10 Feb 2013

Mempertanyakan Relevansi Isu Kesetaraan Gender dalam Islam

Isu dan jargon-jargon tentang pemyamaan dan penyetaraan gender belakangan ini mulai populer di masyarakat Indonesia. Pasalnya, para aktivis pejuang gender di bangsa ini melihat suatu fenomena ketidakadilan yang menimpa kaun wanita ketika berinteraksi dan bersosialiasi dalam kehidupan bemasyarakat dan bernegara. Sebut saja perlakuan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang acapkali dilakukan oleh suami kepada sang istri, pembatasan hak wanita dalam berkarier karena harus stand by di rumah untuk mengasuh anak, dan beberapa fenomena pelecehan seksual yang dialami oleh wanita bahkan yang bahkan tetap terjadi walaupun sedang berada dalam tempat umum sekalipun.
Lalu dengan berbagai dalih di atas, layakkah para kaum hawa meneriakkan slogan kesetaraan gender  agar keberadaan dan eksistensinya dalam bermasyarakat lebih diakui? Oke, jika kita menjawab pertanyaan tersebut tanpa analisa dan tanpa tahu esensi kesetaraan gender tersebut, maka dengan mudah kita akan menjawab layak. Namun sudahkah kita tahu asal usul dari gerakan kesetaraan gender ini? Mari kita cermati bersama.
Gerakan menuntut kesetaraan gender ini awalnya dimotori oleh para kaum feminis Eropa yang dilakukan untuk melawan kediktatoran aturan gereja terhadap kebebasan dan HAM terhadap kaum wanita. Saat abad pertengahan Eropa, wanita masih dianggap sebagai makhluk kelas dua, jauh di bawah derajat kaum laki-laki layaknya pada zaman jahiliyah di jazirah Arab. Dominasi ini semakin memburuk ketika pengekangan terhadap kaum wanita tersebut didukung oleh gereja yang saat itu dianggap sebagai institusi masyarakat tertinggi di Eropa. Suara gereja adalah suara Tuhan. Dari situlah muncul suatu gerakan oposisi dari kaum wanita untuk melawan aturan gerja dengan kampanye kesetaraan gender.
Faktanya hingga hari ini, kampanye-kampanye kaum feminis tersebut ternyata telah merambah ke berbagai penjuru dunia tak terkecuali Indonesia. Dan hal yang menarik adalah, apakah kampanye kesetaraan gender ini relevan jika didengungkan di negara-negara yang mayoritas muslim seperti Indonesia? Ataukah infiltrasi budaya tersebut bagian dari konspirasi sebagai sarana pendangkalan akidah ummat islam?
Kampanye kesetaraan gender di Indonesia telah jauh berkembang, tidak hanya dalam tataran kampanye lisan maupun tulisan saja, namun telah mencapai pembentukan Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG). Secara sekilas RUU KKG yang diusulkan oleh kaum feminis ini memang tidak ada masalah, seperti cuplikan dari Pasal 1 Rancangan Undang-Undang Kesetaraan Gender yang rencananya akan di sahkan tahun ini adalah,
“Kesetaraan Gender adalah kondisi dan posisi yang menggambarkan kemitraan yang selaras, serasi, dan seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam akses, partisipasi, kontrol dalam proses pembangunan, dan penikmatan manfaat yang sama dan adil di semua bidang kehidupan”
(Ps. 1 RUU Kesetaraan Gender)

Namun, ketika kita membaca naskah akademik RUU tersebut terutama pada asas-asas yang digunakan untuk membuat RUU KKG, pada pasal 11 ayat 1 poin b menyebutkan :
“Negara-negara peserta akan mengambil segala tindakan yang pantas untuk menghapus diskriminasi terhadap kaum wanita di bidang pekerjaan guna menjamin, atas dasar persamaan kaum pria dan wanita, hak yang sama, khususnya:
(b) Hak untuk memperoleh kesempatan-kesempatan kerja yang sama, termasuk penerapan kriteria seleksi yang samadalam masalah pekerjaan”.
Maka ketika pasal tersebut diterapkan dalam akademi atau sekolah kemiliteran, kaum wanita akan mendapatkan ujian seleksi yang sama dengan kaum laki-laki. Ketika ada seleksi fisik, tes push up, sit up, pull up, atau bahkan mungkin juga tes uji pukul perut, maka kaum wanita juga akan mendapatkan hal yang sama. Pertanyaannya, siapkah para kaum wanita menghadapinya? Hal ini pernah dilakukan oelh akademi militer Inggris tahun 1997 dan hasilnya didapatkan tingkat cedera yang tinggi di kalangan kader wanita. Lalu ketika sedang melaksanakan profesi sebagai karyawan kantor, bagi para wanita tidak aka nada cuti hamil. Mau ? Sanggup ?
Sebagian pasal lain dalam RUU KKG juga akan memberikan dampak yang sangat serius bagi keterjaminan akidah umat islam. Pada pasal 16 ayat 1 huruf (b) dan (h), menyebutkan:
“Negara-negara peserta akan mengambil tindakan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap kaum wanita dalam segala hal yang berkaitan dengan perkawinan dan hubungan-hubungan keluarga dan khususnya akan menjamin, atas dasar persamaan kaum pria dan kaum wanita :
(h) Hak yang sama bagi kedua pasangan dalam hal pemilikan, perolehan, pengelolaan, penguasaan, penikmatan dan pembagian harta kekayaan, baik cuma-cuma ataupun dengan pertimbangan nilai”.
Pasal tersebut jelas sangat berbahaya karena menyangkut pembagian harta kekayaan/warisan yang telah diatur dalam Al Quran Surat An-Nisaa’ ayat 11 :
“…bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan [272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua [273], maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta…”
[QS: An Nisaa':11]
Jika yang dimaksudkan adalah “kesetaraan” dalam hal-hal yang tertulis dalam al-Quran menyangkut hubungan perkawinan (sebagaimana kasus waris tadi), maka, bukan tak mungkin para aktivis gender akan berusaha mempertanyakan ulang atau setidaknya mengotak-atik ketentuan nash dalam al-Quran.
Kemudian terkait argumentasi kaum pendukung RUU KKG bahwa laki-laki sering melakukan penindasan kepada perempuan haruslah ditelaah ulang. Bahwa realitas sosial yang berkembang, yang tertindas tak hanya perempuan tapi juga laki-laki yang strata sosialnya berada di kelas bawah. Atau dengan kata lainyang tertindas adalah kelas bawah, baik itu perempuan maupun laki-laki, misalnya di kalangan petani miskin, nelayan miskin, atau para pedagang kaki lima miskin. Yang benar adalah kelas atas baik laki-laki atau perempuan melakukan penindasan terhadap kelas bawah. Di beberapa kasus penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga (PRT), tidak jarang juga dilakukan oleh perempuan kelas atas.
Maka secara umum, faham kesetaraan gender ini adalah suatu yang berbahaya. Sebab secara filosofi, istilah gender telah berubah makna dari makna jenis kelamin biologis menjadi makna gender sosial, yang tentu secara kodrati tidak bisa disamakan. Allah SWT telah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling melengkapi, jadi kalau kedua makhluk itu sudah sama atau disetarakan, maka tidak akan bisa saling melengkapi.
Dalam islam, peran laki-laki dan perempuan telah diatur, bahwa laki-laki berkewajiban mencari nafkah sedangkan perempuan mengasuh dan mendidik anak-anak, meskipun tidak menutup kemungkinan perempuan juga ikut andil dalam membantu ekonomi keluarga atas izin dan pertimbangan suami. Dikarenakan konsep dari RUU KKG ini dapat berdampak kepada penafsiran ulang bahkan perombakan total terhadap hukum-hukum Islam yang menyangkut hubungan laki-laki dan perempuan dalam tataran domestik maupun public, maka tak ayal RUU KKGini menuai kecaman dari para ulama dan umat islam yang komitmen dengan ajaran islam. Sehingga persoalan kesetaraan gender ini harus direspon secara cerdas dan syar’iah oleh kaum muslimin, utamanya muslim ITS. Wallahu a’lam. (zan)

0 komentar:

Posting Komentar

Pribadi seseorang tercermin dari apa yang diucapkannya.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India