22 Jan 2015

Dalil-Dalil Bolehnya Memanfaatkan Sistem Yang Tidak Islami Untuk Tujuan Mashlahat Atau Meringankan Mudharat


Bagi mereka yang mendalami Maqashid al-Syari’ah (maksud-maksud yang karenanya syari’at diturunkan) sangat paham akan persoalan ini. Bahwa seluruh ajaran syari’ah diturunkan untuk menciptakan mashlahat atau mencegah mudharat. Olehnya, dalam kondisi-kondisi tertentu, boleh memanfaatkan sesuatu yang zahirnya tidak syar’i untuk tujuan mencapai mashlahat atau meringankan mudharat tersebut. Termasuk diantaranya, memanfaatkan sistem politik yang tidak islami untuk untuk maksud-maksud yang telah disebutkan.
Diantara dalil-dalil yang mendukung hal ini adalah sebagai berikut:

Pertama: Firman Allah Ta’ala: “Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan. Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (Qs. Yusuf : 55-56).

Sisi pendalilan di sini sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-Alusi  (w. 1270 H):

“Dalam ayat ini terdapat dalil kebolehan meminta jabatan, jika ternyata orang yang meminta itu pantas dan sanggup menegakkan keadilan dan menerapkan hukum-hukum syariat, kendati ia diminta dari tangan penguasa kafir atau zalim; bahkan bisa saja menjadi wajib atasnya (meminta jabatan tersebut), jika ia yakin bahwa dengan kekuasaan itu dapat menegakkan –misalnya- keadilan. (1)

Nyata sekali, bahwa Nabiullah Yusuf alaihis salam secara langsung terlibat dalam pemerintahan sebuah masyarakat musyrik. Hukum yang berlaku pun tidak di atas kaidah-kaidah Islam. Dan tatkala meminta jabatan, beliau beralasan bahwa ia memiliki kompetensi dan sifat-sifat yang sanggup menunaikan tanggungjawab, yakni dirinya pandai menjaga lagi amanah.

Syaikh Dr. Umar bin Sulaiman al-Asyqar dalam bukunya “Hukmu al-Musyarakah fi al-Wazarah wa al-Majalis al-Niyabiyah”, menyebutkan beberapa poin terkait ayat ini:

1. Nabiullah Yusuf alaihis salam terlibat dalam hukum pemerintahan masyarakat musyrik yang tidak membangun hukumnya di atas kaidah-kaidah Islam.

2. Keterlibatan beliau tersebut berdasarkan permintaannya sendiri tatkala menyaksikan pada dirinya kesanggupan mengemban amanah, sebagaimana perkataan beliau: “"Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”.

3. Nabiullah Yusuf alaihis salam tidak menerapkan dalam kekuasaannya itu hukum Bani Israil (hukum syari’at) kecuali pada persoalan yang berkaitan dengan hukum menahan saudaranya berdasarkan rencana yang telah ia buat.

4. Sesungguhnya sang Raja saat itu memiliki aturan dan undang-undang tertentu, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendaki-Nya. (Qs. Yusuf : 76).

5. Bahwasanya undang-undang Raja tidak tegak atas asas keadilan. Hal ini ditunjukkan, bahwa sebelumnya Yusuf alaihis salam pernah dijebloskan dalam penjara secara zalim. Padahal mereka telah menyaksikan sendiri tanda-tanda kebenaran dan jauhnya diri Yusuf as dari tuduhan bersalah.

6. Masyarakat musyrik ini tetap berada di atas kesyirikan mereka hingga Nabi Yusuf alaihis salam wafat. Dalil akan hal ini adalah firman Allah Ta’ala: “Dan sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, hingga ketika dia meninggal, kamu berkata: "Allah tidak akan mengirim seorang (rasul-pun) sesudahnya. Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu. (Qs. Ghafir : 34).  

Beliau (al-Asyqar) kemudian menambahkan:

“Dari sini terungkap bagi kita kebolehan terlibat dalam hukum pemerintahan yang tidak Islami, berdasarkan kisah Nabiullah Yusuf alihis salam. Tentunya dengan syarat, keterlibatan tersebut dapat mendatangkan maslahat yang besar atau (minimal) mencegah kerusakan yang nyata; kendati orang yang terlibat itu tidak memilki kesanggupan merubah keadaan (hukum tersebut) dengan perubahan signifikan”.(2) 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Demikianlah yang disebutkan tentang Yusuf al-Shiddiq alaihis salam dan pekerjaannya sebagai bendahara kekayaan alam untuk penguasa Mesir dan kaum kafir. Ketahuilah, mendampingi (bekerjasama) dengan kaum fujjar bagi seorang mukmin itu dilakukan pada dua kondisi. Pertama, dalam keadaan dipaksa. Kedua, jika ada mashlahat agama yang rajih ketimbang kerusakan dari kerjasama tersebut. Atau, jika meninggalkan kerjasama itu akan berakibat mafsadat yang rajih dalam agama. Olehnya, dicegah yang terbesar mafsadatnya dengan mengambil yang terendah dari keduanya. (Majmu’ al-Fatawa, 15/325).

Kedua: Firman Allah Ta’ala: Mereka berkata: "Hai Syu'aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami”. (Qs. Huud : 91).

Sisi pendalilan di sini, seperti diungkapkan oleh Syaikh al-Allamah al-Sa’di (w. 1376 H) berkaitan dengan pelajaran yang didapat dari ayat ini:

“Diantaranya: Bahwasanya Allah Ta’ala membela dan menjaga kaum mukminin melalui banyak sebab, terkadang sebagiannya mereka ketahui atau tidak diketahui sedikitpun darinya. Boleh jadi Allah membela melalui sebab kabilah (suku) mereka, kendati masyarakat kampungnya tersebut adalah orang-orang kafir. Hal ini sebagaimana Allah Ta’ala menolong Nabi Syu’aib dari rajam (penyiksaan) kaumnya dengan sebab keluarganya.Bahwasanya hubungan-hubungan tersebut yang dengannya dapat membela Islam dan kaum muslimin, tidak mengapa terlibat di dalamnya. Bahkan bisa saja hal itu menjadi wajib, sebab menciptakan kebaikan dituntut sesuai dengan kesanggupan dan kondisi. Maka dari itu, jika kaum muslimin yang hidup di bawah kekuasaan pemerintahan kafir berupaya dan bekerja untuk menciptakan sebuah lingkungan dimana setiap person dan suku mendapatkan hak-hak agama dan duniawiyah maka itu lebih utama daripada tunduk pada negara yang tidak menghormati hak-hak mereka serta berupaya melenyapkan mereka. Iya, itu jika sekiranya mereka sanggup membentuk sebuah negara bagi kaum muslimin, dan mereka pula yang terlibat dalam pemerintahannya. Akan tetapi, karena tidak adanya kesanggupan untuk tingkat ini (membentuk negara muslim), maka tingkatan yang padanya upaya membela (kaum muslimin) menjaga agama dan dunia, maka ia harus diutamakan, wallahu a’lam”.(3)

Merupakan perkara maklum, terlibat dan ikut serta dalam praktek Demokrasi (parlemen) dapat mewujudkan sebagian dari tujuan dakwah. Dan yang paling nyata, pengawalan terhadap jalannya dakwah tersebut serta pembelaan terhadap pada du’at dari kezaliman dan tekanan penguasa. Sebab, jika para da’i memiliki keluarga atau kelompok yang duduk di Lembaga Legislatif, dapat dipastikan mereka akan membela serta menjauhkannya dari segala tindak kezaliman yang mungkin terjadi.

Ketiga: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda pada hari kematian Raja Najasyi: “Telah wafat hari ini seorang laki-laki yang shalih; bangkit dan shalatlah atas saudara kalian, Ash-hamah”.(4)

Disebutkan dalam sejarah, bahwa al-Najasyi tetap menjadi seorang Raja di atas aturan dan undang-undang kufur kendati beliau telah masuk Islam. Walau demikian, Nabi SAW tetap menganggapnya sebagai seorang laki-laki yang shalih setelah kematiannya dan tidak menyalahkan perbuatannya. Bukti bagi keislaman beliau adalah hadits ini, serta riwayat-riwayat lainnya yang disebutkan oleh Imam al-Bukahri seputar kematian al-Najasyi. Nabi SAW bersedih dan sholat (ghaib) atasnya serta menyifatinya dengan keshalihan. Semua ini menguatkan bahwa ia adalah seorang muslim, padahal beliau adalah raja bagi rakyat yang kafir serta berhukum menurut apa yang berlaku dari undang-undang dan kebiasaan mereka. Ibnu Hajar al-Asqalani menyifatinya, bahwa beliau adalah “rad’an li al-muslimina nafi’an” artinya, penolong dan pemberi manfaat bagi kaum muslimin. (5)

Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar mengumpulkan banyak dalil yang menunjukkan bahwa Raja al-Najasyi ra tidak menghukum rakyatnya dengan syariat Islam; diantaranya:

1. Perkataan beliau dalam suratnya kepada Nabi SAW: “Sungguh, aku tidak memiliki sesuatu-pun melainkan diriku sendiri”.

2. Rakyatnya melakukan pemberontakan untuk melengserkannya dari jabatan kepemimpinan, namun Allah tetap menjaga dan menolongnya dari rongrongan tersebut. Diantara alasan yang kemudian beliau kemukakan di hadapan rakyatnya untuk menenangkan mereka, bahwa ia tidak akan merubah dan tidak pula mengganti apa yang telah berlaku diantara mereka berupa hukum dan undang-undang. Sementara sisi lain, beliau menyakini Islam dalam batinnya dan mengirim utusan yang memberitahu Rasulullah SAW tentang keyakinannya. (6)

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah (w. 728 H) menyatakan:

“Raja Najasyi tidak memiliki kesanggupan berhukum dengan aturan al-Qur’an, karena rakyatnya tidak mengakui dan tidak pula menerimanya. Banyak orang yang memegang jabatan hakim diantara kaum muslimin dan Tartar, bahkan sebagai seorang pemimpin, di dalam dirinya terdapat perkara-perkara terpuji berupa sifat adil dan ia ingin mengaplikasikannya, akan tetapi kondisi tidak memungkinkan sebab ada (kekuatan) yang menghalangi demikian. Dan Allah tidak membebani seorang hamba melainkan sebatas kesanggupannya... Al-Najasyi dan yang semisal dengannya telah berbahagia di surga, kendati mereka tidak menjalankan syariat Islam (dalam kekuasaannya) karena tidak memiliki kesanggupan menegakkannya. Namun mereka tetap berhukum dengan hukum-hukum yang memungkinkan untuk mereka laksanakan (demi maslahat)”. (7)

Keempat: Keputusan Nabi shallallahu alaihi wasallam menerima poin-poin dalam perjanjian Hudaibiyah yang zahirnya tidak syar’i, bahkan merugikan kaum muslimin.

“Siapa yang datang kepada kami (kaum musyrik) dari sahabat Nabi, maka kami tidak akan mengembalikannya. Sebaliknya, siapa yang datang kepadamu dari sahabat-sahabat kami (yang telah masuk Islam), maka engkau wajib mengembalikan kepada kami”. Lalu Nabi pun menyerahkan sebagian sahabatnya yang telah masuk Islam kepada kaum musyrikin…”.

Sungguh, andai keputusan ini bukan merupakan perbuatan Nabi shallallahu alaihi wasallam, kita akan menuduhnya sebagai sebuah bentuk pengkhianatan terhadap kaum muslimin. Dan ternyata memang benar, dibalik keputusan Nabi tersebut terkandung mashlahat yang besar dan agung. Karenanya darah kaum muslimin terjaga. Demikian pula, selama berlakunya perjanjian tersebut kaum muslimin mulai melebarkan dakwahnya, hingga banyak yang masuk Islam. Hingga akhirnya terjadilah penaklukkan kota Mekkah.

Dari peristiwa ini, dapat ditarik sebuah pelajaran, bahwa boleh meninggalkan sebuah mashlahat untuk mendapatkan mashlahat yang lebih besar. Demikian pula, boleh menerima (melakukan) sebuah mafsadat yang sifatnya parsial untuk mencegah mafsadat yang jauh lebih besar darinya.

Kelima: Keinginan Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk memberikan sepertiga dari hasil panen kurma Madinah kepada suku Ghatafan agar mereka keluar dari koalisi dengan kaum Qurays pada perang Ahzab. Namun ditolak oleh sahabat Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah seraya berkata:

“Wahai Rasulullah, jika ini merupakan perintah dari Allah (wahyu) maka kami akan dengar dan taat. Namun jika ia merupakan keputusan yang hendak engkau ambil dari kami, maka kami tidak membutuhkannya. Dulu kami dan mereka adalah orang-orang yang menyekutukan Allah serta menyembah berhala; dan mereka dahulu tidak akan makan buah kurma Madinah kecuali lewat jual beli atau jika dijamu. Setelah Allah memuliakan kami dengan Islam dan mendapat hidayah serta jaya bersama engkau, mengapa kami harus memberikan harta kami kepada mereka? Demi Allah, kami tidak akan memberikan kepada mereka melainkan pedang hingga Allah memutuskan antara kami dan mereka”. (8)

Memberikan sepertiga dari kurma Madinah kepada kaum kafir hukum asalnya tidak boleh bahkan bisa mendatangkan mudharat bagi perekonomian kaum muslimin. Akan tetapi, tatkala ia digunakan sebagai sarana untuk mencegah kerusakan yang lebih besar, maka iapun boleh dilakukan. Makanya, Nabi berhasrat melakukan hal tersebut, kendati kemudian ditolak oleh kedua sahabat yang mulia tersebut.  

Keenam: Nabi SAW pernah memuji bahkan siap menerima ajakan bergabung dalam sebuah koalisi yang dibentuk oleh anggota majelis terhormat dari kalangan pemuka-pemuka kafir Quraisy yang bertujuan membela kaum lemah dan menghidari mereka dari tindak kezaliman. Padahal, aturan koalisi tersebut lahir di bawah aturan dan sistem jahiliyah. Koalisi tersebut dalam sejarah disebut sebagai “hilf al-fudhul”. (9)

 Beliau SAW bersabda: “Sungguh aku telah menyaksikan di rumah Abdullah bin Jud'an suatu kesepakatan perjanjian (kerjasama) yang lebih aku sukai dari pada unta merah. Jika aku diajak setelah datangnya Islam, sungguh aku akan menerimanya”. (10)

Ketujuh: Nabi SAW menerima perlindungan (al-jiwar) dari al-Muth’im bin ‘Adi (11) tatkala kembali ke Mekkah setelah pulang dari Tha’if, padahal ia bukan seorang muslim. Demikian pula Abu Bakar al-Shiddiq ra, beliau berada di Mekkah di bawah jiwar Ibnu Dhugunnah, (12) Utsman bin Mazh’um juga berlindung di bawah jiwar al-Walid bin al-Mughirah (13) dan lain sebagainya. Padahal, sistem al-jiwar itu merupakan produk sistem jahiliyah yang dipraktekkan oleh kaum musyrikin Mekkah.

Dalam sirah disebutkan, bagaimana upaya dan kerja keras Nabi SAW meminta bantuan perlindungan kepada sebagian pemuka Quraisy agar beliau bebas menyampaikan risalah Allah serta menghalanginya dari gangguan kaum kafir Quraisy.

Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya ia pernah bertanya pada Nabi SAW:

“Apakah pernah terjadai padamu, hari dimana ia lebih berat daripada perang Uhud?” Beliau menjawab: “Aku telah mendapatkan (beragam gangguan) dari kaummu, dan yang paling berat (menyakitkan hati) adalah pada hari ‘Aqabah, tatkala aku menawarkan diriku (untuk dilindungi) kepada Ibnu Abdi Yalail bin Kilal, akan tetapi ia tidak memenuhi apa yang aku harapkan”.(14)

Dari sini terlihat, jika Nabi SAW menawarkan dirinya kepada orang kafir untuk dilindungi agar supaya dapat menyampaikan risalah Allah Ta’ala, dan ia merupakan perkara yang boleh, maka lebih utama lagi (min baab al-aula) dalam hal kebolehan untuk berusaha mendapatkan izin agar bebas berdakwah serta membentuk sebuah jamaah, partai, dan selainnya untuk tujuan amar ma’ruf nahi mungkar serta penyebaran ajaran agama, kendati berada dalam sistem yang tidak islami.

Jika dikatakan, apa yang terjadi pada beliau SAW sifatnya kasuistik dan sedikit, maka dapat disanggah bahwa selama berada di Mekkah, Nabi SAW senantiasa mencari bantuan dan menawarkan diri agar mendapat perlindungan dari pemuka-pemuka kafir Quraisy, semisal al-Akhnas bin Syuraiq dan Suhail bin Amru, namun keduanya menolak. Tapi tatkala beliau SAW menawarkan dirinya pada al-Muth’im bin ‘Adi, ia pun menerima dan siap melindungi Rasulullah SAW. Padahal Muth’im bin ‘Adi bukan seorang muslim dan mati dalam keadaan musyrik. Jasa besar al-Muth’im tersebut tetap dikenang oleh Nabi SAW, hingga pernah beliau berkata berkaitan dengan tawanan perang Badar:

“Andai al-Muth’im bin ‘Adi masih hidup lalu beliau berbicara padaku (memintaku) melepaskan mereka, sungguh aku akan tinggalkan mereka untuknya (membebaskan)”. (15)

Olehnya, kapan saja kondisi kaum muslimin lemah maka dibolehkan meminta pertolongan bahkan kepada mereka yang non muslim atau mencari sarana-sarana lainnya, sebagaimana kondisi Rasulullah SAW di Mekkah. Dan kenyataan hari ini menunjukkan, kaum muslimin berada dalam kondisi lemah, maka sudah selayaknya bagi mereka mencari sarana-saran yang dapat menguatkan posisi mereka dalam dakwah ilallah.

Riwayat lain yang menguatkan keterangan ini adalah permohonan Nabi SAW sendiri kepada Raja al-Najasyi untuk menerima dan melindungi kaum muslimin yang hijrah ke negarinya (Habasyah), dan pada saat itu Najasyi belum masuk Islam (kafir) dan sistem yang berlaku di negeri Habasyah adalah sistem kafir.

Semua dalil-dalil ini menunjukkan, bahwa dalam kondisi lemah sangat dianjurkan, bahkan wajib hukumnya berusaha mencari sarana-sarana yang dapat menjaga eksistensi da’wah, keselamatan kaum muslimin, mewujudkan maslahat mereka dan sebagainya. Dan terlibat dalam sistem kendati tidak islami termasuk salah satu sarana untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut. Wallahu a’lam.





Rappung Samuddin

Untuk Kelengkapannya, Silahkan Rujuk buku kami "Fiqih Demokrasi".

___________________________________

Footnote:

[1] Lihat: Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Op. Cit., Vol. XIII, hlm. 5, dengan sedikit perubahan.

2 Lihat: Dr. Umar bin Sulaiman al-Asyqar, Hukmu al-Musyarakah fi al-Wazarah wa al-Majalis al-Niyabiyah, Op. Cit., hlm. 40-41.

3 Al-Allamah Abdur Rahman al-Sa’di, Taisir al-Karim al-Rahman, Op. Cit., hlm. 389.

4 HR. Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Bab: Mautu al-Najasyi, Op. Cit., no. 3877. Muslim, Shahih Muslim, Bab: Man Shalla alaihi Arba’un Syafa’u fiihi, Op. Cit., no. 902.

5 Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Ishobah fi Tamyiz al-Shahabah, Op. Cit., Vol. I, hlm. 205.

6 Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar, Op. Cit., hlm. 74-75.

7 Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, Op. Cit., Vol. XIX, hlm. 218-219.

8 Ibid, Vol. IV, hlm. 180. Al-Thabari, Tarikh al-Thabari, Op. Cit., Vol. II, hlm. 94. Lihat pula Al-Mubarakfuri, al-Rahiq al-Makhtum, (Cet. I, Riyadh: Daar al-Salam dan Damaskus: Daar al-Faiha', thn. 1418 H), hlm. 296.

9 Ibnu Hisyam dalam kitab-nya “Sirah Ibni Hisyam” mengatakan: Kabilah-kabilah suku Quraisy saling mengajak pada pertemuan di rumah Abdullah bin Jad'an, karena kemuliaan serta dituakan di kalangan Quraisy. Pertemuan itu diselenggarakan antara Bani Hasyim, Bani al-Mutthalib, Bani Asad bin Abdil Uzza, Zahrah bin Kilab, dan Tiyam bin Murrah. Mereka bersepakat dan berjanji untuk tidak membiarkan orang-orang terzalimi di kota Mekkah, baik dari kalangan keluarga mereka ataupun selainnya. Mereka akan menolong orang terzalimi hingga selesai urusan kezaliman itu, olehnya orang-orang Quraisy pun menyebutnya sebagai hilf al-fudhul. Lihat: Ibnu Hisyam (Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam), Sirah Ibni Hisyam, Op. Cit., Vol. I, hlm. 133.

10 Ibnu Hisyam, Sirah Ibni Hisyam, Op. Cit., Vol. I, hlm. 133, Lihat pula: Abdullah bin Muhammad bin Abdil Wahhab, Mukhtshar Sirah al-Rasul shallallahu alaihi wasallam (Cet. I, Damaskus; Daar al-Faiha' dan Riyadh; Daar as-Salam, thn. 1417 H/1997 M), hlm. 26.

Peristiwa ini memberi pelajaran bagi kita, bagaimana harus bersikap adil dan menerima kebenaran dari orang lain, dan janganlah permusuhan menyebabkan kita pura-pura tidak mengetahui kebaikan orang lain. Lihat: Zaid bin Abdul Karim al-Zaid, Fikih Sirah, (Cet. I, Jakarta, Darus Sunnah, thn. 2009 M), hlm. 81.

11 Lihat: Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah, Zaad al-Ma’ad, (Cet. XXVII, Beirut, Muassasah al-Risalah dan Kuwait, Maktabah al-Manar al-Islamiyah, thn. 1415 H/1995 M), Vol. I, hlm. 99.

12 Riwayat Bukhari, Shahih al-Bukhari, Bab: Jiwar Abi Bakar fi ‘Ahdi al-Nabi shallallahu alaihi wasallam wa ‘Aqdihi, Op. Cit., no. 2297.

13 Lihat: Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah al-Ashbahani, Hilyah al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’, (Cet. IV, Beirut, Daar al-Kutub al-Arabi, thn. 1405 H), Vol. I, hlm. 103.

14 HR. Bukhari, Shahih al-Bukhari, Bab: Idza Qala Ahadukum Aamin wa al-Malaikatu fi al-Sama’..., Op. Cit., no. 3231. Muslim, Shahih Muslim, Bab: Maa Laqiya al-Nabi shallallahu alaihi wasallam min al-Adza min al-Musyrikin wa al-Munafiqin, Op. Cit., no. 1795.

15 HR. Bukhari, Shahih al-Bukhari, Bab: Barakah al-Ghazi fi Maalihi Hayyan wa Mayyitan, Op. Cit., Vol. IV, no. 3129, hlm. 91, dari Jubair bin al-Muth’im. Al-Thabarani, al-Mu’jam al-Kabir, Op. Cit., Vol. II, no. 1504, hlm. 117. Ahmad, al-Musnad, Op. Cit., Vol. XXVII, no. 16733, hlm. 292.

0 komentar:

Posting Komentar

Pribadi seseorang tercermin dari apa yang diucapkannya.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India