30 Sep 2014

Ketidakterkaitan antara Haji, Puasa Arofah dan Hari Raya I'd

Ibadah Haji, Idul Adha dan puasa Arofah, ketiganya merupakan ibadah mustaqillah (terpisah satu sama lain), bukan satu rangkaian kecuali di tanah Haram (Makkah) saat kondisi aman. Sebab haji adalah ibadah yang terikat dengan waktu dan tempat sekaligus, sedangkan hari raya 'Id dan puasa Arofah adalah ibadah yang hanya terikat dengan waktu saja. Sehingga jika pada waktu pelaksanaan ibadah haji, tanah haram (Mekkah atau Saudi secara umum) sedang tidak aman, maka kewajiban haji menjadi gugur, namun tidak demikian dengan hai raya 'Id dan puasa Arofah. Baik di Saudi sedang aman atau sedang ada perang, baik ada orang yg wuquf atau tidak ada yg wuquf, maka secara syar'i kaum muslimin tetap disunnahkan melakukan sholat 'Id dan puasa Arofah.

Dengan demikian, Hari raya 'Id dan puasa Arofah di negara yang bukan Saudi atau di negara yg awal bulan Dzulhijah-nya tidak sama dengan Saudi, tidak harus tergantung dengan pelaksanaan haji dan adanya wuquf di Arofah. Sebab memang 'Id dan puasa Arofah tidak ada kaitannya dengan orang yg wuquf di Arofah.

Lalu bagaimana bisa puasa Arofah tidak harus menyesuaikan orang yang sedang wuquf di Arofah?

1. Arofah menurut Ibnu Abidin (dalam Hasyiah Raddil Mukhtar II/92) adalah nama hari dan nama tempat. Arofah adalah nama hari ke-9 dari bulan Dzulhijah. Dan penamaan Arofah dengan pengertian tanggal 9 Dzulhijah dan dengan pengertian tempat di tanah Haram sudah digunakan sebelum disyariatkannya haji dan bukan karena adanya orang wuquf dalam ibadah haji.
2. Istilah 'Shaum Yaumi Arofah' telah disabdakan Rasullullah sebelum disyariatkannya haji, artinya bahwa Rasullullah tidak mengaitkan puasa Arofah dengan orang yang sedang wuquf di Arofah, bahkan Rasullullah telah melaksanakan puasa Arofah jauh sebelum ada orang yang wuquf di Arofah. Kalimat 'Shoum Yaumi Arofah' dalam kaidah bahasa disebut 'idhafah bayaniyah' yg artinya adalah keterangan waktu dan bukan idhafah makaniyah/keterangan tempat, dan bukan pula idhafah fi'liyah/keterangan peristiwa. Dengan demikian penyandaran kata 'shoum' pada kalimah 'yaumi arofah' adalah untuk menunjukkan bahwa Yaumu Arofah (hari ke-9 Dzulhijah) itulah sebagai syarah sahnya shoum tersebut. Dengan kata lain shoum Arofah terikat dengan miqot zamani/ketentuan waktu, dan bukan terikat dengan miqot makani/ketentuan tempat, dan bukan pula terikat miqot fi'li/ketentuan peristiwa. Ketentuan puasa Arofah harus pada tanggal 9 Dzulhijah itulah yang juga sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits yg lain.

"Adalah Rasullullah berpuasa hari ke-9 Dzulhijah, dan hari ke-10 Muharram, dan 3 hari pada setiap bulan." (Hadist Shahih riwayat Abu Daud, Ahmad, dan Baihaqi.)
Hadist tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan puasa-puasa tersebut terikat dengan miqot zamani (waktu) semua.

Adapun terkait penyikapan kita untuk ikut hari raya 'Id yang tanggal berapa, hendaknya kita lebih mengutamakan persatuan ummat karena memang itulah yang dituntunkan oleh Rasullullah Shollallahu 'alaihi wasallam (yang artinya) :

"Waktu permulaan puasa Ramadhan adalah pada hari dimana kaum muslimin semua (atau setidaknya mayoritas) sama-sama berpuasa. Dan waktu idul fitri adalah pada hari dimana kaum muslimin semua (atau setidaknya mayoritas) sama-sama ber-idul fitri. Serta waktu idul adha adalah pada hari dimana kaum muslimin semua (atau setidaknya mayoritas) sama-sama berhari raya idul adha. (H.R Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan Al Albani)

Meskipun demikian, pengambilan penyikapan tersebut tetap harus dilandasi oleh jiwa tasamuh (toleransi) yang tinggi yang dibuktikan dengan sikap pengakuan dan penghormatan terhadap pilihan yang lain.

Akhirnya, selamat (mempersiapkan) ibadah puasa Arofah dan berhari rayalah dengan suka cita. Salam ukhuwah dari kami kaum muslimin di Taipei yang berhari raya Idul Adha pada hari Sabtu, 4 Oktober 2014. Sisipkan doa untuk kami, agar senantiasa tetap istiqomah dalam minoritas.

Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa hari Arafah, beliau menjawab, “Puasa itu menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun berikutnya.” (HR. Muslim)
*tulisan diambil dan dirangkum dari beberapa kajian ustadz IKADI Jawa TImur.



8 Sep 2014

Tetap Pegang Teguh Sunnah

Hari ini (8/9/2014), dengan segala kuasa dan izin dari-Nya, Allah ta'ala memberikan kesempatan kepada saya utk silaturahim di bandara internasional Chang-i dan bandara Taoyuan, Taipei. Kemudian entah mengapa di kedua bandara tsb saya mendapat perlakuan yg cukup 'istimewa' dibandingkan rekan2 yg lain. Jika teman sya semuanya lancar dan proses pemeriksaan berlangsung cepat, maka sya hrs mendapat berbagai pertanyaan tambahan dan pemeriksaan barang bawaan yg lebih ketat.

Apa itu smua diakibatkan karena saya berjenggot? entahlah. wallahu a'lam. Yang jelas memelihara jenggot ini adalah bagian dari sunnah. Dan senantiasa berusaha mengamalkan sunnah saat menjadi minoriti adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi seorang muslim. Maka tak perlu sikap minder itu dimiliki oleh seorang mukmin. Itu adalah salah satu wujud kecintaan kita kepada agama dan Rasul-Nya.

Akhirnya kami yg ada disini senantiasa berdoa agar selalu diberikan keistiqomahan dalam menuntut ilmu dan beramal agama. Dimana pun bumi Allah dipijak, disitulah agamaa-Nya harus senantiasa ditinggikan.

*Assalamu'alaikum Taipei



Nasihat untuk Harokah

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan mengenai sebagian ciri-ciri Ahlul bid’ ah (syi'ah, khawarij, mu'tazilah, dll) yakni mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat ulama/pemimpin golongan mereka saja. Sehingga mereka pun tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun kebenaran itu sudah tampak jelas bagi mereka. 

Tentu hal ini menjadi nasihat yg jelas kepada kita kaum muslimin, baik itu yg mengaku salafy, ikhwany, tahriry, tablighy, maupun jihady untuk tetap selalu mengutamakan al haq di atas hujjah yg jelas ketimbang membela mati-matian jamaahnya yg hanya akan meninggalkan benih-benih asshobiyah.
Memang kita boleh saja menisbatkan diri dan memberikan loyalitas kepada organisasi atau harakah apapun yang msh dalam lingkup ahlussunnah wal jama'ah. Hal yang keliru adalah ketika kita dengan seenaknya menguji dan menanyai seseorang dengan nama-nama tersebut semisal dgn bertanya, "apakah anda salafy atau ikhwany?", kemudian akhirnya kita menempatkan wala' wal bara', berdasarkan nama kelompok-kelompok itu. 

Harus dipahami bahwa intisab dan intima' kepada sebuah kelompok tidaklah menjadikan kita lebih baik dan lebih mulia dari orang lain. Orang yang paling mulia ialah dia yang paling bertakwa kepada Allah ta'ala. Sebab manusia akan datang kepada Allah ta'ala utk mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan keadaan sendiri-sendiri (furada). 

"Dan setiap orang dari mereka akan datang kepada Allah sendiri-sendiri pada hari kiamat" (Q.S Maryam : 95)

Tak peduli apapun jama'ah yang kita ikuti, selama Allah yang kita cari dengan ketulusan dan pemahaman yang benar (faqihu fiddin) , maka Dia-lah yang akan menuntun kita kepada jalan yg benar. Wallahu a'lam. 



 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India