 2/313, no. 1848, Al-Kasyif 2/318, no. 5813, At-Taqrib 2/161, no. 8010.
[7] Mungkin karena tertunduk mendengarkan jadi seakan kepala mereka tak terlihat dan hanya terlihat kerah bajunya saja. Wallahu a’lam.

Bicara Hadits Kembalikanlah kepada Ulama Hadits

 
Bicara hadits maka kembalikanlah kepada para ulama hadits. Mereka adalah kaum yang paling tahu dan paham tentang hadits tiap imam bahkan ruwat-nya.

Tak tepat menyebut seorang imam paling top dalam hadits pada masa, generasi, dan tempat tetapi tak mampu menegakkan hujjah atas kesimpulannya.

Sebagai misal, Imam Abu Hanifah rahimahullah, sebagian ulama hadits mendhaifkannya dalam bidang hadits--terlepas kepakaran dan keutamaannya dalam fiqh. Sehingga banyak ulama hanafiyah yang semot dengan pandangan sebagian ulama hadits tersebut. Tidak main-main yang menukil hal tersebut adalah Al-Khatib Al-Baghdadi. Sehingga dengan sebab itu Al-Khatib dihujat oleh ulama hanafiyah dan difitnah dengan fitnah-fitnah yang keji. Tahukah anda siapakah Al-Khatib Al-Baghdadi tersebut? Dia adalah imam yang dikatakan Al-Hafizh Ibnu Nuqthah bahwa imam-imam yang datang sesudahnya membebek kepadanya. Ucapan tersebut diakui dan disetujui Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani. Sedang dalam fiqh beliau adalah seorang faqih yang mutadhalli' dalam madzhab syafi'i disejajarkan dengan Imam Al-Baihaqi.

Karena banyak qaul dan ra`yu Imam Abu Hanifah tak jarang idhthirab maka beliau dijarh oleh Imam Ibnu Qutaibah Ad-Dinuri dalam Ta`wiilu Mukhtalafil Hadiits.

Bicara fiqh maka kembalikanlah kepada imam-imam ahli fiqh. Kalau orang-orang seperti Asy-Syaukani, Syah Waliyullah Ad-Dahlawi, Abdul Hayy Al-Luknawi, dan banyak lagi mengakui madzhab ahlul hadits dalam fiqh dan memandang madzhab mereka lebih dekat dengan kebenaran dalam masalah-masalah khilafiyat maka tak pada tempatnya seseorang menafikan ilmu dan ahliyah mereka dalam fiqh. Apalagi sudah makruf bahwa sejak awal abad pertama hijriyah sudah dikenal madrasah ahlul hadits yang berpusat di Hijaz (Makkah dan Madinah) dan madrasah ahlur ra`yi yang berpusat di Irak (Kufah). Imam Az-Zuhri, Al-Auza'i, Sufyan Ats-Tsauri, Abdullah Bin Al-Mubarak, Malik Bin Anas, Ibnu Abi Dzi'ib, Ahmad Bin Hanbal, Ishaq Bin Rahawaih, Dawud Bin Ali Azh-Zhahiri, dan Ibnu Jarir Ath-Thabari adalah sedikit dari sederetan ahli fiqh yang berasal dari madrasah ahlul hadits. Sedang Imam Abu Hanifah adalah yang mewakili madrasah ahlur ra`yi.

Hal tersebut sudah makruf dikalangan thullabul 'ilmi. Bahkan orang yang baru belajar tarikh tasyri' islami pun tahu.

Tetapi yang sudah dijamin bahwa imam-imam dan mujtahid-mujtahid dari madrasah ahlul hadits aqidahnya lurus-lurus kecuali Dawud Bin Ali Azh-Zhahiri yang pernah mengikuti qaul khalqil qur`aan tetapi sudah rujuk dan taubat darinya. Sedangkan Abu Hanifah dan pengikutnya banyak qaulnya dalam aqidah yang menyalahi jumhur salaf seperti dalan masalah amal apakah termasuk iman atau bukan, masalah bertambah dan berkurangnya, masalah istitsna dll.

Kalau benci kepada salafiyyun andunisiyyun maka bicarakan dengan adil. Kasalahan mereka adalah tanggubgjawab mereka. Kalau kemudian menafikan ilmunya Syaikh Bin Baz, Ibnu ' Utsaimin, Al-Albani, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim dengan kemampuan yang masih dipermukaan maka hal itu seperti burung emprit yang mematuk gunung. Bukan gunungnya yang runtuh justru parunya yang patah dan berdarah-darah. Semoga Allah swt memberikan rahmat kepada orang yang sadar atas ilmu dan ahliyahnya kemudian menghormati imam-iman salaf dan sebagian syaikh-syaikh kontemporer yang fatwa dan qaul mereka muktabar dikalangan ulama-ulama sekarang.
 
oleh : Ust. Hafidhin A. Luthfi

Sikap Al-Ikhwaan Al-Muslimiin Terhadap Takfiir


Al-Ikhwaan Al-Muslimiin adalah sebuah jamaah yang mu'tadil (moderat) dalam bab takfiir (pengkafiran). Mereka sangat berhati-hati dalam bab tersebut. Dan memandang bahwa takfiir adalah perkara yang sangat bahaya baik bagi pelakunya, masyarakat, dan dakwah sendiri.

Mengkafirkan orang yang mentauhidkan Allah Ta'ala, beriman kepada rasul-Nya shallallaahu 'alaihi wasallam, ridha dengan Islam sebagai agama, melaksanakan kewajiban-kewajiban agama, berjuang untuk menegakkan syariah Rabbaniyyah, dan berjihad terhadap musuh-musuh umat merupakan perkara yang besar sekali. Pengkafirannya bisa kembali kepada dirinya sendiri. Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, "Siapapun orang yang berkata kepada saudaranya, "Wahai kafir", maka sungguh hal itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya." [HR. Bukhari dan Muslim]

Virus takfiir ini juga bisa mencabik-cabik persaudaraan dan persatuan umat Islam. Umat yang tadinya bersaudara berubah menjadi saling bermusuhan. Dan umat yang tadinya sibuk menghadapi orang-orang kafir berubah kesibukannya untuk menghadapi para takfiiriyyuun.

Imam Abu Hamid Al-Ghazaliy rahimahullah dalam Al-Iqtishaad Fil I'tiqaad halaman 157 berkata, "Dan yang selayaknya orang muslim cenderung kepadanya adalah menjaga dirinya dari mengkafirkan orang selama ia mendapatkan jalan kepadanya. Karena sesungguhnya menghalalkan darah dan harta orang-orang yang shalat menghadap qiblat yang jelas-jelas mengucapkan [kalimat] "Laa ilaaha Illallaah muhammadur rasuulullaah" adalah sebuah kesalahan. Dan kesalahan membiarkan seribu orang kafir hidup masih lebih ringan daripada kesalahan mengalirkan darah orang muslim melalui alat bekam."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah qaddasallaahu ruuhahu berkata dalam Majmuu'ul Fataawaa jilid 12/466, "Barangsiapa yang sudah sah keislamannya secara yakin maka tidak bisa hilang darinya dengan keraguan, bahkan tidak bisa hilang melainkan setelah ditegakkan hujjah dan dihilangkan syubhat."

Begitu banyaknya orang yang mengkafirkan orang atau pihak lain karena pendapat yang diikuti atau maksiat yang dilakukan maka Imam Hasan Al-Banna rahimahullah berkata, "Kami tidak mengkafirkan orang muslim yang mengiqrarkan dua kalimat shahadat, mengamalkan tuntutan keduanya, dan melaksanakan kewajiban-kewajiban karena suatu pendapat [yang diikutinya] atau kemaksiatan [yang dilakukannya]."

Jadi, Al-Ikhwaan Al-Muslimiin menolak mengkafirkan orang muslim yang mengikuti sebuah pendapat yang dipandang lemah dan keliru dalam masalah-masalah ijtihad yang mengandung beberapa sudut pandang baik dalam masalah aqidah maupun fiqh. Sebab, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, "Sesungguhnya Allah menghapuskan dari umatku kekeliruan, kelupaan, dan apa-apa yang mereka dipaksa atasnya." [HR. Ibnu Majah)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah qaddasallaahu ruuhahu memberikan ta'liq atas hal tersebut dalam Majmuu'ul Fataawaa jilid 3/229, "Dan hal tersebut mencakup kekeliruan dalam masalah-masalah khabariyyah qauliyyah [aqidah] dan masalah-masalah 'amaliyyah [fiqh]. Dan, orang-orang salaf selalu berselisih dalam kebanyakan masalah-masalah ini, tetapi tidak seorang pun dari mereka bersaksi atas seorang pun dengan kekufuran atau kefasikan atau kemaksiatan."

Jelaslah bahwa kalau ada orang yang mengaku bermanhaj Al-Ikhwaan Al-Muslimiin tetapi mudah mengkafirkan orang dan organisasi muslim, seperti mengkafirkan Hammas, Muhammad Mursi, Rojab Thayyib Erdogan, Ismail Haniyyah, PKS, serta kaum salafi yang berjuang melalui parlemen, ketahuilah dia bukan berasal dari Al-Ikhwaan Al-Muslimiin justru dia merupakan seorang takfiri dan khawarij yang sesat.

Jadi, tak ada tempat bagi takfiri atau khawarij dalam jamaah Al-Ikhwaan Al-Muslimiin. Sudah selayaknya organisasi yang mengaku mengikuti Al-Ikhwaan Al-Muslimiin membersihkan barisannya dari takfiri atau khawarij.

oleh : Ust. Hafidhin A. Luthfie

23 Apr 2015

Sebuah Catatan Bersama Jamaah Tabligh

Beberapa waktu lalu, ada 2 saudara dari jamaah tabligh berkunjung ke kampus. Seperti biasanya, mereka tak sungkan berpakaian sunnah, celananya agak naik, berpeci dan jenggotnya panjang. Seakan, mereka tak menghiraukan suasana kehidupan di sini yang mana muslim jadi minoritas. Apalagi di tengah musim spring seperti saat ini, di mana para wanitanya acapkali berpakaian ala kadarnya. Kontras rasanya.

Pertama kali berkenalan, mereka terlihat sederhana, berwajah biasa saja, nampak zuhud. Tak terbayang sama sekali mereka dari kalangan orang kaya, apalagi dari orang yg berstrata pendidikan tinggi.

Setelah cukup lama berbincang, diri ini tersentak kaget saat bertanya,

"Dulu pernah kuliah di mana pak?"

Kemudian beliau jawab dengan nada biasa,

"Lulus S1 saya ambil jurusan international bussiness di Birmingham, setelah itu kerja di sana 5 tahun."

Mata dan hati jadi terbelalak, untuk beberapa saat tak berkedip. Kemudian bapak yang satunya saya tanya,

"Kalau bapak kerja di mana pak?"
"Saya 30 tahun kerja di Telkom. Sekarang sudah pensiun."

Tak berhenti sampai di situ. Saya lanjutkan beberapa pertanyaan ,

"Sudah pernah jaulah ke negara mana saja pak selain ke sini?"

"Ini kami di sini sedang program masturah 40 hari. Besok kami akan ke Hongkong. Sebelumnya kami sdh jaulah ke Prancis, Jerman, Inggris, Belanda, Belgia, Rusia."

"Selain ke Eropa, apakah pernah?"

"Yang Kami belum pernah ke Afrika Selatan. India, Pakistan, Bangladesh, Australia, Amerika Serikat, Chili, Peru dan Uruguay alhamdulillah sudah pernah."

"Lalu untuk semua itu dapat ongkos darimana pak?"

"Dari Allah. Dari rezekinya Allah. Kebanyakan orang menganggap pintu rezeki hanya datang dari pekerjaan. Padahal ada 15 pintu rezeki. Dan pekerjaan itu adalah pintu paling akhir untuk menjemput rezeki."

Subhanallah. Terbantahkan sudah image jama'ah tabligh yg biasanya dikesankan sbg jamaah ekonomis yang tidak punya apa-apa. Fakta sudah berbicara, bahwa sebenarnya dalam segi strata sosial maupun materi kebendaan, harta dan pendidikan mereka tak kalah mentereng dengan yang lain. Hanya saja memang mata manusia ini sering terkelabui dengan balutan penampilan yang tak meyakinkan.

Dengan sedikit mengesampingkan kekurangan yg ada pada 'manhaj' mereka, bagaimanapun jamaah tabligh telah berjasa besar dan berkontribusi dalam mengajak kaum muslimin untuk kembali ke masjid.

Lalu..
Saya, kau dan kita ini, sudah berbuat apa?

13 Apr 2015

Shalat Sunnah 4 Raka’at Setelah ‘Isyaa’ Setara dengan Shalat Sunnah 4 Raka'at pada Waktu Lailatul-Qadr

Diantara sunnah yang banyak ditinggalkan kaum muslimin saat ini adalah shalat sunnah empat raka’at setelah ‘Isyaa’. Diantara dasar dalilnya adalah:

حَدَّثَنَا آدَمُ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْحَكَمُ، قَالَ: سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَهَا فِي لَيْلَتِهَا، فَصَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ، ثُمَّ جَاءَ إِلَى مَنْزِلِهِ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ نَامَ، ثُمَّ قَامَ، ثُمَّ قَالَ: نَامَ الْغُلَيِّمُ أَوْ كَلِمَةً تُشْبِهُهَا، ثُمَّ قَامَ، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ، فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ نَامَ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أَوْ خَطِيطَهُ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ "

Telah menceritakan kepada kami Aadam, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Hakam, ia berkata : Aku mendengar Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkara : “Aku pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah bin Al-Harits, istri Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam; dan ketika itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di rumah bibi saya itu. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat ‘Isya’ (di masjid), kemudian beliau pulang, lalu beliau mengerjakan shalat sunnah empat raka’at. Setelah itu beliau tidur, lalu beliau bangun dan bertanya : ‘Apakah anak laki-laki itu (Ibnu ‘Abbas) sudah tidur ?’ -  atau beliau mengucapkan kalimat yang semakna dengan itu. Kemudian beliau berdiri untuk melakukan shalat, lalu aku berdiri di sebelah kiri beliau untuk bermakmum. Akan tetapi kemudian beliau menjadikanku berposisi di sebelah kanan beliau. Beliau shalat lima raka’at, kemudian shalat lagi dua raka’at, kemudian beliau tidur. Aku mendengar suara dengkurannya yang samar-samar. Tidak berapa lama kemudian beliau bangun, lalu pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat shubuh”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 117].

حَدَّثَنَا ابْنُ إِدْرِيسَ، عَنْ حُصَيْنٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: " مَنْ صَلَّى أَرْبَعًا بَعْدَ الْعِشَاءِ كُنَّ كَقَدْرِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Idriis, dari Hushain, dari Mujaahid, dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : “Barangsiapa yang shalat empat raka’at setelah (shalat) ‘Isyaa’, maka nilainya setara dengan empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/343 (5/100) no. 7351; sanadnya shahih[1]].

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْأَسْوَدِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: " أَرْبَعٌ بَعْدَ الْعِشَاءِ يَعْدِلْنَ بِمِثْلِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ "

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudlail, dari Al-‘Alaa’ bin Al-Musayyib, dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Aswad, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah, ia berkata : “Empat raka’at setelah ‘Isyaa’ setara dengan empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr” [idem, no. 7352; sanadnya hasan].

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ عَبْدِ الْجَبَّارِ بْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ وَهْبٍ، عَنْ مُرَّةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: " مَنْ صَلَّى أَرْبَعًا بَعْدَ الْعِشَاءِ لَا يَفْصِلُ بَيْنَهُنَّ بِتَسْلِيمٍ ؛ عَدَلْنَ بِمِثْلِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ "

Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari ‘Abdul-Jabbaar bin ‘Abbaas, dari Qais bin Wahb, dari Murrah, dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : “Barangsiapa yang shalat empat raka’at setelah ‘Isyaa’ yang tidak dipisahkan dengan salam, maka nilainya setara dengan empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr” [idem, no. 7353; sanadnya hasan].

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ عَبْدِ الْوَاحِدِ بْنِ أَيْمَنَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ تُبَيْعٍ، عَنْ كَعْبِ بْنِ مَاتِعٍ، قَالَ: " مَنْ صَلَّى أَرْبَعًا بَعْدَ الْعِشَاءِ يُحْسِنُ فِيهِنَّ الرُّكُوعَ، وَالسُّجُودَ، عَدَلْنَ مِثْلَهُنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ "

Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari ‘Abdul-Waahid bin Aiman, dari ayahnya, dari Tubai’, dari Ka’b bin Maati’, ia berkata : Barangsiapa yang shalat empat raka’at setelah ‘Isyaa’ dengan membaguskan rukuk dan sujud padanya, nilainya setara dengan empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr” [idem, no. 7354; sanadnya hasan].

Atsar Ka’b bin Maati’ atau Ka’b Al-Ahbar ini juga diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 4895-4896 dengan sanad hasan.

Faedah: 
1. Riwayat-riwayat di atas menegaskan tentang masyruu’-nya shalat sunnah empat raka’at setelah ‘Isyaa’.

2. Amalan tersebut beserta pahalanya yang senilai dengan empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr, meskipun sanadnya mauquuf pada shahabat radliyallaahu 'anhum, namun hukumnya adalah marfuu’,[2] karena di dalamnya tidak ada ruang ijtihaad dalam menetapkan pahala suatu amalan secara khusus, sehingga diketahui bahwasannya statement itu tidak lain hanyalah berasal dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

3. Afdlal, shalat tersebut dilakukan di rumah sebagaimana hadits Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa. Selain itu, sesuai pula dengan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلَاةِ صَلَاةُ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الْمَكْتُوبَةَ
“Sesungguhnya seutama-utama shalat adalah shalatnya seseorang di rumahnya, kecuali shalat wajib (yang dilakukan di masjid secara berjama’ah – Abul-Jauzaa’)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 731]. 

4. sunnah tersebut dilakukan empat raka’at tanpa dipisahkan dengan salam, sebagaimana atsar ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu. Akan tetapi bisa juga dilakukan dua raka’at-dua raka’at dengan masing-masing salam sesuai keumuman sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat sunnah malam dilakukan dua-dua” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 991].

5.Diantara ulama yang menegaskan sunnahnya amalan ini antara lain :
As-Sarkhasiy rahimahullah berkata:

فَأَمَّا التَّطَوُّعُ بَعْدَ الْعِشَاءِ فَرَكْعَتَانِ فِيمَا رَوَيْنَا مِنْ الْآثَارِ وَإِنْ صَلَّى أَرْبَعًا فَهُوَ أَفْضَلُ لِحَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مَوْقُوفًا عَلَيْهِ وَمَرْفُوعًا مَنْ صَلَّى بَعْدَ الْعِشَاءِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ كُنَّ لَهُ كَمِثْلِهِنَّ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ

Adapun shalat sunnah setelah ‘Isyaa’ adalah dua raka’at berdasarkan apa yang diriwayatkan kepada kami dari atsar-atsar. Apabila ia shalat empat raka’at maka afdlal berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu secara mauquuf dan marfuu’ : ‘Barangsiapa shalat setelah ‘Isyaa’ sebanyak empat raka’at, maka baginya pahala senilai empat raka'at pada waktu Lailatul-Qadr” [Al-Mabsuuth 1/459 – via Syaamilah].

Ibnu Baaz rahimahullah berkata:

الراتبة ركعتان، وإن صلى أربع ركعات فلا بأس، فقد جاء في الحديث: " أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي أربعاً قبل أن ينام " وإذا فعلها الإنسان فلا بأس، وإن اقتصر على ركعتين فهي الراتبة، والراتبة التي كان يحافظ عليها: بعد العشاء ركعتان، ثم ينام، ويقوم في آخر الليل يتهجد عليه الصلاة والسلام

“Shalat sunnah rawatib setelah ‘Isyaa’ adalah dua raka’at. Apabila ia shalat empat raka’at, maka tidak mengapa, karena terdapat dalam hadits : ‘Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat empat raka’at sebelum beliau tidur’. Apabila seseorang melakukannya, maka tidak mengapa. Dan apabila ia meringkasnya dua raka’at, maka itulah shalat sunnah rawatib. Shalat sunnah rawatib yang senantiasa dijaga oleh beliau adalah : dua raka’at setelah ‘Isyaa’, kemudian tidur. Setelah itu bangun di akhir malam untuk melakukan shalat tahajjud. Semoga shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada beliau” [Majalah Al-Buhuuts Al-Islaamiyyah, 46/197].

Al-Albaaniy rahimahullah mengisyaratkan masyru’-nya shalat sunnah ini ketika menjelaskan hadits no. 5060 dalam buku Silsilah Adl-Dla’iifah 11/101-103.

Wallaahu a’lam.

Ditulis oleh Ust. Doni A. Wibowo

9 Apr 2015

Membaca Zaman : Kisruh Timur Tengah Menuju Skema Akhir Zaman

Kisruh Timur Tengah adalah Tanda Telah Dekatnya Akhir Zaman
 
Serangan Amerika dan Kehancurannya

Segala puji hanya untuk Allah, Tuhan yang tidak serupa dengan apapun. di Tangan-Nya lah segala kehidupan telah ditentukan. Sungguh Allah Maha Besar dan Maha Suci dari yang mereka persekutukan.

Dalam pembahasan yang lalu, telah kami uraikan isyarat nabi SAW tentang urutan-urutan peristiwa yang akan kita nantikan datangnya. Dan dalam tulisan kali ini, penulis akan membaginya dalam tiga (3) fase kejadian berdasarkan hadist Rasulullah SAW:

FASE 1 adalah tanda-tanda kecil yang sudah terjadi hingga Perang Dunia III.

FASE 2 adalah masa-masa emas lslam bersama Imam Mahdi dan Nabi Isa al-Masih.

FASE 3 adalah tanda-tanda besar berdirinya kiamat.

Berikut uraiannya:

FASE 1

Urutan peristiwa ini dihitung dari seluruh tanda-tanda kecil kiamat hingga terjadinya peperangan besar yaitu Perang Dunia 3 yang merupakan tanda awal datangnya Imam Mahdi dan pembaiatan beliau oleh seluruh umat muslim di dunia.

Saat ini kita berdiri di tahun 2015, dimana keadaan sekarang ini negara-negara di Timur Tengah sedang bergejolak dengan revolusinya yang bisa jadi mengantarkan kita pada satu Khalifah/pemimpin tunggal umat Islam seluruh dunia. Bahkan insya ALLAH akan kita dengar berita dunia selanjutnya adalah penyerangan Amerika dan sekutunya terhadap Syria, dengan dalih perang melawan terorisme internasional.

Bahkan hal ini sudah terlihat dengan campur tangannya Amerika dan sekutunya pada krisis Libya. Tujuan mereka selanjutnya yaitu menguasai Saudi Arabia, mungkin serangan Amerika ini hanya sebagai ‘bantuan” kepada seorang keluarga Kerajaan yang ingin berkuasa di Arab, kemudian mereka menyebut pemimpin baru ini sebagai “As Sufyani”.

Selanjutnya Amerika juga akan menyerang Iran yang diketahui mempunyai banyak nuklir. Turki yang bersekutu (dalam artian karena kesamaan kepentingan politik bukan karena kesamaan ideologi) dengan Amerika akan mengambil alih Irak.

lnvasi Turki atas Irak ini akan menjadi dalih oleh Rusia untuk memasuki Turki. Pada saat Amerika berada di Iran, maka kaum Muslim Khurasan tentu akan melakukan perlawanan terhadap mereka.

Pada saat yang bersamaan pula, Rusia menyerang Turki dan pangkalan militer Amerika disana. Dan serangan Rusia itu akan memancing dunia untuk terlibat dalam Perang Dunia ke-3.

Rusia-Perancis-Jennan-China-Korea akan berada pada blok WARSAWA, sedangkan Amerika-Inggris-Italy-Spanyol-Australia-Jepang-India berada pada blok NATO, sedangkan Arab yang dipimpin ‘As Sufyani” akan berpihak ke NATO. Pada perang ini masing-masing negara akan saling tembak dengan nuklir.   Kejadian inilah yang kita sebut sebagai peperangan Malhamah Kubro (atau dalam Bible disebut Armageddon), yang sudah kami bahas di halaman atau web ini.

Berikut skema keadaan dunia pada FASE 1, sebelum datangnya kiamat:



FASE 2

Urutan peristiwa ini dimulai sejak terjadinya Perang Dunia ke- 3 yang mana setelah perang ini maka Imam Mahdi akan datang.

Pada perang ini Rusia dan sekutunya akan kalah. Perang Dunia ke-3 ini hanya terjadi selama beberapa bulan saja, namun dunia akan penuh dengan kehancuran. Setelah perang ini, masuklah musim haji dan Imam Mahdi akan bersama rombongan haji.

Beberapa kejadian ajaib akan menandai kehadiran beliau yang akan diketahui oleh seluruh umat muslim dunia. Sesudah dibaiat, kemudian Imam Mahdi memimpin seluruh muslim untuk berperang menegakkan kalimat ALLAH selama 7 tahun.

Yellowstone Super Vulcano akan meledak pada zaman Imam Mahdi, membakar 213 benua Amerika dan akan menghancurkan negara dajjal ini. Tidak ada Iagi tempat dan pengikut bual AI Masih Dajjal kecuali ia harus keluar dari persembunyiannya di Amerika yang hancur lebur. Dajjal kemudian berkeliling dunia untuk menyebar kekafiran.

Setelah turunnya Nabi Isa Al Masih untuk membunuh Dajial, Imam Mahdi menyerahkan kepemimpinan Islam ke tangan Nabi Isa. Dan di bawah komando Nabi Isa Al Masih, seluruh umat Yahudi di tanah Palestina akan dibunuh. Eropa akan diserang dan Gereja Vatikan akan dihancurkan karena Nabi Isa akan mengambil naskah Injil dan Taurat asli yang telah lama disembunyikan isi yang sebenarnya yakni, tentang tauhid kepada Allah yang Esa.

Nabi Isa akan memerintahkan untuk membunuh orang-orang yang tidak mau memeluk Islam yakni, golongan Kristen, Yahudi dan agama-agama paganisme untuk masuk ke dalam Islam sebagai agama bagi seluruh umat manusia. Beliau juga akan membunuh babi, dan tidak ada pilihan bagi orang-orang kafir kecuali masuk Islam atau mati.

Berikut skema keadaan dunia pada FASE 2, detik-detik menunggu kiamat:



FASE 3


Urutan peristiwa dihitung sejak wafatnya Imam Mahdi, kemudian Nabi Isa akan berhaji dan setelah itu beliau juga wafat. Kemudian seluruh ulama mursyid dan mujtahid juga akan diwafatkan oleh Allah SWT.

Ilmu agama lslam akan benar-benar dicabut secara sempura dan hilang dari muka bumi. Tinggallah yang hidup manusia yang terbagi dalam dua kelompok yaitu mukmin, dan munafik.

Orang-orang mukmin akan tetap beribadah kepada ALLAH. Sedangkan orang-orang muslim munafik akan kembali menjadi kafir dan akan menjadi bertambah kejahilannya dengan berzina di pasar dan seperti hewan, meminum khamar, judi, berkelahi membunuh dan Iain sebagainya.

Setelah puluhan tahun keadaan yang rusak begitu menjadi-jadi. Kemudian matahari terbit dari arah barat, dan pintu tobat pun ditutup dan tidak ada Iagi pengampunan dari Allah SWT.

Kemudian muncul makhluk (hewan) yang dapat berbicara, hewan ini akan memberi tanda kepada orang-orang Muslim dan kafir. Setelah ia menghilang, kemudian ALLAH menurunkan awan (asap) ke seluruh permukaan bumi yang akan mengakibatkan matinya seluruhh manusia mukmin dan muslim.

Tinggallah di bumi manusia-manusia kafir yang akan hidup untuk beberapa puluh tahun Iamanya. Mereka akan menghancurkan Ka’bah dan mesjid Nabi. Lalu ALLAH akan memberikan gempa-gempa ke seluruh bumi dan terakhir gempa di Arab yang kemudian disusul oleh keluarnya api dari negeri Yaman yang akan menghalau manusia berkumpul menuju Arafah. Lalu kehancuran alam semesta dimulai. Allahu Akbar….

Berikut skema keadaan dunia pada FASE 3, Kiamat sudah di ambang pintu!



Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari segala kejelekan dunia dan senantiasa memberi hidayah kepada kita untuk selalu taat kepada-Nya. Amin..ya rabbal alamin…..




sumber : https://sy42.wordpress.com/2011/04/05/semakin-dekatnya-ajal-dunia

6 Apr 2015

Alasan Mengapa Kisah Nabi Yusuf Merupakan Ujian yang Sangat Berat

Salah satu kisah Nabi dan Rasul yang penting untuk diambil hikmahnya bagi para pemuda islam adalah kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Kisah yang penuh hikmah ini diabadikan Allah dalam Al Quran surat Yusuf,

Dan wanita yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan Dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini." Yusuf berkata: (1) "Aku berlindung kepada Allah, (2) sungguh Robku (Tuanku) telah memperlakukan aku dengan baik." (3) Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung. (QS Yusuf : 23)

Para Ulama mengatakan bahwa ujian yang dialami nabi Yusuf ‘alaihissalam tatkala menghadapi godaan dari Zulaikha merupakan ujian yang sangat berat. Setidaknya ada sebelas alasan yang menyebabkan ujian tersebut menjadi sangat berat untuk Nabi Yusuf ‘alaihissalam.

Alasan pertama, Nabi Yusuf ‘alaihissalam adalah seorang pemuda. Seorang pemuda tentu memiliki gejolak syahwat yang lebih besar daripada orang yang sudah tua. Rasullullah Muhammad bersabda,

“Tiga golongan yang Allah tidak akan berbicara dengannya kelak pada Hari Kiamat, tidak membersihkan mereka, dan tidak melihat kepada mereka, serta bagi mereka adzab yang pedih : seorang tua yang berzina, penguasa yang pendusta, orang miskin yang sombong”
(HR. Muslim 136)

Hadits di atas menerangkan tentang tercelanya orang yang berzina. Seorang muda yang berzina adalah tercela, maka  seorang yang tua berzina adalah lebih tercela lagi. Hal ini karena pemuda lebih besar syahwatnya daripada orang yang tua. Nabi Yusuf masih sangat muda dan berada di puncak kegagahan seorang pemuda.

Alasan kedua, Nabi Yusuf ‘alaihissalam tatkala itu adalah seorang asing (gharib). Beliau berasal dari negeri Palestina yang saat itu cukup jauh dari negeri Mesir tempat istana Zulaikha. Sebagaimana diketahui bahwa berbuat kejahatan di daerah asing adalah lebih mudah daripada berbuat jahat di tempat sendiri. Betapa banyak kita jumpai seorang yang memilih untuk mencuri di luar kota daripada mencuri di kampong halamannya sendiri. Ini karena jika seorang mencuri di kampung halamannya sendiri kemudian ketahuan maka dia akan mempermalukan keluarga dan saudara-saudaranya. Seandainya Nabi Yusuf bermaksiat tatkala itu, maka keluarga dan saudara-saudaranya di kampong halaman tidak akan tahu dan tidak akan ada yang dipermalukan karena beliau jauh dari kampong halamannya.

Alasan ketiga adalah wanita yang menggoda Yusuf ‘alaihissalam adalah seorang wanita yang cantik jelita. Zulaikha adalah permaisuri raja. Kita ketahui bahwa jika seorang raja menginginkan permaisuri maka dia akan mencari ke seluruh pelosok negeri untuk mendapatkan wanita tercantik yang disukainya.

Alasan keempat, Zulaikha si permaisuri tersebut telah berdandan dan berhias diri untuk Nabi Yusuf. Sebagaimana kita sepakati bahwa seorang wanita yang cantik kemudian dia berdandan dan berhias diri maka kecantikannya akan menjadi berlipat ganda. Maka wanita yang menggoda Yusuf saat itu adalah wanita yang cantiknya di atas kecantikan.

Alasan kelima, sang wanitalah yang mulai menggoda Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Tentu hal ini berbeda jika yang mulai menggoda adalah laki-laki. Kebanyakan laki-laki  lebih muda tergoda dan terjerumus tatkala wanita yang mulai menggoda. 

Alasan keenam adalah pintu-pintu kamar Zulaikha telah ditutup rapat. Bahkan dikisahkan bahwa pintu kamar Zulaikha terdiri dari tujuh lapis pintu yang telah terkunci rapat. Artinya, dalam kamar tersebut pastilah sangat aman bahkan sang raja suami Zulaikha pun tidak akan bisa membuka pintu kamar tersebut karena hanya Zulaikha yang mempunyai kuncinya.

Alasan ketujuh adalah bahwa Yusuf telah lama tinggal di rumah Zulaikha sehingga tatkala beliau bersama Zulaikha tidak akan ada seorang pun yang merasa curiga atas keberadaan Yusuf bersama sang wanita tersebut karena memang Yusuf telah dikenal dan dianggap sebagai anggota keluarga di istana tersebut.

Alasan kedelapan adalah wanita tersebut tak hanya mengeluarkan kata rayuan dan godaan saja tetapi juga mengungkapkan bahwa dirinya telah siap melayani Yusuf.

Alasan kesembilan, Nabi Yusuf ‘alaihissalam adalah seorang Nabi yang sangat tampan. Seorang lelaki yang tampan akan memliki kecenderungan untuk lebih percaya diri ketika hendak melayani rayuan seorang wanita.

Alasan kesepuluh adalah syahwat keduanya baik Yusuf maupun Zulaikha sama-sama sudah mulai bangkit. Bagaimana pun juga, Nabi Yusuf adalah seorang manusia yang juga dikaruniai oleh  Allah syahwat kepada wanita.

Alasan kesebelas, sang wanita mengancam Yusuf dengan penjara apabila Yusuf tidak mau melayani kehendak wanita.

Demikianlah cobaan sangat berat yang harus Nabi Yusuf ‘alaihissalam hadapi tatkala menghadapi fitnah wanita yang amat mengerikan. Jika bukan karena rahmat dan petunjuk dari Allah tentulah Yusuf telah tergelincir dalam perbuatan zina yang menghinakan. Rasanya kita tidak mampu membayangkan apa yang terjadi pada diri kita saat kitalah yang berada pada posisi Nabi Yusuf ‘alaihissalam saat itu. 

Wahai para pemuda islam, jauhilah perbuatan zina dan maksiat karena sesungguhnya Allah akan memberikan naungan kelak pada hari kiamat kepada pemuda yang sholih yang mana dia mampu berkata tidak tatkala dirinya digoda oleh seorang wanita bukan mahrom. Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari perbuatan dosa.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India