10 Feb 2013

Kita Adalah Da’i Sebelum Menjadi Apapun

Dakwah. Mungkin sebagian orang ketika mendengar kata dakwah maka yang terbesit dalam pikiran adalah suatu aktivitas ceramah yang dilakukan oleh seorang ustadz, kyai, ulama ataupun seorang aktivis dakwah kampus. Pandangan semacam ini secara tidak langsung telah membuat makna dakwah menjadi sangat sempit dan sakral. Dan yang lebih memprihatinkan lagi, paradigma seperti ini telah membuat seorang ustadz atau aktivis dakwah seakan menerima beban lebih dalam aktivitas dakwah sementara di sisi lain sebagian umat islam berlepas diri bahkan tak sedikit yang mencaci agenda-agenda dakwah. Sungguh ironis.
Tentang hal ini tentu Allah SWT telah memberikan gambaran yang jelas mengenai hakikat dakwah yang sebenarnya.

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung”
(Q.S Ali-Imran: 104)
Ayat di atas telah secara jelas mengatakan bahwa Allah SWT memerintahkan manusia untuk menjadikan diri mereka sebagai penyeru kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf  dan mencegah segala perbuatan munkar. Ditambah lagi bahwa umat islam merupakan umat Rasullullah SAW yang merupakan Rasul akhir zaman, tidak ada nabi lagi setelah beliau. Tugas beliau adalah mendakwahkan (menyampaikan) islam hingga ke penjuru dunia. Maka ketika beliau telah wafat, siapa lagi yang akan melanjutkan perjuangan dakwah beliau kalau bukan kita yang mengaku sebagai umatnya?
Dari dua hal tesebut telah jelas bahwa tugas dakwah hendaknya diemban oleh setiap muslim. Sabda Rasullullah SAW, “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran maka ubahlah ia dengan tangannya (kuasa yang ada pada seseorang) jika dia tidak mampu maka ubahlah ia dengan lidahmu, jika dia tidak mampu maka gunakanlah hatinya (dalam membenci dan tidak meredai berlakunya kemungkaran itu) dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman” (HR Bukhari dan Muslim)
Secara ekspisit hadist di atas telah mengajarkan kepada kita tentang cara mencegah suatu kemungkaran. Namun hal mendasar yang harus ditekankan adalah perintah untuk mencegah kemungkaran yang dikaitkan dengan konsekuensi iman dari seseorang. Kemampuan seseorang dalam mencegah kemungkaran -yang menjadi salah satu hal pokok dalam dakwah- dijadikan tolak ukur tingkatan keimanan seseorang.
Seiring dengan perkembangan zaman yang penuh dengan hiruk pikuknya dunia, ummat islam tergelincir pada sebuah paradigma berpikir yang sempit. Dengan alih-alih belum memiliki cukup ilmu dan pengetahuan agama mereka secara halus mengesampingkan aktivitas dakwah yang Allah dan Rasul-Nya telah perintahkan. Tak jarang kaum muslimin yang berkata, “Saya akan perbaiki diri saya sendiri dulu, baru nanti dakwah kepada orang lain”. Jika pada era Rasullullah SAW setiap sahabat memiliki pola pikir seperti itu, niscaya islam tak akan sampai menguasai hingga 2/3 wilayah dunia.
Hal yang lebih ironis adalah terjadinya fenomena sinisme antara muslim yang satu dengan muslim yang lain. Aktivitas dakwah diolok-olok, dicekal, dan ulama-ulama yang berdasarkan ilmu telah berfatwa dituduh membatasi kehidupan umat. Muslim, tapi tidak mau dakwah, dan parahnya malah mengolok-olok aktivitas dakwah dengan berbagai tuduhan. Semoga Allah senantiasa meridhoi kita dan semoga kita diakui oleh Rasullullah SAW sebagai umatnya. Aamiin.
“Nahnu Du’at Qabla Kulli Syai’in” (Kita adalah penyeru sebelum menjadi apapun). Wallahu a’lam. (zan)

0 komentar:

Posting Komentar

Pribadi seseorang tercermin dari apa yang diucapkannya.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India