Memahami Definisi Bai’at
Secara Bahasa, kata baiat berasal dari kata Baaya’a-Yubayi’u, Bai’an, Mubaya’an Wa Mubaya’atan, yaitu ikatan janji dalam transaksi jual beli, atau ikatan janji atas ketaatan. Dikatakan Baaya’a fulanun mubaaya’atan yakni ia telah membuat ikatan jual beli bersamanya serta berjabat tangan sebagai tanda sempurnanya dalam ikatan dan keridhaan. Dapat juga berarti Perjanjian dan saling bersepakat, dikatakan baaya’ahu ‘alahi mubaaya’atan yakni saling mengadakan perjanjian. (Lihat: Tartibul Qamus Al-Muhith Li Zawi, Ashihah Lil Jauhari, Tajul ‘Urs Liz Zubaidi, dalam Bab Baya’a)
Adapun secara istilah, para ulama dalam mendefinisikan baiat menghadirkan berbagai macam pengertian yang berbeda, yaitu ketika ditinjau dari orang yang melakukan baiat. Apakah bai’at itu muncul dari Ahlul Halli Wal ‘Aqdi sebagai perwakilan dari umat untuk mengangkat khalifah yang telah memenuhi syarat, atau muncul dari pribadi kaum muslimin yang berbaiat kepada khalifah, imam, pemimpin tertentu atau kepada penguasa seperti raja, presiden atau amir yang memimpin suatu negara, yaitu selama mereka menegakkan syariat Allah dan menerapkan hukum-Nya dan tidak memerintahkan kepada kemaksiatan atau melarang untuk melakukan ketaataan. (Lihat: Ahmad Mahmud Alu Mahmud, Al-bai’ah Fil Islam, hal.20)
Ibnu Khaldun dalam kitabnya Al-Muqaddimah berkata, “Baiat adalah perjanjian terhadap kesetiaan, seolah orang yang berbai’at itu berjanji kepada amirnya untuk menyerahkan kepadanya segala urusan dirinya dan urusan kaum muslimin. tidak menentangnya sedikit pun serta taat dalam segala urusan yang diperintahkan kepadanya, baik suka maupun tidak.” (Al-Muqaddimah, hal. 299)
Dalil Syar’i Terkait Bai’at
Allah ta’ala berfirman: إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ ۚ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ ۖ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ ۚوَمَنْ أَوْفَىٰ بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ ۚفَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ ۚوَذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 111)
Ayat ini turun ketika Baiat ‘Aqabah yang kedua, yaitu bai’at kubro dimana yang ikut di dalamnya mencapai tujuh puluh orang sahabat anshar. Mereka berkumpul bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di ‘Aqabah, kemudian berbai’at kepada beliau untuk senantiasa mendengar dan taat, baik dalam keadaan senang atau malas, dalam keadaan susah maupun mudah, selalu menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah segala bentuk kemungkaran, selalu berkata benar tidak takut celaan orang-orang yang mencela dan siap menolongnya jika beliau datang ke Madinah serta melindunginya sebagaimana mereka melindungi dirinya sendiri, istri dan anak mereka, maka bagi mereka balasan syurga jika mereka menepati janjinya tersebut.
Meskipun ayat ini turun pada peristiwa tersebut namun ia tetap berlaku untuk umum, yaitu kepada setiap mujahidin yang berjuang di jalan Allah dari sejak masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari kiamat kelak. (Al-Qurthubi, Jami’ul Ahkam Al-Qur’an, 8/267)
Dalam ayat lain Allah ta’ala juga menyebutkan:
“Sesungguhnya Allah telah rida terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Al-Fath: 18)
Peristiwa bai’at yang disebutkan dalam ayat di atas adalah Baiat Ar-Ridwan yang terjadi pada tahun 6 Hijriah. Tidak diragukan lagi–sebagaimana yang disebutkan para sejarah Muslim–bahwa baiat tersebut bukanlah baiat dalam rangka mendaulat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pimpinan tertinggi kaum muslimin.
Baiat tersebut merupakan sikap pembelaan para sahabat terhadap Utsman bin Affan yang diisukan telah dibunuh oleh kafir Quraisy. Baiat untuk membela darah Utsman bin Affan sampai titik darah penghabisan. (Lihat: Ar-Rahiq Al-Makhtum hal. 298)
حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِى عُبَيْدٍ عَنْ سَلَمَةَ – رضى الله عنه – قَالَ بَايَعْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – ثُمَّ عَدَلْتُ إِلَى ظِلِّ الشَّجَرَةِ ، فَلَمَّا خَفَّ النَّاسُ قَالَ : يَا ابْنَ الأَكْوَعِ ، أَلاَ تُبَايِعُ .قَالَ قُلْتُ قَدْ بَايَعْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ : وَأَيْضًا. فَبَايَعْتُهُ الثَّانِيَةَ . فَقُلْتُ لَهُ يَا أَبَا مُسْلِمٍ ، عَلَى أَىِّ شَىْءٍ كُنْتُمْ تُبَايِعُونَ يَوْمَئِذٍ قَالَ عَلَى الْمَوْتِ
Dari Yazid bin Abi ‘Ubaid, dari Salamah –radhiyallahu ‘anhu– dia berkata, “Aku berbai’at kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– kemudian aku beranjak ke bawah naungan pohon. Tatkala kerumunan manusia (di sekeliling beliau) telah berkurang, beliau berkata, “Wahai Ibn al-Akwa’, tidakkah kau membai’atku?” Aku berkata, “Aku telah membai’atmu, wahai Rasulullah.” Beliau berkata, “Berbai’atlah lagi!” Maka aku pun membai’at beliau untuk kedua kalinya. Aku (Yazid bin Abi ‘Ubaid) berkata kepadanya (yakni kepada Salamah bin al-Akwa’), “Wahai Abu Muslim, atas perkara apakah kalian berbai’at pada hari itu?” Salamah bin al-Akwa’ menjawab, “Atas kematian.” (HR. Bukhari-Muslim)
Kemudian salah satu praktek bai’at yang ditunjukkan oleh sahabat adalah apa yang dilakukan oleh sahabat Ikrimah bin Abu Jahal bersama empat ratus para sahabat lain dalam perang Yarmuk. Dalam peristiwa tersebut, Ikramah menyerukan baiat kepada sahabat yang disekitarnya untuk siap syahid dalam medan tempur (bai’ah ‘alal maut), bai’at ini dilakukan untuk memporak-porandakan musuh yang jumlahnya jauh berkali lipat. Satu hal yang perlu dicatat, dalam peristiwa tersebut, tidak ada satu pun dari para sahabat yang mengingkari baiat yang dilakukan Ikrimah. Padahal Ibnu Katsir menyebutkan bahwa ketika itu ada seribu sahabat yang ikut dalam perperangan tersebut dan di antara mereka ada seratus sahabat dari ahlu badar. (Lihat: Fathul Bari, 13/63, Bidayah Wan Nihayah, 7/9)
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa baiat adalah ikatan janji yang diikrarkan oleh kaum muslimin kepada pemimpin untuk senantiasa taat dan patuh selama tidak dalam kemaksiatan. Penetapannya telah ada sejak awal adanya Islam itu sendiri.Ia menjadi salah satu mekanisme pengangkatan pemimpin di dalam Islam. Tidak hanya terbatas pada pengangkatan khilafah, praktek baiat juga sering dilakukan kaum muslimin ketika mengangkat orang yang mampu memegang urusan mereka. Wallahu’alam bis shawab! [bersambung]
Macam-Macam Baiat di Masa Rasulullah saw dan Para Sahabat
Dalam hal baiat, berkaitan dengan permasalahan ini, Nabi SAW telah memberi beberapa petunjuk praktis yang langsung beliau contohkan di hadapan para sahabat. Beliau tidak hanya membaiat mereka untuk masuk Islam, tetapi juga sering mengambil baiat dari mereka untuk menepati beberapa perihal lain dalam berislam. Di antara beberapa praktek baiat yang dicontohkan oleh Nabi SAW adalah sebagai berikut:
1. Baiat masuk islam yang mengharuskan seseorang untuk tunduk kepada berbagai hukum islam
Baiat untuk menetapi Islam adalah jenis baiat yang paling utama. Baiat ini merupakan baiat yang paling banyak diikrarkan para sahabat di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di antara bentuk baiat tersebut adalah sebagai berikut:
Allah ta’ala berfirman:
“Wahai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidakakan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka serta tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Al-Mumtahanah: 12)
Dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
بايعت رسول الله صلى الله عليه وسلم على شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله، وإقام الصلاة، وإيتاء الزكاة، والسمع والطاعة، والنصح لكل مسلم
“Aku berbaiat kepada Rasulullah saw untuk bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, senantiasa mendengar dan taat serta menasihati kepada setiap muslim.” (HR. Bukhari-Muslim)
2. Baiat untuk Memberikan Nusrah dan Ma’unah (Pertolongan dan Perlindungan)
Sejarah mencatat bahwa pada tahun ketiga belas kenabian, Rasulullah SAW mengambil baiat dari utusan kaum Anshar di Aqobah. Ketika itu jumlah mereka mencapai tujuh puluh tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan. Baiat ini dinamakan dengan Baiat Aqabah yang kedua.
Disebutkan bahwa “…Mereka mengadakan perjanjian rahasia dengan Nabi saw di Aqabah, dan pada pertengahan hari Tasyriq, ketika Nabi saw datang menjumpai mereka serta membacakan ayat al-qur’an, menyerukan kepada agama Allah dan memotivasi mereka di dalamnya. Kemudian beliau berkata, “Saya ambil baiat dari kalian agar kalian melindungi saya sebagaimana kalian melindungi istri dan anak-anak kalian. Perawi mengatakan, Bara’ bin Ma’rur memegang tangan Nabi saw, kemudian berkata, ‘iya, demi yang telah mengutus anda dengan al-haq, sungguh kami akan melindungi anda sebagaimana kami melindungi anak dan istri kami,’ Kemudian Rasulullah saw pun mengambil baiat dari kami…” (HR. Imam Ahmad)
3. Baiat untuk Berjihad di Jalan Allah dan Tidak Lari dari Medan Perang
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَاْلإِنجِيلِ وَالْقُرْءَانِ وَمَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ مِنَ اللهِ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ وَذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (itu telah menjadi) janji Allah yang benar di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 111)
Allah ta’ala membeli dari orang mukmin jiwa dan harta mereka dengan tawaran surga. Allah ta’ala juga telah menjanjikan di dalam kitab-Nya terhadap siapa saja yang memenuhi tawaran tersebut. Yaitu dengan berperang di jalan Allah, baik mereka yang membunuh atau mereka yang terbunuh.
4. Baiat untuk Senantiasa Mendengar dan Taat
Baiat ini adalah bentuk baiat yang diikrarkan oleh kaum muslimin ketika hendak mengangkat seseorang untuk menjadi pemimpin mereka. Dari Ubadah bin Shamit RA ia berkata:
بَايَعْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ اْلأَمْرَ أَهْلَهُ وَأَنْ نَقُومَ أَوْ نَقُولَ بِالْحَقِّ حَيْثُمَا كُنَّالاَ نَخَافُ فِي اللَّهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ
“Kami berbaiat kepada Rasulullah SAW untuk mendengar dan taat, baik dalam keadaan semangat ataupun lemah (berat), dan untuk tidak menentang perintah pemimpinnya serta untuk menegakkan (kebenaran) atau berkata dengan benar di manapun kami berada, tidak takut dalam membela agama Allah dari celaan orang-orang yang mencelanya.” (HR. Bukhari)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كُنَّا نُبَايِعُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَيُلَقِّنُنَا فِيمَا اسْتَطَعْتَ
Dari Ibnu Umar RA ia berkata, “Kami berbaiat kepada Nabi SAW untuk selalu mendengar dan taat, lalu beliau bersabda menuntun kami, ‘Atas sesuatu yang kalian mampu’.” (HR. Muslim)
5. Baiat dalam Bentuk Ikatan Janji untuk Melakukan Suatu Amal
Ikrimah bin Abu Jahal adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang terkenal pemberani. Ia termasuk di antara sahabat yang masuk Islam belakangan, yaitu setelah pembebasan Mekkah. Meskipun demikian, ketulusan dan keberaniannya untuk memperjuangkan Islam telah ia ikrarkan sejak pertama kali memeluk Islam.
Ikrimah berkata, “Wahai Rasulullah, aku memohon kepadamu untuk mengampuniku atas setiap permusuhanku terhadapmu, setiap jejak langkahku, setiap kesempatan aku bertemu denganmu, dan setiap perkataan yang aku ucapkan di hadapanmu atau tidak di hadapanmu.”
Diriwayatkan bahwa pada masa Umar bin Khattab, yaitu pada tahun 13 H terjadi perang antara kaum muslimin melawan Romawi atau yang dikenal dengan perang Yarmuk. Dalam perang tersebut Umar mengangkat Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai panglima perang. Ikrimah bin Abu Jahal adalah salah satu pasukan yang bergabung dalam barisan kaum muslimin.
Diceritakan bahwa kaum muslimin ketika itu harus menghadapi musuh dengan jumlah yang tidak berimbang. Untuk mendobrak barisan pertahanan musuh, Ikrimah bin Abu Jahal mengambil baiat kaum muslimin yang siap bertempur sampai gugur. Tercatat sejumlah 400 prajurit membaiatnya untuk siap bertempur sampai mati.
Ibnu Katsir menyebutkan dalam peristitwa tersebut tidak ada satu pun dari para sahabat yang mengingkari baiat yang diserukan oleh Ikrimah. Padahal ketika itu ada seribu sahabat yang ikut dalam perperangan tersebut dan di antara mereka ada seratus sahabat dari Ahlu Badar. (Fathul Bari, 13/63, Bidayah Wan Nihayah, 7/9)
Apakah saat ini kaum muslimin disunnahkan atau diwajibkan untuk berbaiat?
Para ahli fiqih dari kalangan madzhab Hanafi berkata, “Seseorang memberikan perjanjian (baiat) baiat kepada syeikh. Di saat yang bersamaan dia memberikan baiat kepada Syeikh yang lain. Dari dua perjanjian itu manakah yang mengikat? Mereka menjawab bahwa tidak ada satu pun yang mengikutnya. Hal itu tidak berdasar.”
Berdasarkan keterangan ini maka setiap baiat yang diterima oleh para syeikh dari para muridnya atau yang diterima para pemimpin dari pengikutnya tidaklah bersifat mengikat. Meski demikian, baiat untuk melakukan amal shalih, maka seseorang boleh mengambilnya dari siapapun. Keduanya tidak lalu terikat secara individu.
Zaman sekarang tahta khilafah telah tiada. Para Fuqoha madzhab Syafi’i telah menulis bahwa dalam keadaan seperti ini hukum khilafah diberikan kepada orang yang paling alim di zamannya. Sementara madzhab Hanafi berprinsip bahwa seseorang tidak dianggap khalifah kecuali setelah seluruh perintahnya dipatuhi, yakni setelah kekuasaan eksekutif dimiliki. Sebelum hal ini terwujud, maka baiat yang diakui hanyalah baiat amal. (Membina Angkatan Mujahid, Said Hawwa, hal. 131– 132)
Ketidak-beradaan kholifah kaum muslimin menjadikan baiat tidaklah wajib dilakukan oleh setiap muslim namun demikian baiat (amal) ini perlu dilakukan oleh seseorang yang ingin beramal islami memperjuangkan islam dan kaum muslimin sebagai peneguhan dan bentuk keseriusan.
Dalam keadaan sekarang ini hendaklah seseorang memahami secara baik kepada siapa dia berbaiat, artinya hendaklah baiat tersebut dilakukan atas dasar ilmu dan pemahaman tidak atas dasar emosional atau hawa nafsu.
Hendaknya ia mempelajari terlebih dahulu secara baik tentang jamaah yang dipimpin oleh orang yang akan dibaiatnya: bagaimana aqidahnya? Adakah hal-hal penyimpangan di dalamnya? Bagaimana prinsip-prinsip da’wahnya? Apa tujuan da’wahnya? dan lain-lain. Sehingga tidak memunculkan penyesalan di akhir dikarenakan kekurang-jelian dalam melihat dan mempelajari jamaah yang akan diikutinya.
Ketika seseorang memberikan baiatnya kepada seorang pemimpin dalam suatu jamaah maka ia diharuskan mentaati dalam amal-amal kebaikan dan ketaatan kepada Allah. Namun ketaatan tersebut bukanlah ketaatan yang tanpa ilmu (taqlid) karena ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya haruslah di atas dari ketaatan kepada yang lainnya. Karena baiat ini adalah baiat amal maka tidak ada keterikatan antara seorang pengikut dengan pemimpinnya, sebagaimana penjelasan di atas.
Kesimpulan
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa praktek baiat yang pernah ada pada masa Nabi saw dan para sahabat tidak hanya dilakukan dalam urusan pengangkatan imam atau khalifah. Namun selain berbaiat untuk mengangkat khalifah, para sahabat juga sering mengikat baiat mereka kepada seseorang yang dipercayai bisa memimpin perjuangan mereka untuk mencapai tujuan tertentu.
Baiat dalam rangka melakukan ketaatan kepada Allah merupakan hal yang sudah biasa dipraktekkan oleh para sahabat nabi saw, para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat pada masa salafush shalih. Bukan hanya di depan para penguasa, namun ikatan tersebut kadang mereka diberikan kepada seseorang yang diyakini dapat menegakkan kebenaran dan mampu menghapus setiap kemungkaran.
Tentunya konsekuensi baiat dalam hal ini berbeda dengan konsekuensi yang ada pada baiat Kubra, yaitu baiat kepada amiiul mukminin atau khalifah kaum muslimin. Namun ia hanya ibarat sebuah janji setia yang lazim dilakukan setiap orang, bukan sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap muslim, seperti layaknya baiat Kubra yang hanya diperuntukkan kepada khalifah atau penguasa tertinggi umat Islam.
Pada akhirnya kita pun berkesimpulan bahwa perihal baiat tidak selalunya pada urusan pengangkatan imam atau khalifah kaum muslimin. Baiat hanyalah salah satu instrumen umat Islam untuk mengikat janji setia terhadap kepemimpinan seseorang. Baik dalam skala global maupun dalam lingkup yang lebih kecil. Dan pastinya, konsekuensi hukum yang dilahirkan dari masing-masing baiat tersebut tidak sama. Akan tetapi berbeda-beda sesuai akad dari baiat yang diucapkan.
*disadur dari berbagai sumber : eramuslim, kiblat.net, dll