Isu dan jargon-jargon tentang pemyamaan dan penyetaraan gender
belakangan ini mulai populer di masyarakat Indonesia. Pasalnya, para aktivis
pejuang gender di bangsa ini melihat suatu fenomena ketidakadilan yang menimpa
kaun wanita ketika berinteraksi dan bersosialiasi dalam kehidupan bemasyarakat
dan bernegara. Sebut saja perlakuan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang
acapkali dilakukan oleh suami kepada sang istri, pembatasan hak wanita dalam
berkarier karena harus stand by di
rumah untuk mengasuh anak, dan beberapa fenomena pelecehan seksual yang dialami
oleh wanita bahkan yang bahkan tetap terjadi walaupun sedang berada dalam
tempat umum sekalipun.
Lalu dengan berbagai dalih di atas, layakkah para kaum hawa meneriakkan
slogan kesetaraan gender agar keberadaan
dan eksistensinya dalam bermasyarakat lebih diakui? Oke, jika kita menjawab
pertanyaan tersebut tanpa analisa dan tanpa tahu esensi kesetaraan gender tersebut,
maka dengan mudah kita akan menjawab layak. Namun sudahkah kita tahu asal usul
dari gerakan kesetaraan gender ini? Mari kita cermati bersama.
Gerakan menuntut kesetaraan gender ini awalnya dimotori oleh para kaum
feminis Eropa yang dilakukan untuk melawan kediktatoran aturan gereja terhadap
kebebasan dan HAM terhadap kaum wanita. Saat abad pertengahan Eropa, wanita
masih dianggap sebagai makhluk kelas dua, jauh di bawah derajat kaum laki-laki
layaknya pada zaman jahiliyah di jazirah Arab. Dominasi ini semakin memburuk
ketika pengekangan terhadap kaum wanita tersebut didukung oleh gereja yang saat
itu dianggap sebagai institusi masyarakat tertinggi di Eropa. Suara gereja
adalah suara Tuhan. Dari situlah muncul suatu gerakan oposisi dari kaum wanita
untuk melawan aturan gerja dengan kampanye kesetaraan gender.
Faktanya hingga hari ini, kampanye-kampanye kaum feminis tersebut
ternyata telah merambah ke berbagai penjuru dunia tak terkecuali Indonesia. Dan
hal yang menarik adalah, apakah kampanye kesetaraan gender ini relevan jika
didengungkan di negara-negara yang mayoritas muslim seperti Indonesia? Ataukah
infiltrasi budaya tersebut bagian dari konspirasi sebagai sarana pendangkalan
akidah ummat islam?
Kampanye kesetaraan gender di Indonesia telah jauh berkembang, tidak
hanya dalam tataran kampanye lisan maupun tulisan saja, namun telah mencapai pembentukan
Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG). Secara
sekilas RUU KKG yang diusulkan oleh kaum feminis ini memang tidak ada masalah,
seperti cuplikan dari Pasal 1 Rancangan Undang-Undang Kesetaraan Gender yang
rencananya akan di sahkan tahun ini adalah,
“Kesetaraan Gender adalah kondisi dan
posisi yang menggambarkan kemitraan yang selaras, serasi, dan seimbang antara
perempuan dan laki-laki dalam akses, partisipasi, kontrol dalam proses
pembangunan, dan penikmatan manfaat yang sama dan adil di semua bidang
kehidupan”
(Ps. 1 RUU Kesetaraan Gender)
Namun, ketika
kita membaca naskah akademik RUU tersebut terutama pada asas-asas yang digunakan
untuk membuat RUU KKG, pada pasal 11 ayat 1 poin b menyebutkan :
“Negara-negara peserta akan mengambil segala tindakan yang pantas untuk
menghapus diskriminasi terhadap kaum wanita di bidang pekerjaan guna menjamin,
atas dasar persamaan kaum pria dan wanita, hak yang sama, khususnya:
(b) Hak untuk
memperoleh kesempatan-kesempatan kerja yang sama, termasuk penerapan kriteria
seleksi yang samadalam masalah pekerjaan”.
Maka ketika pasal tersebut diterapkan dalam akademi atau sekolah
kemiliteran, kaum wanita akan mendapatkan ujian seleksi yang sama dengan kaum
laki-laki. Ketika ada seleksi fisik, tes push up, sit up, pull up, atau bahkan
mungkin juga tes uji pukul perut, maka kaum wanita juga akan mendapatkan hal
yang sama. Pertanyaannya, siapkah para kaum wanita menghadapinya? Hal ini
pernah dilakukan oelh akademi militer Inggris tahun 1997 dan hasilnya
didapatkan tingkat cedera yang tinggi di kalangan kader wanita. Lalu ketika
sedang melaksanakan profesi sebagai karyawan kantor, bagi para wanita tidak aka
nada cuti hamil. Mau ? Sanggup ?
Sebagian pasal lain dalam RUU KKG juga akan
memberikan dampak yang sangat serius bagi keterjaminan akidah umat islam. Pada
pasal 16 ayat 1 huruf (b) dan (h), menyebutkan:
“Negara-negara peserta akan mengambil tindakan yang
tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap kaum wanita dalam segala hal yang
berkaitan dengan perkawinan dan hubungan-hubungan keluarga dan khususnya akan
menjamin, atas dasar persamaan kaum pria dan kaum wanita :
(h) Hak yang sama bagi kedua pasangan dalam hal pemilikan, perolehan,
pengelolaan, penguasaan, penikmatan dan pembagian harta kekayaan, baik
cuma-cuma ataupun dengan pertimbangan nilai”.
Pasal tersebut jelas sangat berbahaya karena menyangkut pembagian harta
kekayaan/warisan yang telah diatur dalam Al Quran Surat An-Nisaa’ ayat 11 :
“…bahagian seorang anak lelaki sama
dengan bagahian dua orang anak perempuan [272]; dan jika anak itu semuanya
perempuan lebih dari dua [273], maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo
harta…”
[QS: An Nisaa':11]
Jika yang dimaksudkan adalah “kesetaraan” dalam hal-hal yang tertulis
dalam al-Quran menyangkut hubungan perkawinan (sebagaimana kasus waris tadi),
maka, bukan tak mungkin para aktivis gender akan berusaha mempertanyakan ulang
atau setidaknya mengotak-atik ketentuan nash dalam al-Quran.
Kemudian terkait argumentasi kaum pendukung RUU KKG bahwa laki-laki
sering melakukan penindasan kepada perempuan haruslah ditelaah ulang. Bahwa realitas
sosial yang berkembang, yang tertindas tak hanya perempuan tapi juga laki-laki
yang strata sosialnya berada di kelas bawah. Atau dengan kata lainyang
tertindas adalah kelas bawah, baik itu perempuan maupun laki-laki, misalnya di
kalangan petani miskin, nelayan miskin, atau para pedagang kaki lima miskin. Yang
benar adalah kelas atas baik laki-laki atau perempuan melakukan penindasan
terhadap kelas bawah. Di beberapa kasus penganiayaan terhadap pembantu rumah
tangga (PRT), tidak jarang juga dilakukan oleh perempuan kelas atas.
Maka secara umum, faham kesetaraan gender ini adalah suatu yang
berbahaya. Sebab secara filosofi, istilah gender telah berubah makna dari makna
jenis kelamin biologis menjadi makna gender sosial, yang tentu secara kodrati
tidak bisa disamakan. Allah SWT telah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk
saling melengkapi, jadi kalau kedua makhluk itu sudah sama atau disetarakan,
maka tidak akan bisa saling melengkapi.
Dalam islam, peran laki-laki dan perempuan telah
diatur, bahwa laki-laki berkewajiban mencari nafkah sedangkan perempuan
mengasuh dan mendidik anak-anak, meskipun tidak menutup kemungkinan perempuan
juga ikut andil dalam membantu ekonomi keluarga atas izin dan pertimbangan
suami. Dikarenakan konsep dari RUU KKG ini dapat berdampak kepada penafsiran
ulang bahkan perombakan total terhadap hukum-hukum Islam yang menyangkut
hubungan laki-laki dan perempuan dalam tataran domestik maupun public, maka tak
ayal RUU KKGini menuai kecaman dari para ulama dan umat islam yang komitmen
dengan ajaran islam. Sehingga persoalan kesetaraan gender ini harus direspon
secara cerdas dan syar’iah oleh kaum muslimin, utamanya muslim ITS. Wallahu
a’lam. (zan)
0 komentar:
Posting Komentar
Pribadi seseorang tercermin dari apa yang diucapkannya.