28 Feb 2015

Tuduhan Terhadap Al Ikhwan Al Muslimun dan Jawabannya


Ada pepatah terkenal berbunyi, "Tidak ada gading yang tidak retak." Artinya, manusia sebaik dan sehebat apa pun, selain al ma 'shum, pasti memiliki kekurangan. Begitupun dengan Ikhwanul Muslimunyang lahir bukan tanpa kritik dan cela dari dalam maupun dari luar. Kritik yang diarahkan kepadanya harus dipandang sebagai bentuk nasihat yang berguna dan bukan upaya pelecehan yang merendahkan. Sebaliknya, celaan yang datang bertubi-tubi kepadanya sarna sekali tidak akan pemah membuatnya rendah dan hina di mata umat.

Tidak ada yang mengingkari bahwa kritik adalah sesuatu yang berguna dan dibutuhkan manusia walau getir dan pedas. Apalagi, manusia adalah makhluk Allah Swt yang tidak lepas dari kesalahan. Sebenamya kritik pada hakikatnya sama dengan nasihat. Tidak perlu pula diingkari bahwa celaan adalah hal yang berbeda dengan kritik. Mencela bukanlah akhlak terpuji walau kadangkala manusia harus mencela orang yang pantas dicela. Pada saat itu, fungsi celaan sarna dengan nasihat.

Mengkritik dan mencela memiliki perbedaan yang jelas. Mengkritik adalah upaya memperbaiki yang keliru, menyempurnakan yang kurang, menguatkan yang lemah, dan membangunkan yang tertidur dengan menunjukkan masalah dan jalan keluamya agar manusia cepat kembali kepada kebenaran. Mengkritik haruslah dilakukan dengan penuh pertimbangan, ilmu, dan akal sehat, serta ketulusan hati. Obyek yang dikritik pun adalah sesuatu yang benar-benar perlu dikritik dan bukan dilontarkan sekadar prasangka, asumsi, atau mencari-cari kesalahan dengan landasan emosi dan rasa benci.

Adapun mencela atau menghujat (apa pun istilahnya) amat bertolak belakang dengan mengkritik. Mencela secara halus (sinis) atau kasar (sarkas) adalah upaya merendahkan, melecehkan, atau meremehkan agar manusia menjauh tanpa memberikan jalan keluar. Landasan mencela adalah nafsu amarah serta tanpa pertimbangan ilmu dan akal sehat. Paling tidak, nafsu amarah telah mengendalikan ilmu dan akal sehat. Obyek yang dicela mungkin benar, mungkin juga salah. Bahkan, boleh jadi kebenaran tertutup cahayanya, lalu dianggap salah. Oleh karena nafsu amarah yang dituruti akan rnembuat gelap mata dan tidak mampu rnemandang secara jemih antara yang benar dan salah.

Tidak diragukan lagi bahwa Ikhwan telah rnendapatkan keduanya; kritik dan celaan. Pada keadaan tertentu, Ikhwan rnenerirna sernua kritikan dan berlapang dada karena Allah Swt rnenyadarkan rnereka dari kekeliruan, Namun pada keadaan lain, Ikhwan rnerasa perlu mernberi tanggapan terhadap celaan yang rnereka terirna lantaran celaan tersebut zalirn dan tidak pada tempatnya.,

Perlu diingat, rneskipun kebajikan yang telah dipersembahkan Ikhwanul Muslimin segunung banyaknya, mereka-seperti jamaah lain-adalah jamaah manusia. Pendiri, pemimpin, petinggi, anggota, dan sirnpatisannya adalah rnanusia biasa yang berpotensi rnelakukan kesalahan. Hanya rnanusia yang selalu dalarn penjagaan Allah Swt-Iah yang senantiasa mampu rnengajak dirinya bersatu dengan kebenaran dan rnenyisihkan kesalahan. Sernentara orang yang selalu dalam penjagaan Allah azza wa Jalla hanya Rasulullah Saw. Ikhwan bukanlah jamaah rnalaikat yang selalu taat dan tidak pemah salah. Bukan pula jamaah setan yang selalu durhaka dan ingkar serta nengajak manusia kepada kedurhakaan.

Sungguh telah datang secara bergelornbang celaan dan tuduhan kepada Ikhwan. Hal yang amat rnengherankan, tuduhan dan celaan itu salin bertolak belakang. Satu pihak rnenuduh Ikhwan terlalu ketat dan konservatif. Namun, pihak lain menuduh Ikhwan longgar dan permissive terhadap semua pembaruan. Tuduhan atau celaan itu saling mementahkan satu sarna lainnya dan rnenernpatkan Ikhwan berada di antara keduanya. Demikianlah kedudukan yang adil, yaitu wasathiyah (pertengahan/rnoderat).

Dalam pandangan kami-wallahu a'lam-hal itu terjadi karena beberapa alasan. Di antaranya:
  • salah paham terhadap hakikat manhaj dakwah Ikhwan;
  • tidak paham terhadap hakikat manhaj dakwah lkhwan;
  • mungkin benar ada kekeliruan di dalarn lkhwan, tetapi para pencelannya tidak punya niat baik dan etika yang bagus untuk meluruskannya;
  • ikut-ikutan (taklid)terhadap pembesar-pembesar rnereka; atau
  • ada kedengkian (hiqd) di dalam hati mereka.

Beberapa Contoh Tuduhan dan Jawabannya
Telah berkata Samahatusy Syaikh Imam Kabir Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz-semoga Allah Swt meridhainya, "Harakah Ikhwanul Muslimun telah dikritik para ulama yang mu'tabar. Salah satu alasannya, mereka tidak memperhatikan dakwah tauhid serta memberantas syirk dan bid'ah. Oleh karena itu, wajib bagi Ikhwanul Muslimun untuk mengingkari ibadah-ibadah kepada kuburan. Kebanyakan ahli ilmu mengkritik Ikhwanul Muslimun pada segi itu-tidak punya perhatian terhadap dakwah tauhid, membiarkan kelakuan orang-orang jahil, dan meminta-minta kepada orang yang sudah mati. Mereka pun tidak punya perhatian terhadap sunah atau meneliti hadis dan perkataan salafush shalih dalam hukum-hukum syar'i. [1]

Dari perkataan Samahatusy Syaikh itu, ada beberapa hal yang perlu ditegaskan dulu. Siapakah ulama mu'tabar (diakui) yang Syaikh mulia maksud? Apakah mereka pemah berinteraksi dengan Ikhwanul Muslimun dan tokoh-tokohnya secara baik di masa awal atau sekarang ini atau hanya mendengar dari kabar burung yang dipelintir dan buku-buku yang dikutip secara sepotong-sepotong?

Jika ulama yang dimaksud adalah ulama dunia seperti Syaikh al Muhaddits Sayyid Muhibbudin al Khathib (redaksi harian /khwanul Muslimin), Syaikh Hasanain al Makhluf (mantan mufti Mesir), al Hajj Amin Husaini (mufti Palestina), Muhammad Abdul Hamid (ulama al Azhar), Syaikh Mahmud Syaltut (mantan Syaikh al Azhar), atau Abul A'la al Maududi (seorang 'alim dari Pakistan dan dipanggil 'ustad' oleh Syaikh al Albany)-mereka hidup sezaman dengan al Banna dan masa-masa generasi pertama Ikhwan tentulah tidak akan luput dari perhatian orang-orang 'alim itu jika benar Ikhwan adalah jamaah yang menyimpang. Tidak ada keterangan dari ulama-ulama itu yang menyebutkan kritik atau celaan seperti yang disebutkan Syaikh bin Bazz. Nyatanya, mereka amat mencintai Ikhwan dan manhaj-nya, bahkan sebagian di antara mereka bergabung bersama Ikhwan atau mengambil manfaat darinya.

Namun, jika ulama mu 'tabar yang dimaksud adalah pengikut dan murid-murid Syaikh Bin Bazz sendiri dan pengikut Syaikh al Albany-mereka memang ulama, seperti Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi'i al Yamany, Syaikh Rabi' bin Hadi Umair al Madkhaly, Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi al Madkhaly, Syaikh Farid bin Ahmad Manshur, Syaikh Ali Hasan al Halaby al Atsary, dan Abdul Malik Ramadhan al Jazairy-bukanlah hal yang baru dan mengherankan bagi kami. Mereka memang ulama-ulama yang terkenal amat bersemangat mengkritik jamaah atau tokoh yang tidal sejalan dengan fikrah mereka. Pembahasannya akan kami uraikan secara khusus.

Adapun ucapan Syaikh yang mulia bahwa Ikhwan melupakan dakwan tauhid serta memberantas bid'ah dan syirik kubur, itu tidaklah benar. Lagi pula wacana tauhid bukan hanya seputar bid'ah dan syirk kubur. Ikhlas dalam beramal, menegakkan syariat Islam dalam lirigkup pribadi, masyarakat, dan negara, .tidak meminta pertolongan orang kafir untuk memerangi sesama muslim, atau mengeluarkan fatwa bolehnya meminta pertolongan kepada AS saat Perang Teluk melawan Saddam Husein berkecamuk padahal biar bagaimana pun AS lebih jelas kekafirannya dibandingkam Saddam Hussein-termasuk bagian dari tauhid. Hasan al Banna telah menyebutkan di dalam Ushul isyrin keharusan bagi pengikut/anggota Ikhwan untuk memerangi kemungkaran di kuburan, pengunaan jimat, mantera dan sejenisnya. Hal itu akan kami ulas pada bagiannya tersendiri.

Begitu pula tidak sepenuhnya benar pemyataan bahwa lkhwan melupakan sunah serta tidak meneliti hadis dan atsar salafush shalih. Ikhwan memahami bahwa upaya meneliti hadis dan atsar-atsar salafush shalih bukanlah pekerjaan untuk semua manusia. Hanya ahlinya yang pantas untuk melakukan hal itu. Ikhwan sendiri tidak mendidik anggotanya secara khusus untuk menjadi ulama fiqh atau ulama hadis. Tidak ada gerakan Islam yanng berpikir bahwa semua anggotanya harus menjadi ahli.fiqh dan ahli hadist atau atsar. Namun, Ikhwan tetap memperhatikan haI itu melalui pemimpinnya yang memang punya keahlian di bidang itu. Ada Sayyid Sabiq, Abdul Qadir' 'Audah, Abdul Fattah Abu Ghuddah, Abdul Halim Abu Syuqqah, Yusuf al Qaradhawy, dan ulama lainnya. Semuanya adalah tokoh ahli iImu liqh dan hadis yang diakui dunia. Syaikh bin Bazz pemah melontarkan perkataan yang berat ketika ditanya tentang Jamaah Tabligh dan Ikhwanul Muslimun, "Kedua firqah itu masuk' ke dalam 72 golongan (yang tersesat). Siapa saja yang menyelisihi akidah Ahlussunnah, ia masuk ke dalam 72 golongan itu.[2]

[1] Buletin dakwah alFurqan edisi 10/1 Jumadil ula 1423 H, him. 2, kol. 2.2  Rasulullah Saw memprediksikan perpecahan umat Islam menjadi 73 golongan dan golongan yang masuk surga hanya satu, yaitu al Jama 'ah-artinya segala yang aku (Nabi Saw) dan sahabatku ada di atasnya. Adapun 72 golongan lainnya masuk neraka. Hadis itu diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Abu Daud. Imam Hakim men-shahihkannya menurut syarat Imam Muslim dan disepakati Imam adz Dzahabi. Syaikh Albany men-shahih-kan hadis itu, sedangkan Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak mengeluarkan hadis itu dalam kitab Shahihain mereka padahal masalahnya penting" Hal itu menunjukkan Imam Syaikhan (Bukhari-Muslim) meragukan kesahihan hadis.hadis itu. Bahkan, Imam Ibnu Wazir menganggapnya batil, tidak benar, dan merupakan rekayasa orang-orang mulht:l (atheis). Ibnu Hazm menilainya sebagai hadis palsu. Adapun Imam Ibnu Taimiyah men-shahihbn hadits itu dan Ibnu Hajar meng-hasan-kannya (Lihat dalam Fiqhul Ikhtilaf, hIm. 50-56 dan Seleksi Hadits-Hadits Shahih tentang Targhib dan Tarhib, hlm. 120. Keduanya karya Yusuf al Qaradhawy).

Ketika ditanya lagi, syaikh itu menegaskan, "Ya, keduanya masuk ke dalam 72 golongan beserta murji'ah dan golongan lainnya. Murji'ah dan khawarij-khusus khawarij menurut sebagian Ahlul 'ilmi telah keluar dari golongan orang-orang kafir, tetapi mereka masuk dalam keumuman 72 golongan yang sesat.[3] Ucapan itu-jika memang benar ucapannya-sebenamya telah menjadi fatwa yang mengerikan bagi kedua jamaah berupa vonis sesat, bahkan lebih dari itu. Sinyalemen Rasulullah Saw bahwa umat ini akan terpecah menjadi73 golongan dan semuanya masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu alJama 'ah, menunjukkan bahwa golongan yang masuk neraka sebanyak 72 golongan. Jadi, ketika syaikh itu menyebutkan bahwa Jamaah Tabligh dan Ikhwanul Muslimun termasuk 72 golongan tersebut, otomatis kedua jamaah itu termasuk calon penghuni neraka. ltulah pemahaman yang dapat kita tangkap secara sederhana dan mudah. Namun, kami tidak dapat membayangkan jika syaikh itu bermaksud demikian karena ada akibat lain dari ucapan tersebut, yaitu tokoh-tokoh kedua jamaah itu dan pengikut mereka pun termasuk ahli neraka: Hasan al Banna, Sayyid Quthb (yang Syaikh Bin Bazz bela ketika divonis hukuman gantung), Sayyid Sabiq (pengarang Rqhus Sunnah yang terkenal dan bersama Yusuf al Qaradhawy mendapatkan penghargaan King Faishal Award), Abdul Halim Abu Syuqqah (pengarang Tahrirul Mar'ah Li 'Ahdir Risalah), Yusuf al Qaradhawy yang telah Syaikh Bin Bazz puji, dan banyak lagi. Merekalah pembesar Ikhwan yang jamaahnya dikelompokkan ke dalam 72 golongan ahli neraka! Padahal, mereka segolongan 'alim yang terdidik dalam madrasah Ikhwanul Muslimun.

Kami mengira- wallahu a'lam-berita yang diperoleh Syaikh Bin Bazz tentang Ikhwan tidak utuh. Mungkin hanya bisikan berita dari kalangan tertentu di sekelilingnya yang memang antipati terhadap Ikhwan. Seandainya beliau mau mengambil manfaat dari berita yang disampaikan Ikhwan langsung-minimal sebagai pengimbang-niscaya pandangan beliau pasti berbeda. Seandainya benar demikian, yaitu terjadi ketidakutuhan dalam pandangannya, sesungguhnya hukum fatwa yang dikeluarkan seorang mufti yang tidak mengetahui perkaranya dengan jelas dan utuh menjadi batal. Demikian kaidah yang disepakati ulama. Sesungguhnya ulama kecintaan kami, Syaikh al 'Allamah al Muhaddits Muhammad Nashiruddin al Albany-semoga Allah Swt me-ridha-'inya pemah berkata, "Ada pun mereka (Jamaah Tabligh) tidak mementingkan, dakwah kepada kitab dan sunah sebagai prinsip pokok. Bahkan, mereka menganggap dakwah tersebut hanya akan membawa perpecahan umat. Keadaan mereka persis seperti yang ada pada jamaah Ikhwanul Muslimun. 

Mereka mengatakan sesungguhnya dakwah mereka tegak di atas kitab dan sunah, tetapi itu hanya ucapan belaka. Mereka tidak mempunyai akidah (shahihah) yang dapat menyatukan mereka sehingga di dalamnya terdapat aliran al maturidy, asy'ary, sufi, dan ada pula yang tidak bermazhab. Hal itu karena dakwah mereka berdiri di atas prinsip "himpun, kumpulkan, dan didik" meskipun pada hakikatnya mereka tidak berpendidikan sarna sekali.(dakwah mereka, penerj.) telah berlalu lebih dari setengah abad lamanya, tetapi tidak ada seorang 'alim pun muncul dari kalangan mereka.[4]  Ucapan Syaikh al Albany yang mengatakan bahwa Ikhwan tidak pemah memunculkan ahli ilmu sebagai hasil dari dakwahnya adalah tidak sesuai dengan kenyataan. Sesungguhnya, ulama-ulama dari Ikhwan sangat banyak-tanpa bermaksud berbangga diri. Apakah Syaikh al Albany menganggap Sayyid Sabiq, Yusuf al Qaradhawy (Syaikh sendiri pemah memujinya), Abdul Halim Abu Syuqqah, Manna' Khalil Qattan, Abdullah Nashih 'Ulwan, dan Muhammad al Assai adalah juhala (orang-orang bodoh)?

Syaikh yang mulia Rabi' bin Hadi-hafizhahullah wa ghafarahullah pemah mencela Ikhwan dengan perkataan, "Sebenamya dakwah Ikhwanul Muslimun didasarkan pada manhaj orang kafir Barat yang dibungkus dengan pakaian Islam.[5]

[3]  Rabi' bin Hadi al Madkhaly, Fatwa Ulama Seputar Jama'ah Tabligh, hIm. 20-21.
[4]  Ibid him. 30-31
[5] Rabi' bin Hadi al Madkhaly, Kekeliruan Pemikiran Sayyid Quthb, hlm. 177. 6 Ibid. him. 176-177. Uhat catatan kaki no. 39.

Ia mengomentari dakwah Ikhwan di berbagai negara dengan sinis, "Sekarang muncul berhala-berhala yang lebih zalim dan lebih sewenang-wenang yang tidak ada tandingannya di Mesir, Irak, Syam, Libya, Yaman, Sudan, dan negeri lain. ltu semua merupakan hasil dari seruan Ikhwan. Oengan hasil yang mereka peroleh sekarang, mereka masih menuntut lebih hingga akhimya mereka akan membunuh Islam dengan Islam itu sendiri.

Masih banyak lagi celaan terhadap Ikhwan darinya. Kami anggap hal itu sebagai celaan dan bukan kritikan karena kritikan memiliki kaidah, sedangkan ruh yang ada di dalam ucapan itu adalah ruh amarah. Sungguh, para berhala yang dimaksud-yaitu para thawaghit (tiranik)-lebih cocok ditujukan kepada orang-orang yang memberangus Ikhwan di negeri-negeri mereka dan itu sudah amat masyhur. Bagaimana mungkin Syaikh Rabi' menganggap para tiranik itu dampak dari keberadaan dakwah Ikhwan? Lebih baik seorang yang 'alim dalam iImu agama membela saudaranya yang dizalimi dan mencegah para pelaku kezaliman dari perbuatan zalim dan bukan berbuat zalim pula dengan tidak menghargai, bahkan mencela upaya dakwah saudaranya.Lebih baik lagi jika Rabi' atau siapa pun bersikap adil dan seimbang dalam menilai seseorang atau suatu jamaah. Imam Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin telah memberikan koreksi atas kesalahan Syaikhul Islam Ismail al Harawi dalam buku Manazil Sairin. Namun, Ibnul Qayyim tetap memberikan pujian pada kedudukan Syaikhul Islam alHarawi dan manfaat yang didapat dari karyanya. Ibnu Taimiyah mengkritik Imam al Ghazaly lantaran karyanya al Ihya' amat banyak disusupi syubhat dalam masalah akidah dan perkataan para filsuf. Namun, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa manfaat dari buku itu lebih banyak dibandingkan jika buku itu ditolak. Demikianlah sikap adil yang kami maksud, yaitu tidak melupakan kebaikan yang telah ada pada seseorang walau orang tersebut berbuat kesalahan. Adakah Syaikh Rabi' mau melihat kebaikan yang ada pada Ikhwan? Jika masih menganggap "Kebaikan ahIi bid'ah jangan dipandang" , sungguh itu adalah ucapan yang benar, tetapi tidak pada tempatnya. Ikhwan bukanlah ahIi bid'ah. Mereka hanyalah manusia yang ber-ijtihad seperti Anda ber-ijtihad Lain halnya jika Syaikh Rabi' yakin dengan pendiriannya bahwa Ikhwan dan para tokohnya adalah ahli bid'ah sehingga sia-sialah semua nasihat ini.

Seandainya manusia mau menuangkan jasa-jasa Ikhwan dalam bentuk tuIisan, niscaya dibutuhkan berjilid-jilid buku. Berkata Syaikh Manna' Khalil al Qattan,[7]  "Gerakan Ikhwanul Muslimun yang didirikan asy Syahid Hasan al Banna dipandang sebagai gerakan keislaman terbesar masa kini tanpa diragukan lagi. Tidak seorang pun dari lawan-Iawannya dapat mengingkari jasa gerakan ini dalam membangkitkan kesadaran di seluruh dunia Islam.

Bersama gerakan ini, segenap potensi pemuda Islam ditumpahkan untuk berkhidmat kepada Islam, menjunjung syariatnya, meninggikan kalimat-Nya, membangun kejayaannya, dan mengembalikan kekuasaannya. Apapun yang dikatakan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi terhadap jamaah ini, pengaruh intelektualitasnya tidak dapat diingkari siapa pun.[8]

[7] Befiau adalah ulama temama, mantan Ketua Mahkamah Tinggi di Riyadh, staf pengajar di Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh. Ia pun seorang tokoh Ikhwanul Muslimun.
[8] Manna Khalil al Qattan, Studi Dmu-Dmu al Qur'an, hIm. 506.

Kepada para pencela Ikhwan, Yusuf alQaradhawy-hafizhahullah berkata, "Dalam sejarah modem, tidak dikenal kelompok yang dizalimi dan didera tuduhan seperti yang dialami kelompok Ikhwan. Mereka dizalimi seperti kezaliman yang dialami Husein, cucu Nabi Saw. Hal yang mengherankan bagi pengamat perjalanan Ikhwan adalah mereka dituduh dengan tuduhan yang kontradiktif pada saat yang sarna. Satu pihak menuduhnya dengan suatu tuduhan, sedangkan pihak lain menuduh dengan tuduhan kebalikannya. Dengan sendirinya tuduhan-tuduhan itu menjadi lemah dan tidak memiliki makna. Di sana terdapat kelompok yang menamakan dirinya kelompok progresif dan menuduh Al Ikhwan sebagai gerakan reaksioner dan jumud, kembali ke belakang, dan konservatif. Bahkan, di antara penulis muslim pun ada yang memandang Ikhwan dengan sinis sebagai gerakan set back setelah masa Jamaluddin al Afghani dan Muhammad Abduh yang. mempunyai kecenderungan konservatif dan kaku.

Pada saat yang bersamaan, ada segolongan pengikut paham agama yang melontarkan kecaman bahwa Ikhwan terlalu longgar dalam memahami agama dan mengikuti tuntutan zaman. Sebagian mereka mengecam karena Ikhwan membuka lebar-lebar pintu ijtihad dan keluar dari mengikuti mazhab serta memegang sebagian besar pendapat baru[9]  Di sana ada pula. kelompok sufi yang memandang Ikhwan adalah penjelmaan paham Wahabi dan pengikut Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim (AI Imamain). Dengan kata lain, Ikhwan dipandang sebagai gerakan salafiyun yang menjadi musuh utama bagi tasawuf dan penganutnya. Sementara itu, ada kelompok yang menamakan diri mereka salafiyun dan memandang Ikhwan sebagai kelompok thariqat sufi dan menggolongkannya sebagai kelompok Quburi (penyembah kubur, peny) Hal itu, didasari bahwa al Banna tumbuh dalam suasana yang sarat nuansa sufi di samping pandangannya bahwa tawassul masuk dalam persoalan khilafiyah-perbedaan pendapat dalam tata cara berdoa dan bukan masalah akidah.[10] Terakhir beliau berkata, Itulah perlakuan yang dialami umat poros tengah atau kelompok tengah dan pemikiran poros tengah yang senantiasa dicela dari dua sisi yanb berlawanan: pihak yang keras dan pihak yang lunak

[9] Sebaliknya, kalangan salaliyun progresif menuduh Ikhwan menutup pintu ijtihad Liha al Furqan edisi 1011 Jumadil VIa 1423 HI hIm. 2, kol. 2..
[10] Yusuf al Qaradhawy, 70 T ahun AI Ikhwan AI Muslimun, hIm. 205-206.


23 Feb 2015

Daftar Isi

Polemik Hukum Isbal (Perluaslah Cakrawala Anda terhadap Isbal)





Mengenai Hukum Isbal

Syeikh Kholid al Mushlih mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Apa hukum isbal? Adakah isbal dalam celana panjang? Apa benar bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa isbal tanpa niat sombong itu hukumnya mubah atau makruh?”

Jawaban Syeikh Kholid al Mushlih, “Dalam bahasa Arab isbal artinya adalah menjulurkan sesuatu dari atas ke bawah. Sedangkan yang dimaksud dengan isbal dalam hal ini adalah memanjangkan dan menjulurkan kain.

Dalil seputar masalah ini ada dua jenis.

Pertama, mengharamkan isbal jika karena kesombongan.
Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari no 5784 dan Muslim no 2085 dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menyeret kainnya (baca: isbal) karena sombong maka Allah tidak akan memandangnya pada hari Kiamat”.

Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari no 3485 dan lainnya dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada seorang lelaki yang kainnya terseret di tanah karena kesombongan, Allah menenggelamkannya ke dalam bumi . dia kejel-kejel (meronta karena tersiksa) di dalam bumi hingga hari Kiamat terjadi”.

Demikian pula diriwayatkan oleh Bukhari no 5788 dan Muslim no 2087 dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari Kiamat nanti Allah tidak akan memandang orang yang menyeret kainnya karena sombong”.

Kedua, hadits-hadits yang mengharamkan isbal secara mutlak baik karena sombong ataupun tidak.
Diriwayatkan oleh Bukhari no 5787 dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kain yang letaknya di bawah mata kaki itu letakannya adalah neraka”.

Diriwayatkan oleh Muslim no 106 dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga jenis manusia yang tidak akan Allah ajak bicara pada hari Kiamat, tidak Allah pandang, tidak akan Allah sucikan dan untuk mereka bertiga siksaan yang pedih. Itulah laki-laki yang isbal, orang yang mengungkit-ungkit sedekah dan orang yang melariskan barang dagangannya dengan sumpah palsu”.

Dikarenakan ada dua jenis dalil dalam masalah ini maka para ulama berselisih pendapat tentang hukum isbal bagi laki-laki bukan karena hendak menyombongkan diri.

Mayoritas ulama baik yang bermazhab Maliki (sebagaimana dalam Muntaqa al Baji 7/226 dan al Fawakih ad Dawani 2/310), bermazhab Syafii (sebagaimana dalam Asna al Mathalib 1/278 dan al Majmu Syarh al Muhadzab 4/338) dan Hanabilah (sebagaimana dalam Kasysyaf al Qona’ 1/277 dan Mathalib Ulin Nuha 1/348) serta yang lainnya berpendapat bahwa isbal yang haram adalah isbal karena motivasi kesombongan.

Sedangkan isbal bukan karena kesombongan maka sebagian dari jumhur ulama mengatakan bahwa hukumnya adalah makruh. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa hukumnya adalah mubah karena larangan isbal yang bersifat mutlak mereka bawa kepada larangan yang bersyarat.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam syarah beliau untuk kitab Umdah al Fiqh hal 366 mengatakan, “Mengingat bahwa mayoritas dalil itu melarang isbal jika dengan kesombongan maka dalil yang melarang isbal secara mutlak itu kita maknai dengan isbal karena kesombongan. Sehingga isbal yang tanpa dorongan kesombongan itu tetap bertahan pada hukum asal berpakaian yaitu mubah. Jadi hadits-hadits yang melarang isbal itu didasari pertimbangan bahwa mayoritas lelaki yang isbal itu dikarenakan dorongan kesombongan”.

Mereka memiliki dua alasan. Yang pertama adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakr, “Engkau bukanlah termasuk orang yang melakukan isbal karena kesombongan”. Demikian tanggapan Nabi atas ucapan Abu Bakr, “Salah satu sisi sarungku itu melotrok/melorot kecuali jika aku perhatikan dengan seksama”.

Alasan kedua adalah mengingat bahwa sahabat Ibnu Mas’ud itu menjulurkan sarungnya hingga melewati mata kaki. Ketika hal tersebut ditanyakan kepada beliau, beliau mengatakan, “Sesungguhnya kedua betisku itu terlalu kecil (baca:tidak normal) sedangkan aku adalah imam masjid”. Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah. Dalam Fathul Bari 10/264 AlHafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa derajat riwayat di atas adalah jayyid atau baik.

Di sisi lain sejumlah ulama berpendapat bahwa hukum isbal itu haram secara mutlak baik karena dorongan kesombongan atau pun tanpa niat menyombongkan diri. Ini dilakukan dalam rangka mengamalkan semua dalil yang ada baik yang melarang isbal tanpa syarat maupun dalil yang melarang isbal jika karena kesombongan.

Menurutku, pendapat mayoritas ulama itu yang lebih mendekati kebenaran.
Dalil yang melarang isbal itu tidak hanya berlaku untuk sarung namun mencakup semua jenis kain yang dipakai oleh seseorang.

Dali pernyataan di atas adalah pernyataan Muharib bin Ditsar, perawi hadits Ibnu Umar, ‘Barang siapa yang menyeret kainnya karena sombong maka Allah tidak akan memandangnya pada hari Kiamat”. Sebagaimana dalam Sahih Bukhari no 5791, Muharib ditanya oleh Syu’bah, “Apakah Nabi menyebut-nyebut sarung?” Muharib mengatakan, “Larangan isbal itu tidak hanya khusus untuk sarung, tidak pula gamis atau jubah”.

Pernyataan Muharib di atas menunjukkan bahwa larangan isbal untuk tsaub atau pakaian itu mencakup sarung dan lainnya.

Terdapat beberapa hadits yang menunjukkan benarnya pernyataan di atas. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Isbal itu bisa terjadi pada sarung, gamis dan sorban. Siapa saja yang isbal karena sombong maka Allah tidak akan memandanginya pada hari Kiamat nanti”.

Hadits di atas diriwayatkan oleh Abdul Aziz bin Abi Rawwad dari Salim dari ayahnya. Ada pembicaraan pada diri Abdul Aziz sebagaimana yang dikatakan oleh al Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 10/262. Abu Bakr Ibnu Abi Syaibah menilai hadits di atas sebagai hadits yang gharib. Namun hadits di atas dinilai hasan oleh Nawawi.

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ibnu Umar, beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang isbal dalam sarung. Itu juga berlaku untuk gamis atau jubah”.

Al Hafiz Ibnu Hajar menukil penjelasan ath Thabari. Ath Thabari mengatakan bahwa disebutkannya izar atau sejenis sarung dalam hadits tentang larangan isbal itu dikarenakan izar adalah jenis pakaian yang paling dominan pada zaman Nabi. Ketika umumnya orang memakai jubah maka larangan isbal untuk izar juga berlaku untuk jubah.

Ibnu Batthal mengatakan, “Menganalogkan jubah dengan izar adalah analog yang benar. Seandainya tidak ada riwayat khusus yang menegaskannya maka kata-kata tsaub atau kain itu mencakup semua jenis pakaian.

Dalam kitab al Furu’ 1/356 saat membahas panjang ekor sorban penulisnya mengatakan, “Guru kami yaitu Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa ekor sorban yang terlalu panjang itu termasuk isbal yang terlarang.

Berdasarkan penjelasan di atas maka ada isbal untuk celana panjang”.
________________________________________
(1) المنتقى للباجي 7/226، الفواكه الدواني 2/310.
(2) أسنى المطالب 1/278، المجموع شرح الهذب 4/338.
(3) كشاف القناع 1/277، مطالب أولي النهى 1/348.

Demikian fatwa Syeikh Kholid al Mushlih, menantu Syeikh Ibnu Utsaimin, yang beliau sampaikan pada tanggal 17 Dzulhijjah 1424 H.

Sumber:
http://www.almosleh.com/almosleh/article_839.shtml

Petikan Pelajaran:
1. Ternyata pendapat yang mengatakan tidak haramnya isbal bagi laki-laki jika tanpa kesombongan adalah pendapat mayoritas ulama. Ulama salaf yang berpendapat dengan pendapat ini adalah salah seorang ulama besar di kalangan para sahabat yaitu Abdullah bin Mas’ud. Sehingga kita wajib menghormati orang yang mengambil pendapat ini karena menilainya sebagai pendapat yang kuat ketika kita memilih pendapat yang lain.
2.   Ternyata ada ulama yang berpendapat bahwa isbal tanpa niatan kesombongan itu hukumnya mubah.
3.     Tidak benarlah menjadikan isbal atau tidak sebagaimana tolak ukur ahli sunah ataukah bukan. Jadi mungkin saja terjadi ada seorang ahli sunah yang melakukan isbal, boleh jadi karena tidak tahu akan terlarangnya isbal atau karena pendapat yang tidak mengharamkannya isbal tanpa niat kesombongan menurutnya lebih kuat dari sisi dalil. Bahkan meski dia meyakini bahwa isbal itu haram secara mutlak namun dia tidak mengamalkannya, hal ini tidaklah mengeluarkannya dari ahli sunnah karena person ahli sunnah tidaklah maksum dari dosa dan maksiat.
4.    Termasuk isbal karena sombong adalah orang yang melakukan isbal dengan anggapan bahwa dirinya itu lebih baik dari pada yang tidak isbal karena yang melakukan isbal dia yakini sebagai orang yang sesat, teroris atau semisalnya. Ingat sombong adalah menolak kebenaran atau merendahkan atau menganggap diri lebih baik dari pada orang lain.
5.   Orang yang memilih pendapat yang ‘enak’ dalam masalah isbal karena cocok dengan nafsunya bukan karena pertimbangan kekuatan dalil adalah orang yang taat kepada nafsu, bukan taat kepada Allah dan rasul-Nya.
6.  Saya pribadi cenderung kepada pendapat yang mengaharamkan isbal secara mutlak meski tanpa sombong. Inilah pendapat yang lebih kuat dan lebih hati-hati. Betapa bagus buku karya Syeikh al Walis Saifun Nashr, murid al Albani yang telah mengumpulkan hadits-hadits yang menunjukkan haramnya isbal meski tanpa sombong. Buku beliau telah diterjemahkan dan telah diterbitkan oleh pustaka Tibyan, Solo.

*disadur dari website ustadz aris

18 Feb 2015

Riya' Tanpa Sadar

Pada dasarnya, sifat manusia sangatlah senang untuk ingin dipuji, ingin dihormati dan dihargai. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu Fatawa mengatakan bahwa sifat ingin dipuji merupakan syahwat khofiyyah manusia, sebagaimana seseorang jika lapar dia akan bersyahwat dengan makanan, jika melihat wanita akan bersyahwat dengan wanita tersebut, maka demikian juga jika ada kesempatan untuk menonjolkan kebaikan atau kelebihan yang ada pada dirinya maka dia akan lakukan apapun untuk memenuhi syahwat ingin dipujinya tersebut. Maka tak heran jika ada seseorang yang rela berkorban besar untuk memuaskan syahwat ingin mendapat ketenaran, sanjungan dan penghormatan tersebut.
Betapa banyak para dermawan yang ingin disanjung yang kemudian dia rela mengerluarkan uangnya hanya agar mendapat pujian. Tak peduli seberapa banyak uang yang dia keluarkan yang terpenting dia mendapat sanjungan. Betapa banyak juga para ustadz yang ingin dikenal memiliki ilmu yang tinggi, dia rela menghabiskan banyak waktu menghafal dalil ini itu hanya untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain. Jangankan waktu, jangankan harta, bahkan nyawa pun tak segan ia pertaruhkan untuk meraih pujian. Dalam sebuah hadist shahih riwayat muslim dikatakan bahwa seorang mujahid rela mempertaruhkan nyawanya hanya agar mendapat julukan sang pemberani dari manusia. Seakan dia mujahid pemburu pujian itu tak peduli walaupun harus mati yang terpenting dia bisa merasakan kelezatan dipuji-puji dihadapan manusia. Naudzubillah min dzalik.
Sifat ingin dipuji, ingin dihargai, dan ingin dihormati oleh manusia itulah pangkal dari penyakit riya’. Maka sungguh riya’ inilah penyakit hati yang sangat berbahaya. Samar namun mematikan. Riya’ mengakibatkan amalan ibadah tak diterima oleh Allah swt. Bahkan Rasullullah shollallahu’alaihi wasallam mengatakan bahwa riya’ adalah syirik kecil.
“Sesungguhnya riya adalah syirik kecil”
(HR. Ahmad & Al-Hakim)
Begitu berbahayanya penyakit riya’ ini maka banyak orang berbondong-bondong mencari ilmu dan pelajaran tentangnya, apa saja kerugiannya, dalil-dalil yang melarangnya dan bagaimana cara agar terhindar dari penyakit riya’ ini. Meski demikian, manusia tetaplah manusia yang tak luput dari tipu daya syaitan.
Sebagai ilustrasi, mungkin pernah kita mendengar seseorang berkata,
“bukannya saya riya’, tapi kesuksesan ini adalah hasil dari kerja keras saya”
“bukannya saya riya’, tapi sejak saya rajin bersedekah saya merasa lebih tenang”
“bukannya saya riya’, tapi memang saya merasa ada yang kurang jika tidak bangun sholat malam”
Kalimat pembuka ‘bukannya saya riya’ inilah yang sesungguhnya membuka pintu riya’ tanpa sadar. Sebelum dirinya dituduh riya’ dia berupaya membela diri dengan mengatakan kata-kata ini. Dia ingin menutup-nutupi riya’-nya tersebut dengan mengatakan ‘bukannya saya riya’.
Tanpa disadari seseorang yang merasa aman dengan kalimat-kalimat seperti ini sesungguhnya dia telah terjebak oleh talbis (perangkap) syaitan. Walaupun dia telah berusaha menutup dan mencegah riya’ dengan kata-kata itu namun hati manusia sangatlah lemah. Bahkan tidak menutup kemungkinan seseorang bisa menjadi lebih leluasa mengatakan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukannya karena merasa telah mendapat perlindungan dari kata-kata itu. Dan tentu ini berbahaya karena semakin membuka peluang munculnya riya’.
Oleh karena itu saudaraku, hendaklah seorang beriman itu hati-hati terhadap jebakan syaitan yang memang dibuat indah di mata manusia. Jangan sampai karena kita ingin terhindar dari riya’ kita mengatakan ‘bukannya saya riya’. Jangan sampai karena kita tak ingin berbuat sombong kemudian kita mengatakan ‘bukannya saya sombong’ dan berbagai jenis kata basa basi lainnya yang sejatinya malah menegaskan bahwa seseorang itu hendak melakukan riya’ atau kesombongan.
Meskipun demikian, hal ini bukan berarti kita menuduh saudara kita yang mengatakan ‘bukannya saya riya’ dia pasti riya’. Namun ini hanyalah sebagai renungan sekaligus pengingat bagi diri kita bahwa sangat mungkin hati kita tergelincir pada perkara-perkara halus yang mengantar kepada riya’. Terkadang kita mengucapkan ‘bukannya saya riya’, tapi ternyata itu hanyalah sebagai muqoddimah untuk diri kita melakukan riya’. Terkadang kita mengatakan ‘bukannya saya sombong’ ternyata itu hanyalah sebagai pengantar dari diri kita untuk kemudian menyombongkan diri. Semoga Allah senantiasa melindungi kita dari jebakan penyakit hati dan memberikan kita hati yang bersih. Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat.


9 Feb 2015

Niat Baik Saja Tak Cukup

Syarat utamanya diterimanya amal itu ada dua, yakni :

IKHLAS ( اَلإِخْلاَصُ )
“Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal perbuatan kecuali yang murni dan hanya mengharap ridho Allah”. [HR. Abu Dawud dan Nasa’i]

AL-ITTIBA’ ( اَلْاِتِّبَاعُ )
“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada urusannya dari kami maka amal itu tertolak”. [HR. Muslim]

Jadi kedua syarat ini haruslah ada pada setiap amal ibadah yang kita kerjakan dan tidak boleh terpisahkan antara yang satu dan yang lainnya. Mengenai hal ini berkata Al Fudhoil bin ‘Iyadh :

“Sesungguhnya andaikata suatu amalan itu dilakukan dengan ikhlas namun tidak benar (tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad ), maka amalan itu tidak diterima. Dan andaikata amalan itu dilakukan dengan benar (sesuai dengan tuntunan Nabi ) tapi tidak ikhlas, juga tidak diterima, hingga ia melakukannya dengan ikhlas dan benar. Ikhlas semata karena Allah, dan benar apabila sesuai dengan tuntunan Nabi ”.
 
 

Ditipu Barat

Seringkali kita lebih percaya sama orang di luar Islam daripada referensi Islam sendiri. Contoh:
 
  • Orang barat berkata, khilafah runtuh tahun 1924 M. Padahal nash menyebutkan dengan jelas Khilafah berumur 30 tahun dan berakhir tahun 41 H.
  • Orang barat bilang, puncak keemasan peradaban Islam itu pada zaman Abbasiyah. Padahal dalam hadits jelas disebutkan sebaik2 kurun adalah kurun Rasulullah dan para sahabat, setelah itu kurun tabi'in dan tabi'ut tabi'in. Yaitu kira2 di masa kenabian, khulafaur rasyidin, dan bani Umayyah. Bani Abbasiyah malah berkembang mu'tazilah dan filsafat. Justru ini sebuah kemunduran.
  • Orang-orang yang sering ditonjolkan pada dunia sebagai tokoh Islam adalah para cendekiawan dan ilmuan, bukannya para ulama. Padahal tegaknya Islam sampai sekarang -atas izin Allah- adalah karena para ulamanya, walaupun kita tidak mengesampingkan peran para cendekiawan muslim di bidang masing2. Ketika dikatakan tokoh Islam maka nama yang keluar mestinya Asy Syafi'i, Ibn Taimiyah, Al Ghazali, dan semisalnya, bukan Ibnu Sina, atau Al Farabi yang mana kedua tokoh tersebut telah dikafirkan para ulama.

Aqidah Ahlussunnah Mengakui Peran Akal

Aqidah Ahlussunnah wal Jamaa’ah mengakui peran akal, akan tetapi membatasi wilayah kerjanya sehingga tidak melampaui batas dalam memfungsikannya dan tidak meremehkan perannya dalam kehidupan.

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd dalam kitabnya "Aqiidah Ahlissunnah wal Jamaa’ah" hal. 39 menjelaskan, bahwa Aqidah Islamiyyah senantiasa memuliakan akal yang benar, serta mengagungkannya dan mengangkat kedudukannya. Demikian pula aqidah Islamiyyah tidaklah mengkarantina akal dan tidak pula mengingkari kecemerlangannya.
 
Islam tidak ridha terhadap seorang muslim yang melenyapkan cahaya akalnya, kemudian lebih condong kepada taqlid buta dalam memahami persoalan di seputar keyakinan (i’tiqaad) maupun yang selainnya (Ta’liqaat Samaahatus Syaikh Abdul ‘Aziiz bin Baaz). Bahkan seorang muslim dituntut untuk berpikir dengan manhaj yang benar tentang kebesaran langit maupun bumi, tentang keadaan dirinya, dan tentang ayat-ayat Allah yang ada di sekitar dia. Dengan begitu ia mampu menjangkau segala rahasia dibalik penciptaan alam ini, serta mengenal hakikat kehidupan di dunia ini. Maka melalui perantara berpikir seperti itulah akan mengantarkan seseorang kepada banyak perkara i’tiqaad yang sesuai dengan batas kemampuan akalnya.

Islam sangat mencela orang-orang yang mengkebiri peran akalnya atau sekedar mengikuti rujukan-rujukan yang dikarang oleh nenek moyang mereka tanpa mengoptimalkan potensi akalnya. Serta mengambil pelajaran darinya dan kosong dari bimbingan ilmu.

Kendati demikian, Islam tetap memberikan batasan-batasan wilayah kerja akal sehingga dapat berfungsi lebih proporsional. Pembatasan ini semata-mata untuk melindungi kemampuan akal, sehingga akal tidak terpecah konsentrasinya dan tidak tercerai-berai dalam memahami segala perkara ghaib. Karena sesungguhnya akal tidak mampu menjangkaunya serta menyibak hakikatnya dibalik itu semua. Perkara ghaib yang dimaksud seperti Dzat Allah, eksistensi ruh, surga, neraka dan lainnya. Demikian ini oleh karena akal manusia memiliki wilayah kerjanya sendiri dan bukan bidang garapannya. Maka apabila ia tidak berupaya menempuh bidang yang sebenarnya telah disediakan bagi akal itu, sungguh ia akan sesat dan meraba-raba dalam memahami perkara yang tersembunyi yang sesungguhnya mustahil untuk dicapainya.

Maka wilayah kerja akal itu ialah semua yang bisa disaksikan serta dirasakan keberadaannya. Adapun perkara ghaib yang sesungguhnya tidak dapat dicapai oleh panca indera manusia, maka tidak ada peluang bagi akal untuk menelitinya. Dan hendaknya akal itu jangan keluar dari apa yang telah ditunjukkan oleh dalil-dalil syar’iyyah. 

(Al-Aqiidah Al-Islamiyyah bainal ‘Aql wal ‘Aathifah - DR. Ahmad As-Syariif hal. 4/73-79)


Nasihat Ibnul Qayyim Al Jauzy

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata,

 "Fitnah ada dua macam. Pertama, fitnah syubhat (kekaburan pemahaman), dan yang kedua, fitnah syahwat. Fitnah syubhat kedudukannya lebih berbahaya dari fitnah syahwat. Karena bercokolnya fitnah syubhat disebabkan oleh lemahnya bashirah (ketajaman mata hati) dan sedikitnya ilmu." (Ighaatsatul Lahafaan)

Maka fitnah syubhat dihadapi dengan ilmu dan pemahaman yang benar. Sedangkan fitnah syahwat dilawan dengan sabar.



8 Feb 2015

Menikahi Orang yang Dicintai atau Mencintai Orang yang Dinikahi?

Permasalahan cinta memang terkadang menjadi sebuah hal yang pelik tatkala hinggap pada muda-mudi yang merasa sudah cukup umur, utamanya bagi sekelompok orang yang sudah paham agama, sudah istiqomah ngaji dan enggan ikut arus mainstream dengan budaya pacaran. Maka tak ayal jika topik tentang cinta ini menjadi sebuah topik yang cukup sakral di kalangan mereka, seakan bahan ngobrol dan guyonan terasa hambar jika topik cinta ini tak masuk ke dalam bahasan. Seolah ada pelampiasan yang melegakan ketika perbincangan sudah mengarah ke masalah cinta apalagi sampai masuk ke ranah tentang pernikahan.
Memang kalau bicara cinta afdholnya adalah juga bicara tentang pernikahan. Mengapa? Karena memang begitulah agama Islam ini mengajarkan tentang bagaimana memperlakukan kesucian cinta itu dengan benar. Cinta tanpa pernikahan adalah omong kosong. “Kalau anda cinta ya nikahilah!”, begitulah mungkin yang acapkali kita dengar dari sebagian orang. Mereka memegang teguh prinsip, “Seseorang yang membiarkan pasangannya menunggu terlalu lama, sesungghnya dia itu tidak cinta!”. Dari pernyataan-pernyataan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa orang-orang pada umumnya adalah memegang kaidah “menikahi orang yang dicintai”.
Lantas, bagaimana Islam memandang hal ini? Apakah menikah terlebih dulu harus dilandasi oleh rasa cinta? Bagaimana dengan kalimat kebalikannya, “mencintai orang yang dinikahi” ?
Sungguh beruntung diri kita terlahir sebagai seorang muslim. Islam mengajarkan kepada kita banyak hal, termasuk perkara hati yang di dalamnya tumbuh benih rasa cinta. Menikahi orang yang dicintai atau mencintai orang yang dinikahi, manakah yang lebih afdhal?

Menikahi Orang yang Dicintai

Kalimat ini bermakna bahwa cinta harus tumbuh terlebih dahulu sebelum pernikahan. Allah sebagai Tuhan yang menciptakan manusia telah mengerti hal ini. Firman Allah SWT, 
“. . . Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat . . . "  (Q.S An Nisa’ : 3)
Dari dalil ini kita menyepakati bahwa memang menikahi seseorang yang disukai/dicintai ini adalah sah menurut agama, bahkan sangat dianjurkan. Dan salah satu cara menumbuhkan cinta sebelum pernikahan adalah dengan melihat calon pasangan yang akan dinikahi. Sesungguhnya agama Islam telah mensyariatkan nadhor (melihat calon pasangan) sebelum seorang lelaki menikahi seorang wanita. Berdasarkan hadits dari sahabat Abu Humaid Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apabila kalian melamar seorang wanita, tidak ada dosa baginya untuk me-nadhar-nya, jika tujuan dia melihatnya hanya untuk dipinang. Meskipun wanita itu tidak tahu.”
(HR. Ahmad & At-Thabrani)
Syariat nadhor ini sangat dianjurkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebab dengan melihat calon pasangan akan dapat menimbulkan rasa cinta dalam hati yang nantinya akan melanggengkan pernikahan. Lelaki atau perempuan yang menikahi seseorang yang dicintai, yang dia menyukai raut wajahnya sehingga mampu menyejukkan pandangannya maka hal ini adalah lebih dianjurkan karena akan menjadi salah satu faktor terciptanya keharmonisan pernikahan. Hal ini tentu berbeda dengan seseorang yang menikahi pasangannya mungkin karena dia ada perasaan tidak enak dengan keluarganya, atau karena dia ragu-ragu atau mungkin karena sesuatu hal lain yang membuat dia terpaksa, maka hal ini kurang baik karena dikhawatirkan di tengah jalan pernikahan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Berkata Ibnu Qudamah, “Hendaknya ia memilih wanita yang menyenangkan parasnya agar hatinya lebih tentram serta ia bisa lebih menundukkan pandangannya dan kecintaannya (mawaddah) kepadanya akan semakin sempurna, oleh karena itu disyari’atkan nadhar(melihat calon istri) sebelum dinikahi.”
Lantas bagaimana dengan sebuah hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengatakan bahwa wanita itu dinikahi karena empat hal, maka nikahilah wanita karena agamanya niscaya seseorang itu akan mendapat kebahagiaan?
Baiklah, agar lebih mudah, marilah kita artikan kata cinta dengan sebuah kata kecenderungan. Dan kecenderungan itu bisa disebabkan karena banyak hal, bisa karena parasnya, bisa karena harta atau kedudukannya, bisa juga karena agamanya. Namun di sini beberapa ulama’ lebih menekankan agar menikahi seseorang yang ada kecenderungan terhadapnya. Artinya jika ada seorang laki-laki/perempuan yang hendak menikah dengan calon pasangannya yang baik agamanya namun dia tidak ada kecenderungan terhadap calon pasangannya tersebut maka dia boleh dan berhak untuk menolak atau tidak melanjutkan proses menuju pernikahan karena memang tabiat manusia yang berupa kecintaan/kecenderungan terhadap calon pasangan ini telah mendapatkan tempat dalam syariat agama Allah SWT.

Mencintai Orang yang Dinikahi

Kalimat ini bermakna bahwa seseorang menikah dulu barulah mengusahakan rasa cinta kepada pasangannya. Dalam sebuah hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Cintailah kekasihmu sewajarnya saja karena bisa saja suatu saat nati ia akan menjadi orang yang kamu benci. Bencilah sewajarnya karena bias saja suatu saat nanti ia akan menjadi kekasihmu.” (HR. Al-Tirmidzi).
“Sesungguhnya orang-orang yang saling mencintai, kamar-kamarnya di surga nanti terlihat seperti bintang yang muncul dari timur atau bintang barat yang berpijar. Lalu ada yang bertanya, “siapa mereka itu?, “mereka itu adalah orang-orang yang mencintai karena Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Ahmad)
Dari teks hadits tersebut terlihat dengan jelas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan umatnya untuk berkasih sayang dan saling mencintai terhadap pasangan yang telah dinikahinya. Karena sebagaimana telah kita ketahui bahwa pernikahan merupakan sebuah ibadah yang teramat mulia hingga dikatakan sebagai penggenap separuh agama. Di dalam pernikahan terdapat banyak sekali maslahat untuk kedua pasangan yang saling mencintai karena Allah SWT.
Dalam realita kehidupan terkadang seseorang dipertemukan dengan calon pasangan yang awalnya dia tidak ada perasaan cinta kepadanya. Tak ada kecenderungan, semua perasaan terasa datar. Tak terlalu suka namun juga tak membenci. Dia hanya melihat bahwa calon pasangan yang ditawarkan kepadanya tersebut adalah baik agama dan perangainya, matang usianya, serta mapan kehidupannya. Secara masa depan, nalurinya mengatakan bahwa dia adalah calon pasangan yang baik. Namun itu tadi masalahnya, dia masih tidak cinta.
Akhirnya, opsi untuk lebih mempercayai keimanan dan janji dari Allah SWT lebih ia pilih daripada memperturutkan perasaannya yang mendambakan seseorang yang dicintainya. Dia yakin bahwasanya Allah akan memudahkan setiap langkah hamba-Nya yang senantiasa ikhlas menjalani segala perintah-Nya. Bagi dia yang terpenting adalah kesamaan komitmennya dalam memegang teguh ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Setelahnya ia akan pasrahkan segala kehendak hanya kepada-Nya. Alhasil, tak sedikit orang-orang dengan pillihan ini yang akhirnya mendapatkan sakinah, mawaddah wa rahmah dalam rumah tangganya. Maka benarlah firman Allah SWT,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir“  (Q.S. Ar Ruum : 21)
Dari ayat tersebut telah jelas mengisyaratkan bahwa Allah menciptakan pasangan adalah untuk menentramkan hati setiap hamba-Nya yang bertakwa. Dan dari dua penjabaran ini telah kita dapatkan bahwa agama islam telah memerintahkan untuk mengelola rasa cinta kita dengan benar. Yang terpenting adalah, lakukan semuanya karena Allah. Jika niat anda sudah benar, maka selanjutnya tergolong yang manakah anda? Menikahi orang yang anda cintai atau mencintai orang yang anda nikahi?
Wallahu a’lam bisshowwab.


6 Feb 2015

Download e-book


Berikut ini koleksi kumpulan e-book dari admin, semoga bermanfaat.

1. Materi Tarbiyah
 
2. Amal Jama'i - Syaikh Mustafa Mashur

3. Fiqh Prioritas - Dr. Yusuf Qardhawi 

4. Bagaimana Menyentuh Hati - Abbas As Sisi 

5. Al Wala' - Sa'id Hawwa & Sayyid Qutb

6. Robohnya Dakwah di Tangan Da'i - Fathi Yakan

7. Dakwah Fardhiyah - Syaikh Mustafa Mashur

8. Fiqh Sunnah - Sayyid Sabiq

9. Generasi Muda dan Perubahan - Fathi Yakan

10. Fatwa Kontemporer - Yusuf Qardhawi 

11. Apa Artinya Saya Menganut Islam - Fathi Yakan

12. Tafsir Fii Zilalil Qurab - Sayyid Qutb

13. Beberapa Studi Tentang Islam - Sayyid Qutb

14. Tafsir Ibnu Katsir Juz 30

15. Ringkasan Al Qiyadah Wal Jundiyah - Syaikh Mustafa Mashur

16. Metode Pemikiran Hasan Al Banna "Antara Tetap dan Berubah" - Dr. Jumaah Amin 

17. Majmuatur Rasail Risalah Pergerakan - Hasan Al Banna

18. Fiqh Zakat - Yusuf Qardhawi 

19. Tarbiyah Dzatiyah - Abdullah bin Abdul Aziz Al Aidan

20. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al Banna - Yusuf Qardhawi

21. Jalan Dakwah - Syaikh Mustafa Mashur

22. Ma'alim Fii Thariq - Sayyid Qutb

23. Islam Dakwah yang Syumul - Yusuf Qardhawi

24. Riyadhus Shalihin Buku 1 - Imam Nawawi 

25. Riyadhus Shalihin Buku 2 - Imam Nawawi

26. Untukmu Kader Dakwah - Rahmat Abdullah

27. Bagaimana Kita Menyeru Kepada Islam - Fathi Yakan

28. Rintangan Perjuangan Dalam Kehidupan Pendakwah - Fathi Yakan

29. Hazaad Deen - Sayyid Qutb

30. Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah) - Ibnul Qayyim Al Jauziyah

31. Laa Tahzan (Jangan Bersedih) - Dr. Aidh Al Qarniy

32. Zionisme : Gerakan Menaklukkan Dunia - Z.A Maulani

33. Risalah Pergerakan Pemuda Islam - Musthafa Muhammad Thahan

34. Virus-Virus Ukhuwah - Abu 'Ashim Hisyam

35. Menyingkap Mitos Wahabi - Haneef James Oliver

36. I’lamul Muwaqi’in (Panduan Hukum Islam) - Ibnul Qayyim Al Jauzy

37. Al Itishom (Buku Induk Pembahasan Sunnah dan Bidah) - Imam Asy Syatibi

38. Cara Mudah Memahami Ushulus Tsalatsah - Syaikh Muhammad At Thoyyib Al Anshori

39. Ringkasan Al-Itisham Imam Asy-Syathibi

40. Noktah-Noktah Hitam Senandung Setan - Ibnul Qayyim Al Jauzy

41. Jalan Islam versus Jalan Setan (Iqtida’ Sirath al Mustaqim) - Imam Ibnu Taimiyyah

42. Kaidah ahlussunnah wal jama’ah - Imam Ibnu Taimiyyah

43. Mukhtarat Iqtidha Ash-Shirathal Mustaqim (Bahaya Mengekor Non Muslim) - Ibnu Taimiyyah

44. Risalah Bai'at - Imam Ibnu Taimiyyah

45. Syarah Aqidah Washitiyah - Sa'id bin Ali bin Wahfi Al-Qahthaniy

46. Majalah Kiblat.net - Pemerintah Sekuler Bukan Ulil Amri

47. Majalah Kiblat.net - Eksekusi Mati untuk Para Penghina Nabi

48. Majalah Kiblat.net - Mendadak ISIS

49. Majalah Kiblat.net - ISIS, Baiat, Daulah dan Khilafah 

50. Tarbiyah Jihadiyah - Syaikh Abdullah Azzam

51. Dari Rahim Ikhwanul Muslimin ke Pangkuan Al Qaeda - Syaikh Aiman Azh Zhawahiri

52. Bom Bunug Diri Jihad atau Bukan - Syaikh Abu ‘Umar Muhammad bin ‘Abdillah As Saif

52. Ciri-Ciri Thaifah Manshurah - Syaikh Abu Basheer

53. Fathul Baari Jilid I- Ibnu Hajar Al Asqalani

54. Fathul Baari Jilid II- Ibnu Hajar Al Asqalani

55. Fathul Baari Jilid III- Ibnu Hajar Al Asqalani

56. Fathul Baari Jilid IV- Ibnu Hajar Al Asqalani

57. Fathul Baari Jilid V- Ibnu Hajar Al Asqalani

58. Fathul Baari Jilid VI- Ibnu Hajar Al Asqalani

59. Fathul Baari Jilid VII- Ibnu Hajar Al Asqalani

60. Fathul Baari Jilid VIII- Ibnu Hajar Al Asqalani

61. Bulughul Marom - Ibnu Hajar Al Asqalani

62. Dosa-Dosa Besar - Imam Adz Dzahabi

63. Koreksi Total Masalah Politik dan Pemikiran - Kumpulan Fatwa Ulama Saudi Maktabah Abu Salma

64. Tragedi Terbunuhnya Utsman bin Affan (Pelurusan Sejarah) - Syaikh Al Qadhi Abu Ya'la

65. Tuntunan Lengkap Pernikahan - Imam Ibnul Qayyim Al Jauzy

66. Qadha' dan Qadar -  Imam Ibnul Qayyim Al Jauzy

67. Noktah - Noktah Hitam Senandung Setan - Imam Ibnul Qayyim Al Jauzy

68. Manajemen Qolbu - Imam Ibnul Qayyim Al Jauzy

69. Kaidah Ahlussunnah Wal Jama'ah - Imam Ibnu Taimiyyah

70. Bahaya Mengekor Non Muslim - Imam Ibnu Taimiyyah

71. Minhajus Sunnah - Imam Ibnu Taimiyyah

72. Risalah Bai'at - Imam Ibnu Taimiyyah

73. Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah - Imam Ibnu Taimiyyah

74. Empat Kaidah Memahami Tauhid - Syaikh Shalih Al Fauzan

75. Rahasia Indah Al Fatihah - Syaikh Shalih Al Fauzan

76. Wala' dan Bara' dalam Islam - Syaikh Shalih Al Fauzan

77. Ada Apa setelah Kematian? - Syaikh Ibnu Utsaimin

78. Tashil Al Faraidh (Ilmu Waris) - Syaikh Ibnu Utsaimin

79. Pelajaran mengenai Tarawih, Puasa dan Zakat - Syaikh Ibnu Utsaimin

80. Prinsip Ilmu Ushul Fiqh - Syaikh Ibnu Utsaimin

81. Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi - Syaikh Ibnu Utsaimin

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India