28 Jun 2015

Perkara Tidur Saat Berpuasa



Tidur itu perkara mubah (boleh), dan bukan merupakan ritual ibadah. Maka sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misal seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk istirahat agar tubuh kuat dalam beribadah.

Sehingga, tidak setiap tidur seorang yang berpuasa itu bernilai ibadah. Contohnya adalah tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah berbuka atau sahur. Tidur yang seperti itu tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa jadi termasuk tidur yang tercela. Maka hendaknya seseorang menjadikan bulan Ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amalan kebaikan, bukan bermalas-malasan. Jikalau harus tidur, maka tata niat dulu supaya tidurnya tak sia-sia. Ibarat kata totalitas perjuangan seorang muslim ya di bulan Ramadhan ini. 

H + 10 Ramadhan. Sudah banyak yg berguguran. Tarawih dan tadarus sudah mulai sepi. Bahkan untuk ambil buka puasa gratis di masjid pun sudah tak perlu lama mengantri. 

Sekali lagi, ayo! Ini Ramadhan!

Jika ingin agar mendapat kemapanan dunia saja (yg cuma sementara ini) kita rela jauh-jauh kuliah, ngerjakan soal UAS yg susah-susah, dan serta rela kita kerja keras siang malam, lantas kenapa untuk akhirat yg kekal kita enggan berjibaku dan totalitas dalam amal kebaikan?

Mereka Berjuang Untuk Taat, Kita?




"Hati saya bergetar" usai mendengar cerita bapak ibu yang bekerja di sini yg acapkali mendapat kesulitan setiap hendak melakukan ibadah. Jam kerja yang padat serta resistensi dari para bos mereka membuat mereka kesulitan melakukan sholat dan puasa.

Tak ingin meninggalkan kewajiban agamanya, mereka terkadang dengan terpaksa harus sholat dlm kondisi berbaring (untuk mengelabuhi majikan) padahal mereka mampu berdiri. Ada juga yang sampai mengatakan harus sholat di kamar mandi dgn sembunyi-sembunyi. Dan sampai ada juga yg tanya, "Mas kalau saya sholat subuh, dhuhur, ashar, magrib, isya di jamak jadi satu waktu itu boleh nggak? soalnya jam kerja saya padat." Subhanallah. 

Ada juga yang cerita, "Kadang kami boleh sholat mas, tapi cuma dikasih waktu 3 menit. Ya akhirnya saya wudhu dan sholat itu saya selesaikan dalam 3 menit." Ajiibb, bagaimana bisa membayangkan wudhu dan sholat yg dikerjakan dalam 3 menit??

Tak ketinggalan mereka cerita tentang larangan berpuasa. Kata bos mereka, "ngapain kamu siang-siang kok nggak makan, nanti bisa mati lu!". Katanya puasa bisa bikin lemas, etos kerja menurun dan tak produktif! 

Ingin rasanya diri ini membantu tapi apalah daya tangan tak sampai. Yang cukup membuat salut dan kagum adalah keinginan mereka untuk tetap dapat taat melaksanakan semua kewajiban agama itu, meski memang harus diakui ada beberapa yang menabrak aturan syar'i. Semoga dengan niat dan kesungguhan itu semua ibadah itu diterima dan kekuranganya diampuni oleh Allah SWT.

Yang sedikit aneh ya kita-kita ini. Kerja enak, kuliah enak, banyak waktu luang, tapi giliran sholat dan tilawah quran seringnya dikasih waktu-waktu sisa. Kita kan seringnya nunggu waktu luang dibanding meluangkan waktu. Seringya kita berkata, "Ntar aja deh kalo udah luang aku baca quran" atau "Ntar deh aku sholatnya kalo kerjaan ini udah kelar". Dan itu pun cuma bentar. Sholatnya gesit, tilawah cuma part time, dan sukanya tarawih di mesjid 23 rakaat tapi usai dapat 8 rakaat langsung bablas balik pulang. Hemm...

Semoga ini bisa menjadi pelajaran. Dan Ramadhan yg tinggal 26 hari lagi ini, semoga kita bisa gunakan sebagai momentum untuk lebih memperbaiki diri. Ingin rasanya diri ini segera lulus, kemudian terjun ke dalam peran membangun masyarakat dan mengerjakan sesuatu yang seharusnya telah menjadi kewajiban.

Ingat 5 sebelum 5. 

Sehat sebelum sakit,
muda sebelum tua,
kaya sebelum miskin,
lapang sebelum sempit,
dan hidup sebelum mati.

15 Jun 2015

Hadits-Hadits Lemah dan Palsu tentang Puasa dan Ramadhan (Bagian 2)


Beberapa hadits lemah di sekitar RAMADHAN (Menurut Ulama' Hadits)
Hadits 1

صومواصوموا تصحوا

“Berpuasalah, kalian akan sehat.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun Nabawi sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya(3/108), oleh Ath Thabrani di Al Ausath(2/225), oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227).

Hadits ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadits ini maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).

Keterangan: jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa itu dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini benar, namun tetap tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabishallallahu’alaihi wa sallam.

Hadits 2

نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ

“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi diSyu’abul Iman (3/1437).

Hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalamSilsilah Adh Dha’ifah (4696).

Terdapat juga riwayat yang lain:

الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه

“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).

Yang benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar kuat dalam beribadah.

Sebaliknya, tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.

Hadits 3

يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل الله صيامه فريضة ، و قيام ليله تطوعا ، و من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى فريضة فيما سواه ، و من أدى فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه ، و هو شهر الصبر و الصبر ثوابه الجنة ، و شهر المواساة ، و شهر يزاد فيه رزق المؤمن ، و من فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه ، و عتق رقبته من النار ، و كان له مثل أجره من غير أن ينتقص من أجره شيء قالوا : يا رسول الله ليس كلنا يجد ما يفطر الصائم ، قال : يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على مذقة لبن ، أو تمرة ، أو شربة من ماء ، و من أشبع صائما سقاه الله من الحوض شربة لايظمأ حتى يدخل الجنة ، و هو شهر أوله رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار ،

“Wahai manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1. 000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan,  ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain. Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah(293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa(6/512), Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115)

Hadits ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib (2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy(110), bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (871) bahwa hadits ini Munkar.

Yang benar, di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah:

من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه

“Orang yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)

Dalam hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan Ramadhan saja. Lebih jelas lagi pada hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Rasulullah bersabda:

إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ، وَمَرَدَةُ الجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ

“Pada awal malam bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun yang ditutup. Kemudian Allah menyeru: ‘wahai penggemar kebaikan, rauplah sebanyak mungkin, wahai penggemar keburukan, tahanlah dirimu’.  Allah pun memberikan pembebasan dari neraka bagi hamba-Nya. Dan itu terjadi setiap malam” (HR. Tirmidzi 682, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)

Adapun mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap amalan sunnah kebaikan di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana amalan wajib, dan amalan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah wajib diluar bulan Ramadhan, keyakinan ini tidaklah benar  berdasarkan hadits yang lemah ini. Walaupun keyakinan ini tidak benar, sesungguhnya Allah ta’ala melipatgandakan pahala amalan kebaikan berlipat ganda banyaknya, terutama ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Hadits 4

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم

“Biasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berbuka membaca doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka antas samii’ul ‘aliim.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalamSunan-nya (2358), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (4/1616), Ibnu Katsir dalamIrsyadul Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalamBadrul Munir (5/710)

Ibnu Hajar Al Asqalani berkata di Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341) : “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul Authar (4/301), juga oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Dan doa dengan lafadz yang semisal, semua berkisar antara hadits lemah dan munkar.

Sedangkan doa berbuka puasa yang tersebar dimasyarakat dengan lafadz:

اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين

“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.”

Hadits ini tidak terdapat di kitab hadits manapun. Atau dengan kata lain, ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qaari dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di masyarakat dengan tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada asalnya, walau secara makna memang benar.”

Yang benar, doa berbuka puasa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terdapat dalam hadits:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:

ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله

/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/

(‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni (2/401), dan dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani diHidayatur Ruwah, 2/232 juga oleh Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud.

Hadits 5

من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله

“Orang yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari  di bulan Ramadhan, padahal ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya meski berpuasa terus menerus.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di Sunannya (2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).

Hadits ini didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al Muhalla (6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid(7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif At Tirmidzi (723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh Dha’ifah(4557). Namun, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini seperti Abu Hatim Ar Razi di Al Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329) dan Al Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171). Oleh karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak berpuasa.

Yang benar -wal ‘ilmu ‘indallah- adalah penjelasan Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa “Seseorang yang sengaja tidak berpuasa tanpa udzur syar’i,ia harus bertaubat kepada Allah dan mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.” (Periksa: Fatawa Lajnah Daimah no. 16480, 9/191)

Hadits 6

لا تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء الله تعالى ولكن قولوا شهر رمضان

“Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.'”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalamSunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi dalamMizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), Ibnu Katsir diTafsir-nya (1/310).

Ibnul Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu. Namun, yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah(6768).

Yang benar adalah boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.

Hadits 7

أن شهر رمضان متعلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر

“Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fithri.”

Hadits ini disebutkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/157). Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib (664), dan Silsilah Ahadits Dhaifah(43).

Yang benar, jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak diterima jika belum membayar zakat fithri, keyakinan ini salah, karena haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah syarat sah puasa Ramadhan, namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri.

Hadits 8

رجب شهر الله ، وشعبان شهري ، ورمضان شهر أمتي

“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Adz Dzahabi diTartibul Maudhu’at (162, 183), Ibnu Asakir diMu’jam Asy Syuyukh (1/186).

Hadits ini didhaifkan oleh di Asy Syaukani diNailul Authar (4/334),  dan Al Albani diSilsilah Adh Dhaifah (4400). Bahkan hadits ini dikatakan hadits palsu oleh banyak ulama seperti Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at(162, 183), Ash Shaghani dalam Al Maudhu’at (72), Ibnul Qayyim dalam Al Manaarul Munif (76), Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Tabyinul Ujab (20).

Hadits 9

من فطر صائما على طعام وشراب من حلال صلت عليه الملائكة في ساعات شهر رمضان وصلى عليه جبرائيل ليلة القدر

“Barangsiapa memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang halal, para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadhan dan Jibril bershalawat kepadanya di malam lailatul qadar.”

Hadist ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/300), Al Baihaqi diSyu’abul Iman (3/1441), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Adh Dhuafa (3/318), Al Mundziri dalamAt Targhib Wat Tarhib (1/152)

Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhuat (2/555), As Sakhawi dalamMaqasidul Hasanah (495), Al Albani dalamDhaif At Targhib (654)

Yang benar,orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala puasa orang yang diberi hidangan tadi, berdasarkan hadits:

من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا

“Siapa saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.” (HR. At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan shahih”)

Hadits 10

رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : جهاد القلب

“Kita telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda: “Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”

Menurut Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.

Hadits ini adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan hadits ini Munkar.

Hadits ini sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan, yaitu untuk mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih utama dari jihad berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak ada seorang pun ulama hadits yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi. Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan sunnah yang paling dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadits palsu ini pun tidak benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.

Hadits 11

قال وائلة : لقيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عيد فقلت : تقبل الله منا ومنك ، قال : نعم تقبل الله منا ومنك

“Wa’ilah berkata, “Aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari Ied, lalu aku berkata: Taqabbalallahu minna wa minka.” Beliau bersabda: “Ya, Taqabbalallahu minna wa minka.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (2/319), Al Baihaqi dalamSunan-nya (3/319), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (3/1246)

Hadits ini didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhuafa (7/524), oleh Ibnu Qaisirani dalam Dzakiratul Huffadz (4/1950), oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (5666).

Yang benar, ucapan ‘Taqabbalallahu Minna Wa Minka’ diucapkan sebagian sahabat berdasarkan sebuah riwayat:

كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض : تقبل الله منا ومنك

Artinya:
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika saling berjumpa di hari Ied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal ibadah saya dan amal ibadah Anda)”

Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Mughni (3/294), dishahihkan oleh Al Albani dalam Tamamul Minnah (354). Oleh karena itu, boleh mengamalkan ucapan ini, asalkan tidak diyakini sebagai hadits Nabishallallahu’alaihi wa sallam.

Hadits 12

خمس تفطر الصائم ، وتنقض الوضوء : الكذب ، والغيبة ، والنميمة ، والنظر بالشهوة ، واليمين الفاجرة

“Lima hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah, namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani diAl Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131)

Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (1708).

Yang benar, lima hal tersebut bukanlahpembatal puasa, namun pembatal pahala puasa. Sebagaimana hadits:

من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه

“Orang yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, serta mengganggu orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.” (HR. Bukhari, no.6057)
*Ditulis oleh Ustadz Agung Cahyadi (Ikadi Jawa Timur)

13 Jun 2015

Hadits-Hadits Lemah dan Palsu tentang Puasa dan Ramadhan (Bagian 1)


Pendahuluan

Dalam pembahasan kali ini saya ingin mengetengahkan beberapa hadits yang tidak bisa dipakai sebagai hujjah dalam hal apapun termasuk untuk fadhilah amal, karena kualitas sanadnya yang palsu atau sangat lemah. Selanjutnya, saya akan memisahkannya dengan hadits-hadits yang tidak terlalu lemah, karena dari segi pendalilan akan berbeda, terutama bagi madzhab yang mengatakan bolehnya mengamalkan hadits dha’if yang tidak terlalu parah kelemahannya untuk fadhilah amal dengan syarat dan ketentuan berlaku.

Hadits-hadits semacam ini cukup sering didengar dalam berbagai ceramah maupun kajian di bulan Ramadhan disampaikan oleh para ustadz yang mungkin belum mengetahui bahwa itu adalah hadits yang tidak boleh disampaikan kepada umat kecuali dengan menjelaskan kelemahannya.

Hadits-hadits yang masuk kategori ini adalah hadits dengan derajat maudhu’ (palsu) berdasarkan keterangan para ulama di bidang ini. Hadits-hadits palsu Meliputi:

Hadits yang tidak jelas asal usulnya yang bisa disebut oleh para ahli ”Laa ashla lahu” (Tidak ada asalnya). Hadits semacam ini tidak ditemukan dalam kitab yang mu’tabar (dipegang sebagai acuan). Biasanya hanya terdapat dalam kitab-kitab yang berisi nasehat dan ajakan tanpa mencantumkan sanad sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Salah satu kitab yang banyak memuat hadits-hadits model begini adalah kitab Durratun Nashihin, karya Al Khubawi yang cukup terkenal di negeri ini.

Hadits yang terdapat dalam kitab-kitab mu’tabar dengan sanad yang lengkap, tapi salah satu atau beberapa rawinya dinyatakan sebagai pemalsu hadits, atau pembohong oleh para ulama jarh wa ta’dil.

Haram hukumnya meriwayatkan hadits-hadits palsu kecuali untuk menerangkan kepalsuannya, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, ”Siapa saja yang menceritakan hadits dariku dan dia tahu itu palsu, maka dia adalah salah satu dari para pendusta.” (HR. Muslim dalam shahihnya dari Samurah bin Jundub dan Al Mughirah bin Syu’bah).


Sedangkan hadits-hadits yang sangat lemah dalam disiplin ilmu hadits ada dua macam:

Matruk, dimana ada rawinya yang terkenal suka berdusta, meski belum pernah ketahuan berdusta dalam hadits dan tak ada yang meriwayatkan hadits itu selain dia, atau terlalu banyak kemaksiatan yang dia kerjakan dan itu diketahui orang banyak.

Mungkar, cirinya, bermuara hanya pada satu orang, meski di bawahnya diriwayatkan oleh banyak orang darinya, dan si muara ini adalah rawi yang dha’if dan atau riwayatnya bertentangan dengan riwayat rawi yang ’adil.

Sebetulnya ada satu lagi yang biasa disebut mathruh, tapi setelah diteliti kategori ini sebenarnya masuk ke dalam matruk.

Hadits yang sangat lemah meskipun banyak tapi derajatnya sama, maka tidak bisa naik derajatnya ke hasan li ghairih, melainkan tetap saja lemah dan tak bisa diamalkan, bahkan untuk fadhilah amal sebagaimana syarat yang diajukan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.

Beberapa hadits palsu dan amat lemah tentang Ramadhan dan puasa:

1.Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri,


رَجَبٌ شَهْرُ اللهِ، وَشَعْبانُ شَهْرِيْ، وَرَمَضانُ شَهْرُ أُمَّتِيْ

”Rajab adalah bulannya Allah, Sya’ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan umatku.”
Status: Palsu (maudhu’)

Alasan:
Semua jalurnya melalui Abu Bakr An Naqqasy yang disebut oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar sebagai Dajjal pemalsu hadits. (Lihat: Tabyin Al-’Ajab, hal. 40-41).

Keterangan:
Hadits ini dibahas panjang lebar oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam risalahnya ”Tabyiinul ’Ajab bimaa warada fii Syahri Rajab”, dan beliau berkesimpulan hadits di atas palsu.

Hadits dengan makna senada juga diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam kitab Fadha`il Al-Awqaat, dengan sanadnya dari Ghanjar, dari Nuh bin Abu Maryam, dari Zaid Al-Ammi, dari Yazid Ar-Raqqasyi, dari Anas. Al-Hafizh memastikannya palsu karena adanya Nuh bin Abu Maryam yang ber-kunyah Abu ’Ishmah. (tabyiin Al-’Ajab, hal. 41).

Akan tetapi Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits dengan lafaz ini hanya dha’if sebagaimana yang beliau sebutkan dalam kitabnya Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Maudhuu’ah, no. 4400. Riwayat yang ia bawakan adalah yang terdapat dalam kitab At-Targhib karya Al-Ashbahani dalam At-Targhib dari Qiran bin Tamam, dari Yunus, dari Al-Hasan (Al-Bashri), Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda.

Demikian nukilan Syekh Al-Albani. Saya temukan hadits ini dalam kitab At-Targhib karya Qawam As-Sunnah Al-Ashbahani dengan sanad sebagai berikut:


أخبرنا عبد الواحد بن علي بن فهد ببغداد، ثنا أبو الفتح بن أبي الفوارس، ثنا عبد الله بن محمد بن جعفر، ثنا عبد الله بن محمد بن زكريا، ثنا يوسف بن إسحاق البابي وكان ثقة، ثنا محمد بن بشير البغدادي، ثنا قران بن تمام، عن يونس، عن الحسن، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
((من صام يوماً من رجب عدل له بصوم سنتين، ومن صام النصف من رجب عدل له بصوم ثلاثين سنة)) .
وقال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((رجب شهر الله -عز وجل- وشعبان شهري، ورمضان شهر أمتي)) .

Sanad ini jelas dha’if karena mursal, Hasan Al-Bashri bukan sahabat Nabi, melainkan tabi’in. Juga ada nama Muhammad bin Basyir Al-Bahdadi, yaitu Muhammad bin Basyir bin Marwan bin ‘Atha` Al-Kindi Al-Wa`izh. Biografinya disebut oleh Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad (2/98-99) dan menukil dari Ibnu Ma’in yang mengatakannya, “Tidak tsiqah”, juga Ad-Daraquthni yang menyebutnya, “Tidak kuat dalam hadits.”

Dengan demikian hadits ini teranggap sangat lemah. Wallahu a’lam.

2. Diriwayatkan:


نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَ صُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَ عَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَ دُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَ ذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ
”Tidurnya orang puasa itu adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya akan dilipatgandakan, doanya terkabul dan dosanya terampuni.”

Status hadits: Sangat lemah

Keterangan:
Hadits ini disebutkan oleh As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-Shaghir. Hadits ini sendiri diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam ”Syu’ab Al-Iman” dari Abdullah bin Abu Aufa. Dalam sanad Al-Baihaqi ada nama Sulaiman bin ’Amr An-Nakha’i yang dianggap pemalsu hadits. (Lihat: As-Silsilah Adh-Dha’ifah, no. 4696 dan Faidh Al-Qadir, karya Al-Munawi, juz 6 hal. 378, no. 9293).
Dengan demikian sanad ini palsu.

Tapi hadits ini ada syahid (penguat)nya dijelaskan oleh Syekh Al-Albani secara panjang lebar dalam As-Silsilah Adh-Dha’ifah juz. 10, hal. 230 – 231. Intinya, derajat hadits dengan redaksi di atas tidak sampai palsu, melainkan hanya dha’if jiddan (sangat lemah). Wallahu a’lam.

3. Hadits:
مَنْ فَرِحَ بِدُخُوْلِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلَى النِّيْرانِ
”Barangsiapa bergembira akan datangnya bulan Ramadhan, niscaya Allah akan mengharamkan jasadnya dimakan api neraka.”

Status: Tidak ada asalnya.

Keterangan:
Hadits ini terdapat dalam kitab Durratun Nashihiin, karya Utsman Al-Khubawi yang terkenal memuat banyak hadits palsu dan sangat lemah, meski tak sedikit pula hadits shahih dalam kitab itu.
Berhubung hadits ini tidak bisa ditemukan dalam kitab-kitab yang mu’tabar, maka penulis berkesimpulan hadits ini palsu.

4. Hadits doa malaikat Jibril: ”Ya Allah tahan puasa (jangan terima) umat Muhammad bila memasuki Ramadhan dia belum meminta maaf kepada orangtuanya, atau istri belum minta maaf kepada suami, atau orang-orang terdekat....”

Hadits ini yang belakangan berkembang, setelah mencari-cari ternyata hadits ini tidak ada asalnya. Besar kemungkinan ini diucapkan oleh orang yang hafalannya salah kemudian diforward ke teman-temannya baik via internet maupun mulut ke mulut.

Memang ada hadits doa malaikat Jibril yang diaminkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tapi redaksinya bukan demikian, melainkan sebagai berikut:

Nabi shallallahu ‘alihi wa sallm naik ke mimbr lalu berkta, “Amin, 3X”. Pra sahabat bertanya. “Kenapa Anda berkata ‘Amin,(3X), Ya Rasulullah?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jibril datang kpdku dan berkata : ‘Hai Mhammd claka sseorang yg jk disbt nama engkau nmn ia tdk brshalawat kepadamu dan katakanlah amin!’ maka kukatakan, ‘Amin’, lalu Jibril berkata lagi, ‘Claka seseorang yg masuk bln Rmadhn tp kluar dari bulan tersebut tidak diampni dosanya oleh Allah dan katakanlah amin!’, maka aku berkata : ‘Amin’. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi. ‘Claka sseorng yang mndptkn kdua org tuanya at slah seorng dr kduanya masih hidup tapi justru tdk memasukkan ia ke surga dan ktkanlh amin!’ maka kukatakan, ‘Amin”.

Hadits ini shahih sebagaimana dijelaskan oleh Al-Haitsami dalam kitab Majma’ Az-Zawa`id. Perhatikan perbedaan redaksinya dengan yang pertama.

5.Hadits
لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُونَ رَمَضَانُ السَّنَةَ كُلَّهَا
“Kalau saja para hamba itu tahu apa yang terdapat di Ramadhan niscaya ummatku ini akan berharap Ramadhan itu terjadi sepanjang tahun.”
Ini adalah potongan hadits yang panjang diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya nomor 1886. Juga dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman, no. 3361, Abu Ya’la dalam musnadnya, no. 5273, semua dari jalur Jarir bin Ayyub Al-Bajali, dari Asy-Sya’bi, dari Nafi’ bin Burdah, dari Abu (Ibnu) Mas’ud Al-Ghifari RA.

Jalur lain diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (22/388) melalui jalur Hayyaj bin Bistham, Abbad menceritakan kepada kami, dari Nafi’, dari Abu Mas’ud Al-Ghifari RA.

Hadits ini dha’if bahkan sebagian ulama mengatakannya palsu karena baik Jarir bin Ayyub Al-Bajali maupun Hayyaj bin Bistham adalah dua orang yang lemah dan tak bisa saling menguatkan karena kelemahan mereka termasuk parah. Bahkan Ibnu al-Jauzi memasukkannya dalam kitab Al-Maudhu’at (2/189) dan disetujui oleh Asy-Syaukani dalam Al-Fawa`id Al-Majmu’ah (1/88).

Jarir bin Ayyub al-Bajali dianggap Yahya bin Ma’in “tidak ada apa-apanya”, Al-Bukhari menganggapnya “munkarul hadits”, An-Nasa`iy menganggapnya, “matrukul” bahkan Abu Nu’aim mengatakan dia memalsukan hadits. (Lihat: Mizan Al-I’tidal 1/391). Abu Hatim mengatakan, “dhaiful hadits, munkarul hadits, ditulis haditsnya tapi tidak boleh dijadikan hujjah.” Abu Zur’ah mengatakan, “munkarul hadits” (Lihat Al-Jarh wa At-Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim jilid 2, hal. 502-503).

Sementara Hayyaj bin Bistham dikatakan lemah oleh Ibnu Ma’in dan Abu Hatim sedangkan Ahmad bin Hanbal dan Abu Daud mengatakannya matruk. Ibnu Hibban mengatakannya biasa meriwayatkan hadits-hadits yang parah dari orang-orang tisqah. (Lihat Mizan Al-I’tidal 4/318, Al-Majruhin 3/96).

Dengan demikian status hadits ini sangat lemah sehingga tak bisa dipakai meski dalam fadhilah amal. Wallahu a’lam.

Bersambung insya Allah.

Ditulis oleh Ust. Anshari Taslim, Lc

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India