27 Mei 2016

Perspektif Ulama Salafiyyin terhadap Imam Ibnu Hajar Al Asqolani dan Imam Nawawi Rahimahullah

Salah satu ulama umat Islam di Madinah dimana saya bertempat tinggal berkata: “Bahwa Imam Ibnu Hajar dan Imam Nawawi adalah pelaku bid’ah, ia menyebutkan beberapa dalil dari “Fathul Baari” untuk menguatkan pendapatnya tersebut. Ia juga memberikan contoh dari pendapatnya tersebut dari syarahnya Imam Ibnu Hajar, bahwa maksud dari “Wajhullah” adalah rahmat-Nya. Bagaimanakah pendapat anda ?

Jawab :

Alhamdulillah. Ahlus sunnah pendapatnya objektif dalam menghukumi seseorang. Tidak mengangkat seseorang di atas kapasitasnya dan tidak pula mengurangi apa yang menjadi miliknya. Dan di antara bentuk berimbang dalam menjelaskan tentang seseorang adalah menjelaskan pula beberapa kesalahan para ulama, dan orang yang menta’wil ilmunya, dan tetap mendoakan agar mereka mendapatkan rahmat Allah. Termasuk juga di antara bentuk informasi berimbang adalah mengajak untuk berhati-hati akan kesalahannya, sehingga seseorang tidak terkesima dengan kedudukannya, dan mungkin mengikuti kesalahannya. Ahlus sunnah tidak terburu-buru menghukumi seseorang yang menyelisihi sunnah dengan sengaja, yaitu; sebagai pelaku bid’ah dan sesat.

Ada beberapa orang di masa kita ini yang menuduh kedua Imam Ibnu Hajar dan Imam Nawawi, dan mengatakan bahwa mereka adalah ahli bid’ah dan sesat. Dan bahkan sebagian mereka sampai pada derajat bodoh dengan mengatakan wajib hukumnya untuk membakar kedua kitab “Fathul Baari” dan “Syarah Muslim”.

Namun juga bukan berarti mereka berdua tidak memiliki kesalahan dalam masalah agama, khususnya dalam masalah asma’ wa sifat (Nama-nama dan Sifat-sifat Allah). Ulama kita sudah memberikan catatan, menjelaskannya, pada saat yang sama mereka juga mengharapkan mereka berdua mendapatkan rahmat dari Allah, memuji keduanya sesuai dengan derajatnya, mendo’akan baik bagi mereka berdua, dan berpesan untuk mengambil manfaat dari kitab-kitab mereka berdua. Inilah bentuk berimbang yang yang dikenal dalam ahlus sunnah wal jama’ah, sangat berbeda dengan sikap orang-orang yang membid’ahkan keduanya, menyesatkannya, bahkan berkata agar kitab-kitab mereka berdua dibakar. Juga sangat berbeda dengan sikap orang-orang yang mengambil pendapat keduanya seperti halnya wahyu (yang tidak pernah salah), dan menjadikan apa yang menjadi keyakinan keduanya adalah kebenaran yang tidak diragukan lagi. Kami akan menyebutkan beberapa pendapat ulama kita, agar seorang muslim bersikap berimbang dalam menilai, mengetahui, menghukumi dengan adil kepada kedua imam tersebut:

1. Ulama Lajnah Daimah pernah ditanya:

Bagaimanakah sikap kita terhadap beberapa ulama yang mentakwil sifat-sifat Allah, seperti: Ibnu Hajar, Imam Nawawi, Ibnul Jauzi, dan lain sebagainya. Apakah kita tetap menganggap mereka termasuk para Imam ahlus sunnah wal jama’ah atau bagaimana?, apakah kita berkata: Mereka melakukan kesalahan dengan takwil mereka, atau mereka sesat ?

Mereka menjawab:

“Sikap kita terhadap Abu Bakar al Baqillani, al Baihaqi, Abu al Farj Ibnul Jauzi, Abu Zakariya an Nawawi, Ibnu Hajar dan yang serupa dengan mereka dari beberapa ulama yang mentakwil sebagian sifat-sifat Allah atau menyerahkan sepenuhnya kepada Allah tentang hakekat makna sifat-sifat tersebut. Menurut hemat kami mereka semua termasuk para ulama kaum muslimin yang ilmunya bermanfaat bagi umat, semoga Allah merahmati mereka semua dengan rahmat yang luas dan jazahumullah khoiral jazaa’. Mereka masih tergolong ahlus sunnah dalam masalah-masalah yang sesuai dengan para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- dan para ulama salaf pada tiga abad pertama yang mendapatkan persaksian baik dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- . Namun mereka bersalah kerena mentakwil nash yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah, hal itu bertengan dengan ulama salaf dan para imam sunnah –rahimahumullah-. Baik mereka mentakwil sifat-sifat dzatiyah, ataupun sifat perbuatan atau sebagiannya.

Petunjuk yang benar hanya milik Allah. Semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-

(Syekh Abdul Aziz bin Baaz, Syekh Abdur Razzaq al ‘Afifi, Syekh Abdullah bin Qu’ud)

(Fatawa Lajnah Daimah: 3/241)

2. Syekh Muhammad bin Shaleh al ‘Utsaimin –rahimahullah-:

Berkaitan dengan ulama yang memiliki beberapa kesalahan dalam aqidah, seperti: masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah dan lain-lain. Nama-nama mereka tidak asing lagi bagi kami, apalagi ketika kami kuliah dahulu. Pertanyaannya adalah apa hukumnya mendoakan mereka dengan ucapan: “semoga Allah merahmati mereka semua”?

Syekh bertanya balik: “Seperti siapa ?“

Penanya          : “Seperti Zamakhsyari, Zarkasyi dan lain-lain..”

Syekh               : “Zarkasyi dalam masalah apa ? “

Penanya          : “Dalam masalah Nama-nama dan sifat-sifat Allah”.

Beliau menjawab:

“Yang jelas di sana ada beberapa orang yang menisbahkan dirinya kepada kelompok tertentu dengan membawa bendera bid’ah, seperti Mu’tazilah yang termasuk di dalamnya adalah Zamakhsyari ia seorang mu’tazilah, ia menamakan orang-orang yang menetapkan sifat-sifat kepada Allah sebagai Hasyawiyah (tidak bisa dipercaya) atau Mujassimah (berbentuk), dan menyesatkan mereka. Oleh karenanya bagi siapa saja yang membaca bukunya “al Kasysyaf” dalam mentafsiri al Qur’an agar berhati-hati dengan pendapatnya dalam masalah sifat-sifat Allah. Namun kitab tafsir tersebut dari sisi balaghah adalah baik, banyak memberikan manfaat, tentu saja bahaya bagi siapa saja yang belum mengetahui tentang masalah Nama-nama dan Sifat-sifat Allah.

Akan tetapi di sana ada beberapa ulama yang terkenal baik, dan tidak termasuk dalam kelompok ahlul bid’ah, namun dalam pendapat mereka ada beberapa yang mengandung bid’ah, seperti Ibnu Hajar al Asqalani dan An Nawawi –rahimahumallah-. Sebagian orang-orang yang tidak mengerti menuduh mereka berdua sembarangan, bahkan dikatakan kepada saya: “Sungguh sebagian orang berkata: Diwajibkan untuk membakar kitab “Fathul Baari” ; karena Ibnu Hajar adalah termasuk ‘Asy’ariyyah, hal ini tidak benar; karena kedua ulama tersebut saya tidak pernah mengetahui pada masa sekarang ada seseorang yang mampu mempersembahkan sebuah karya terbaiknya kepada Islam dalam masalah hadits seperti karya mereka berdua. Hal itu menunjukkan kepada anda bahwa Allah –subhanahu wa ta’ala- dengan daya dan kekuatan-Nya -saya tidak mendahului kehenak Allah- bahwa Dia telah menerimanya. Hampir semua hasil karya mereka berdua dapat diterima oleh semua pihak, baik yang terpelajar, bahkan sampai masyarakat umum. Kitab “Riyadhus Shalihin” misalnya ia dibaca pada setiap majelis, dan pada setiap masjid, mampu memberikan manfaat kepada banyak kalangan. Saya berharap bahwa Allah akan menjadikan salah satu buku saya seperti kitab “Riyadhus Shalihin”, semua orang akan mendapatkan manfaat di rumahnya, di masjidnya.

Maka bagaimana mungkin kedua ulama tersebut dikatakan bahwa mereka ahli bid’ah dan sesat, tidak boleh berdoa agar mereka mendapatkan rahmat Allah, dan tidak boleh membaca buku-bukunya, dan wajib membakar Fathul Baari dan Syarah Muslim ?!!. Subhanallah, maka saya katakan kepada mereka baik dengan bahasa lisan maupun perbuatan:

أَقِلُّوا عليهمُ لا أبا لأبيكمُ مِن اللومِ أو سدوا المكان الذي سدوا

“Persedikit dalam menilai mereka –demi Allah-  dari celaan, atau tutuplah tempat itu”.

Siapa yang mampu mempersembahkan karya terbaiknya untuk Islam sebagaimana yang mereka persembahkan ?!... kecuali jika Allah berkehendak. Maka saya berkata: Semoga Allah mengampuni Imam Nawawi, Ibnu Hajar al Asqalani, dan siapa saja yang mirip dengan mereka berdua, yang Allah jadikan mereka bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin. Semuanya hendaknya mengamininya. (Liqaat Bab Maftuh: 43/soal nomor: 9)

3. Syekh Shaleh bin Fauzan al Fauzan –hafidzahullah-

Ada muncul perbedaan di antara penuntut ilmu syar’i tentang definisi pelaku bid’ah:

Sebagian mereka berkata: ia adalah orang yang berkata atau berbuat bid’ah, meskipun belum di cek kebenarannya. Sebagian yang lain berkata: harus di cek kebenarannya. Sebagian yang lain membedakan antara perkataan seorang alim dan mujtahid dan lainnya yang mencetuskan dasar-dasar yang berlawanan dengan manhaj ahlusunnah jama’ah. Bahkan sebagian mereka membid’ahkan Ibnu Hajar dan An Nawawi dan tidak boleh (mendo’akan) mereka agar mendapatkan rahmat Allah?

Beliau menjawab:

Pertama:

“Tidak selayaknya bagi para santri pemula atau yang lainnya menyibukkan diri untuk membid’ahkan seseorang atau menganggapnya fasiq; karena masalah tersebut sangat berbahaya dan sensitif, sedang mereka belum memiliki pengetahuan yang cukup dalam masalah tersebut. Yang demikian itu juga akan melahirkan kebencian dan permusuhan. Kewajiban mereka yang sesungguhnya adalah menuntut ilmu dan menahan lisan mereka dari hal-hal yang tidak bermanfaat.

Kedua:

Bid’ah itu adalah mendatangkan suatu hal yang baru dalam agama yang bukan termasuk darinya sebelumnya, berdasarkan hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi was sallam- :

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد (رواه البخاري)

“Barang siapa yang mendatangkan sesuatu yang baru dalam urusan kami, yang sebelumnya bukan termasuk darinya, maka akan tertolak”. (HR. Bukhori)

Apabila seseorang melakukan kesalahan atau menyimpang atas dasar ketidaktahuan, maka ia dimaafkan karena ketidaktahuannya dan tidak dihukumi sebagai pelaku bid’ah, namun apa yang dilakukannya termasuk bid’ah.

Ketiga:

Barang siapa yang memiliki kesalahan dalam masalah ijtihadiyah, yang lain telah mentakwilnya, seperti Ibnu Hajar, Nawawi dan beberapa sifat Allah yang telah mereka takwil, maka ia tidak dihukumi sebagai seorang pelaku bid’ah. Namun dijelaskan bahwa inilah kesalahan  mereka, dan diharapkan mereka mendapat ampunan dengan besarnya perhatian mereka terhadap sunnah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, kedua mereka tersebut adalah imam yang mulia, dapat dipercaya oleh para ulama. (al Mauntaqa min Fatawa Fauzan: 2/211-212).

4. Syekh Muhammad Nashiruddin al Al Baani –rahimahullah-:

Seperti Imam Nawawi, Ibnu Hajar dan lainnya yang serupa dengan beliau berdua, adalah sebuah kedzaliman jika mereka di sebut sebagai ahli bid’ah. Saya mengetahui bahwa kedua ulama tersebut dari ‘Asy’ariyyah. Namun keduanya tidak bermaksud untuk menyelisihi al Qur’an dan Sunnah, akan tetapi mereka ragu-ragu dan mengira bahwa aqidah ‘Asy’ariyyah itulah yang diwarisakn.

Mereka mengira dari dua sisi:

Pertama: Bahwa Imam Asy’ari juga berpendapat demikian, namun pada masa lalu; karena beliaunya pada akhirnya kembali (ke jalan yang benar).

Kedua: Mereka mengira bahwa pendapat itulah yang benar, padahal tidak.

(Dari kaset nomor 666, dengan tema: “Man Huwa al Kafir wa Man Mubtadi’)

semoga Allah senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada kedua imam tersebut. Semoga Allah mengampuni kesalahan mereka berdua.

Wallahu a’lam.

sumber : https://islamqa.info/id/107645

21 Mei 2016

Perspektif Ulama 'Salafiyyin' terhadap Akidah Asy'ariyah

1. Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata mengenai Asy'ariyyah:


وهم في الجملة أقرب المتكلمين إلى مذهب أهل السنة والحديث

"Mereka secara umum adalah ahli kalam yang paling dekat dengan madzhab Ahlus Sunnah dan Hadits."

Bisa disebut Ahlus Sunnah jika perbandingannya dengan rafidhah. Kata beliau:



وهم يعدون من أهل السنة والجماعة عند النظر إلى مثل المعتزلة، والرافضة وغيرهم، بل هم أهل السنة والجماعة في البلاد التي يكون أهل البدع فيها هم المعتزلة، والرافضة ونحوهم

"Dan mereka termasuk Ahlus Sunnah wal Jama'ah jika dibandingkan dengan sekte semisal Mu'tazilah, Syi'ah Rafidhah, dan selain mereka. Bahkan mereka adalah Ahlus Sunnah di negeri yang di dalamnya berisi ahli bid'ah yaitu Mu'tazilah dan Rafidhah, dan yang semisal mereka."
 

2. Fatwa Syaikh Nashiruddin Al Albani

Tanya Jawab bersama Al Albani dalam Silsilatul Huda wan Nuur, kaset no. 327

Penanya:
"...Mengenai Asy'ari, apakah bisa kita katakan mereka itu termasuk ahlus sunnah wal jama'ah?"

Syaikh:
"Jawaban yang adil adalah, mereka adalah ahlus sunnah dalam banyak perkara, dan tidak termasuk ahlus sunnah dalam sebagian kecilnya."

Penanya:
"Jazakallahu khair"

Syaikh:
"Wa iyyaka."
 

3. Fatwa Syaikh bin Sholih Al Utsaimin

Pertanyaan:

Apakah orang-orang yang bermazhab Asy’ariyah termasuk ke dalam ahlus sunnah wal jama’ah? Kami mohon penjelasannya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjawab:

Orang-orang yang bermazhab Asy’ariyah termasuk ahlus sunnah wal jama’ah pada apa yang mereka sama dengan ahlus sunnah wal jama’ah. Mereka menyelisihi ahlus sunnah wal jama’ah dalam masalah sifat-sifat Allah, karena mereka tidak menetapkan sifat-sifat Allah kecuali hanya tujuh sifat. Bersamaan dengan itu, mereka tidak menetapkan sifat-sifat Allah sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh ahlus sunnah. Karena itu, tidak semestinya kita katakan, mereka ahlus sunnah secara mutlak. Juga tidak kita keluarkan mereka dari ahlus sunnah secara mutlak.

Akan tetapi, kita katakan, mereka bagian ahlus sunnah pada apa yang mereka sepakati dengan ahlus sunnah dan mereka menyelisihi ahlus sunnah pada apa yang mereka selisihi dari ahlus sunnah. Perincian [seperti itu] adalah sesuatu yang haqq. Dan Allah ta’ala berfirman,


 وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا

“Dan jika kalian berbicara, maka berlakulah adil.” (QS. Al An’am: 152)

Mengeluarkan mereka secara mutlak dari ahlus sunnah tidak termasuk tindakan adil. Memasukkan mereka secara mutlak ke dalam ahlus sunnah tidak termasuk tindakan adil juga. Dan yang wajib, hendaklah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.

Rujukan: Silsilah Liqa-at Al Bab Al Maftuh: 6.

19 Mei 2016

Hanya Orang yang Kurang Iman saja yang masih Takut Tidak Kebagian Rezeki




Beberapa waktu lalu usai sholat isya, tak sengaja saya diundang makan bersama keluarga besar muslim Pakistan di TGM. Selama punya facebook, rasanya baru kali ini saya ikut trend kekinian upload foto dulu sebelum makan.

Bukan menu makanannya yang membuat istimewa, meski sebenarnya di situ ada sejenis nasi biryani khas Pakistan yang diramu bersama  gulai kambing lengkap dengan kaldu sedapnya. Yang membuat sedikit berpikir adalah, sejenak diri ini terbesit bahwa nasi yang ada dihadapan saya ini, saya tidak tahu dari mana berasnya, yang tanam padinya siapa, yang panen siapa, yang beli siapa, sampai yang masak siapa, semuanya saya sama sekali tidak tahu, tapi anehnya tiba-tiba saja itu semua datang di depan saya.

Begitu juga dengan daging kambingnya ini. Kambingnya ini milik siapa saya tak tahu, dari mana asalnya, lalu kemudian tiba-tiba muncul begitu saja di depan saya hanya sekedar untuk siap saya makan. Ajaibnya lagi, saya tinggal makan saja, tanpa harus repot nyembelih kambingnya, tanpa perlu repot harus masak dan ngasih bumbunya. Hebatnya lagi, kalau daging ini habis, tanpa perlu diminta sang petugas akan langsung dengan tanggap isi ulang nasi dan dagingnya lagi, dan ini bisa terus berlangsung sampai para tamu semuanya kenyang. Jangan lupa dan ini semua gratis. Kebahagiaan anak rantau tentunya :)

Kalau diingat dengan sedikit saja perenungan, bukankah ini hal yang luar biasa? Betapa tidak, posisi saya dari tempat awal sholat tadi ke tempat makan ini mungkin hanya beberapa langkah saja. Dan sekarang coba dibandingkan, berapa puluh ribu langkah yang harus ditempuh si daging kambing dan semua makanan tersebut untuk mendekati saya (?)

Jadi kalau kembali dipikirkan, sebenarnya mana yang lebih hebat, manusia mendatangi rezeki atau rezeki mendatangi manusia?

Sungguh, sebenarnya hanya orang-orang yang kurang iman saja yang masih takut kalau tidak kebagian rezeki.

Akhirnya kembali diri ini tercerahkan untuk menerjemahkan kebenaran apa yang disabdakan Rasul SAW. “Sesungguhnya rizki akan mengejar seorang hamba sebagaimana ajal mengejarnya” (H.R. Ibnu Hibban)

Kita memang tidak tahu rezeki kita ada dimana, tapi sebaiknya kita yakin bahwa rezeki kita tahu kita ada dimana.

Bukankah katamu, rezeki itu sudah pasti sementara surga itu belum pasti?
Lalu kenapa kau rela bersusah payah untuk sesuatu yang sudah pasti namun melupakan sesuatu yang belum pasti?

H-17 Ramadhan, ayo bersih-bersih hati..

10 Mei 2016

Benarkah Kita Menginginkan Surga?

oleh : Ust. Muhammad Iltizam Amrullah

Ketika ada seseorang hendak mengajukan lamaran ke sebuah instansi tertentu, maka sudah pasti ia mengetahui dan faham apa hak-hak yang akan ia dapatkan jika bekerja di sana dan apa syarat-syarat yang akan ia dapatkan.

Misal:

Hak-hak yang akan ia dapatkan:

- Gaji 10jt/bulan
- Tunjangan keluarga
- Rumah dinas
- Mobil dinas

Maa syaa Allaah.. Bukan kah ini sebuah kenikmatan?.

Namun jangan lupa untuk mendapatkan semua hak itu, ia harus memenuhi syarat-syaratnya. Setidaknya, ia harus selesai S1. Tau kan berapa lama S1 ditempuh?

6th (SD) + 3th (SMP) + 3th (SMA) + 4th (S1)

Berapa? 16th.

Hanya untuk mendapatkan itu ia rela 16th belajar. Mengeluarkan biaya puluhan bahkan ratusan juta.
Lalu, untuk meraih surga-Nya yang kita bisa meminta apa pun yang kita mau di sana, yang nikmatnya tiada batasan..

Sudah berapa lama kita habiskan waktu untuk belajar mendapatkannya?

Lebih 16th kah? Atau sesenggangnya? Atau kalau kebetulan ada saja?

Sudah berapa puluh dan ratusan juta kita habiskan uang kita untuk mempelajari memahami firman-Nya dan sunnah nabi-Nya?

Lebih dari puluhan juta? Atau kita lebih mengajeni guru bhsa Inggris daripada guru ngaji kita yang mengajarkan ad-diin pada kita?

Sudah benarkah kita berharap surga?

Sudah jujurkah kita pada-Nya atas do'a kita yang meminta surga?

Sesuai kah tercerminkan do'a kita dalam aktivitas harian kita?

Berdoa berharap diterima ibadah kita dan masuk ke dalam surga, namun lebih sibuk dan berjerih payah tuk mendapatkan ilmu dunia tuk meraih dunia.

Rasulullah bersabda,
ابغض الرجال عند الله عالم بالدنيا و جاهل عن الاخرة

Orang yang paling dibenci di sisi Allah adalah seorang yang pintar dalam urusan dunia, namun bodoh dalam urusan akhirat.

Tadabbur Do'a Sapu Jagad

oleh : Ust. Muhammad Iltizam Amrullah

Ada yang hafal do'a sapu jagad? Saya yakin semuanya hafal.

Bagaimana bacanya? Begini
ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار

Bener gitu ya? Maa syaa Allaah semuanya hafal dengan mutqin.

Sahabat, Yuk kita tadabbur do'a ini.

Lihat pada do'a ini kita diajarkan untuk minta 3 hal. Apa itu?
1. Didatangkan kebaikan DUNIA pada kita.
2. Didatangkan kebaikan AKHIRAT pada kita.
3. Di hindarkan dari adzab NERAKA.

Lihatlah dalam do'a kita ini kita minta SATU hal berkaitan dengan DUNIA & DUA hal berkaitan dengan AKHIRAT.

Jadi, jika kita berdo'a & berharap sesuai dengan isi do'a sapu jagad ini sama halnya dg kita minta mendapatkan DUNIA (1x) & AKHIRAT (2x)

DUNIA - 1 & AKHIRAT - 2

INGAT.. Do'a kita adalah cerminan harapan kita. Dan harapan itu harus diperjuangkan, dikhtiyarkan.

PERTANYAANNYA..

Sudahkah IKHTIYAR, KESIBUKAN, PERJUANGAN yang menghabiskan usia kita menunjukkan bahwa kita benar-benar berharap mendapatkan 1 DUNIA & 2 AKHIRAT?

BERAPA UNTUK DUNIA? SATU (1)

BERAPA UNTUK AKHIRAT? DUA (2)

Lebih banyak mana? AKHIRAT.

Lalu ikhtiyar kita lebih banyak disibukkan untuk yang mana? DUNIA (1X) atau AKHIRAT (2X)?

Lalu perjuangan kita lebih prioritas untuk yang mana? DUNIA (1X) atau AKHIRAT (2X)?

Kita rela sibuk belajar ilmu dunia yang membuat waktu kita habis dan hanya sedikit belajar ilmu akhirat (agama).

Tidak kah ilmu dunia bisa didapatkan cukup sebutuhnya kita saja? Dengan kursus mungkin?

Kita rela sibuk bekerja di instansi yang membuat waktu kita habis lalu dengan gampangnya kita mengatakan "Halah dhuha kan sunnah, Halah yang penting jum'atan gak di shoff pertama juga gakpapa, Halah ngaji bisa 
via YouTube".

Bukan kah bekerja bisa dengan bisnis? Masih terlampau banyak cara mencari rizqi, cara mencari dunia dengan tanpa meninggalkan dhuha, jum'at di shoff pertama & bisa datang ke kajian-kajian yang ada.

INGAT. Kehidupan dunia melalaikan. Kehidupan dunia ada batasnya , fana. Maka PRIORITASKAN 2 kebaikan akhirat yang kau pinta dari 1 kebaikan dunia yang kau harap.

Yuk.. Berbekal segera. Kita tak tau batas kita sampai kapan di sini.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India