21 Jan 2015

Ikhwah... Jangan Bela Penghina Nabimu !

Langsung tanpa berpanjang lebar, tulisan ini dibuat karena penulis kurang sependapat terhadap fenomena banyaknya kaum muslimin yang ikut-ikutan latah mengutuk serangan kepada majalah Charlie Hebdo penghina Nabi. Banyak tulisan bertebaran mulai dari akademisi bahkan sampai ada yang berlindung di balik fatwa Syaikh Fauzan. Memang setiap personal diberi hak untuk mengemukakan pendapatnya masing-masing terkait kasus ini sesuai dengan kapasitas dan tingkat kepahaman dirinya terhadap agamanya. Salah satu argumen yang populer adalah tulisan Elvandi yang kemudian diiyakan oleh kebanyakan saudara-saudara ikhwah tarbiyah. Tulisannya bisa dilihat di link berikut :


Dan juga ada pendapat dari syaikh Fauzan dan tentunya juga menjadi sandaran banyak ikhwah salafy di nusantara. Fatwa beliau dapa disimak sebagaimana berikut :


Maka dengan melihat semua tulisan tersebut, penulis merasa ada beberapa hal yang harus diluruskan. Berikut dilampirkan dari sebuah tulisan beberapa asatidz yang penulis ikuti diskusinya secara mendalam.

Tulisan H. Omar Said
Coretan ini saya buat karena saya melihat banyaknya mereka yang menyandarkan diri kepada fatwa tersebut dan menyalahkan ketika sebagian orang berpegang pada fatwa ulama salaf tentang hukum pencacian terhadap Nabi Muhammad shallallahu'alaihi wa sallam, mereka beralasan bahwa mengikuti fatwa salaf tersebut justu menciptakan mafsadat yang besar bagi kaum muslimin saat ini karena mereka menganggap kaum muslimin sedang dalam keadaan lemah, alasan lainnya mereka menunjukkan link2 internet dimana dikatakan disitu bahwa kaum muslimin mendapatkan tekanan pasca kejadian eksekusi pada gerombolan Charlie Hebdo, dan ini kata mereka salah satu bentuk mafsadat yang didapat. Tapi apakah mereka juga menyebutkan bahwa ghiroh kaum muslimin dan izzahnya semakin terangkat? terbukti dengan banyaknya dukungan pada muslimin perancis bahwa mereka tidak sendiri dalam hal ini. "Nahnu Ma'akum" ini yg juga bisa kita lihat dalam berita-berita di internet jadi mana balance penilaian jika hanya berkutat pada mafsadat dan meninggalkan maslahat?
Disisi lain justru mereka mencoba mengutak atik validitas ijma' yang sebenarnya sudah sangat jelas bahwa hukuman bagi pencaci adalah hukuman mati dengan menyeret khilaf tentang hukuman bagi dzimmiy yang memang ada khilaf didalamnya, padahal jika mereka mau mikir sejenak tentunya adanya khilaf hukuman bagi dzimmy ini tidaklah serta merta menghilangkan validitas dari ijmak karena kemutlakan hukuman itulah yang dibicarakan dalam ijmak tersebut, maka sangat aneh jika satu kasus yang nyempal begini dijadikan alat buat merontokkan ijma' yang telah ada dari zaman sahabat tersebut, dan yang lebih aneh fatwa Syaikh Al-Fauzan tersebut tidaklah berdalil sama sekali, dalam artian dalil qoth'y yang mendukung fatwa tersebut, dalil yang dikemukakakan hanyalah kaidah-kaidah maslahat mafsadat bagi muslimin yang sifatnya juga sangat umum dan bisa dipakai bagi semua kasus, sedangkan dalil tentang hukuman atas pencaci Nabi justru sangat lengkap, qoth'iy dan langsung bisa difahami oleh orang yg membacanya. Lantas apakah kaidah umum begini bisa dipakai guna merontokkan hal yang sudah qoth'iy dalam tsubutnya? bisakah hal umum dijadikan dalil kuat guna menghancurkan keadaan khusus yang justru berdalil kuat atas kekhususannya tersebut? Hukuman pada pencela Nabi ini sebenarnya juga tergantung pada kebijakan Nabi, ini jika kita sejenak melihat pada dalil-dalil yang berhubungan dengan masalah ini, artinya terkadang Nabi memaafkannya sebagaimana kasus Ibnu Abi Sarah yang mendapatkan jaminan Ustman radhiallahu'anhu, meskipun Nabi terlihat jelas agak menunda permaafan beliau agar mereka yang telah bernadzar untuk menghukum Ibnu Abi Sarah dapat menunaikan nadzarnya. Tapi hal itu tidak terjadi dan ditanyakan pada beliau maka beliau menjawab "Apakah tidak ada diantara kalian yang ingin menunaikan apa yang ia nadzarkan sebelumnya" tapi terkadang pula beliau tidak memaafkannya sebagaimana kasus Ibnu Asyraf al Yahudi dan sinyal yang ditunjukkan oleh beliau saat Fathu Makkah dengan sabda beliau. "Bunuhlah Mereka Meskipun Bergantung Di Kain Ka'bah" kita tahu bahwa Area Ka'bah atau Al-Haram adalah tempat aman dan tidak boleh menumpahkan darah didalamnya, siapapun yang masuk akan menjadi aman, tapi khususiyah hukum pencacian ini justru menjadikan bolehnya membunuh mereka ditempat yang aman ini, sekarang beliau sudah tidak ada, tidak ada pula yang berhak memaafkan pihak yang berani mencaci/melecehkan beliau lantas hukum dikembalikan kemana? pada keumuman dalil dan ijmak yang menetapkan bunuh bagi mereka atau pada perkataan orang belakanganan yang sekedar menimbang dengan timbangan maslahat mafsadat tanpa melampirkan secoret dalilpun yg mendukung fatwa mereka?? Orang yg inshof pasti akan berkata "kembali ke Hukum Asalnya"
Selain meragukan validitas ijmak mereka juga meniupkan syubhat yg sebenarnya sudah terjawab semenjak dahulu kala, diantaranya:
  • Orang kafir sudah menjadi tabiat mereka dalam mencaci Islam dan figur-figurnya sehingga hal ini merupakan lumrah jika dilihat dari keadaan mereka, toh tidak semua kafir lantas digebyah uyah buat dihukum.
  • Pihak yang berhak memutuskan hukum itu adalah Ulil Amri karena mereka yang berhak sedangkan perorangan yang beragama islam dilarang melakukan itu.
  • Penghukuman itu di daarul Islam sedang di daarul kufr seperti Perancis siapa yang bakal melakukan?
Maka kita katakan, bahwa memang tabiat orang kafir itu adalah mencela Islam dan segenap figur dan simbolnya serta ada yang tidak disebutkan yakni menghalalkan darah muslimin serta harta dan kehormatannya, lantas apakah kita akan berkata pula bahwa ketika mereka menjalankan tabiat mereka yg menghalalkan darah dan harta serta kehormatan kaum muslimin tsb..."Sabar.....sabar.....timbang maslahat dan mafsadatnya" atau justru kita akan berkata "Lawan Mereka"...? Atau justru kita akan menyalahkan muslimin yang melakukan perlawanan demi membela darah, harta dan kehormatannya dengan alasan maslahat mafsadat tersebut? Atau justru kita mendukung mereka dengan jiwa, harta atau minimal lisan kita? Jika alasan begini dijalankan maka hari ini kita tidak akan melihat Gaza dan mujahidinnya, kita tidak akan melihat Muslimin di Thailand, Philipina, dan tempat lain yang melawan kedzaliman kafir dengan segala keterbatasannya, dengan segala kelemahannya karena mereka tahu bahwa jumlah yang sedikit tidaklah serta merta menjadi pihak yang tertimpa mafsadat, itu janji Allah pada para pembela kebenaran. Dan satu hal yang perlu kalian tahu bahwa ukuran maslahat mafsadat itu bukan kalian yang menentukannya, ukuran bagi Kucing tidaklah sama dengan ukuran Singa serta kemampuan memikulnyapun tidaklah sama. Kucing akan lari terbirit-birit ketika kalian semprot dengan sedikit air tapi Singa justru akan melahap kalian meskipun kalian siram dg seember air.
Kemudian kalian katakan bahwa yang berhak adalah ulil amri, maka kita katakan bahwa ini tidak sepenuhnya benar karena kembali kepada dalil-dalil yang menguatkannya bahwa hukuman tersebut dijatuhkan terkadang atas putusan dan perintah Nabi dan terkadang tanpa itu semua, seperti kasus orang yang membunuh wanitanya dan setelah itu melaporkan pada Nabi bahwa itu semua dilakukan karena si wanita mencela Nabi. Apakah Nabi menyalahkan? jawabnya tidak!! hanya kalian yang menyalahkan orang semisalnya. Dan jika harus ulil amri maka siapa ulil amri yg kalian maksud? dan inilah kekhususan dalam masalah ini yang kalian terluput dalam memahaminya.
Kalian juga bilang bahwa riwayat-riwayat yang ada menunjukkan bahwa penghukuman tersebut dilakukan di wilayah kaum muslimin dengan pemerintahannya sedangkangkan di luar tersebut siapa yang melakukannya? Kalian tahu hukum membunuh kafir harby? Ulama sudah menjelaskan bahwa hukumnya mubah, karena tidak ada ikatan apapun bagi mereka baik dzimmiyah, perjanjian ataupun isti'man. Maka apa yang kalian permasalahkan dengan ini semua? Seluruh dalil berusaha kalian tabrak dan lemahkan maka kita bertanya. "Siapa kalian Ini?" Demi Allah, Dia akan membuka hakikat kalian, akan Dia ungkap aurat kalian!!! kita yakin itu dan camkan!!
Maka dengan tidak mengurangi hormat kita pada Syaikh dan kepercayaan kita pada kemampuan beliau kita menganggap bahwa mendudukkan masalah fatwa ini justru lebih penting, kapan fatwa tersebut bisa dipakai dan kapan tidak serta ketentuan tentang maslahat dan mafsadat tersebut sebaiknya diserahkan pada pihak yang melakukan, akan sangat aneh kita disini memberikan kesimpulan akan hal yang nisbi, yang berbeda pada tiap orang dan wilayah. Kenisbian maslahat mafsadat ini sudah diakui tidak ada kata seragam dalam timbangannya.
Info yang mungkin berguna, Syaikhul Islam telah menyebutkan dalil dari Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma' dalam mendukung hukuman bagi pencela sedangkan mereka yang berpendapat sebaliknya justru tidak melampirkan satupun dalil yang berhubungan dengan hal ini kecuali kaidah-kaidah umum yang dikhususkan dengan ngawur serta semua syubhat tersebut telah dijelaskan oleh beliau beserta jawabannya sebelum beliau merajihkan hukuman bagi pencela, lebih dari 20 syubhat telah beliau jelaskan kekeliruannya tapi kalian hari ini justru mengulang syubhat tersebut untuk cari pembenaran.


Wallahu musta'aan



Allahumma Sholli Wa Sallim 'Ala Nabiyyina Muhammadin Wa 'Ala 'Alihi Wa Sohbihi Wa Sallama Tasliiman Katsiiroo.
Jika memang masih belum cukup, penulis mendapat tambahan pendapat yang menguatkan tentang keharusan kita memberikan wala' kepada pembela simbol agama. Artikel dari islampos berikut ada baiknya kita simak :

https://www.islampos.com/karikatur-charlie-hebdo-dan-hukum-membunuh-penghina-nabi-157183/

Kemudian ada yang bertanya, "Akibat serangan ke kantor majalah charlie hebdo,umat islam di Prancis mendapat tekanan, teror dan intimidasi"
 
Ikhwah...

Mari kita tinjau kembali,
Dulu dengan niat dan tujuan apa antum tinggal bermukim dinegeri kuffar?

Kalau dengan niat dakwah, maka pendakwah terbaik telah dilempari batu oleh bani tsaqif hingga luka dan berulang kali mengalami percoba'an pembunuhan oleh kafir quraisy dan yahudi.
Namun Beliau tetap bersabar dan tidak mengeluh karena itu ujian bagi para da'i Ilallah.

Kalau dengan niat mencari ilmu yang sangat penting dan ilmu itu tidak ada dinegeri muslim maka resiko demikian itu seharusnya sudah engkau masukkan dalam daftarmu dan engkau harus menguatkan tekad karena syarat eEngkau bisa tinggal disana adalah engkau memiliki ilmu untuk menolak syubhat, kekuatan iman untuk menolak syahwat dan kesitiqamahan untuk mempertahankan agama.

Kalau engkau adalah penduduk asli maka Alqur'an dan Sunnah memerintahmu untuk hijrah.

Kalau engkau dalam urusan bisnis/dagang dan diplomatik maka engkau mendapat jaminan keamanan atau kebal hukum.

Kalau engkau dalam urusan berobat dan intelejen maka hal-hal diatas akan terhindar darimu.

Sekali lagi,Tinjau atas niat dan tujuan apa Anda tinggal di negeri kuffar tersebut.

أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَلِمَ؟ قَالَ: لَا تُرَاءَى نَارَهُمَا

“Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di tengah-tengah kaum musyrikin.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah (yang dimaksud tinggal di tengah-tengah mereka itu)?” Rasulullah Shallallallaahu ‘alaihi Wasallam menjawab: “Janganlah saling terlihat api (yang ada di rumah) keduanya.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Imam tirmidzi berkata "Hadits ini mursal"
.

0 komentar:

Posting Komentar

Pribadi seseorang tercermin dari apa yang diucapkannya.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India