Dakwah. Mungkin sebagian orang ketika mendengar kata dakwah
maka yang terbesit dalam pikiran adalah suatu aktivitas ceramah yang dilakukan
oleh seorang ustadz, kyai, ulama ataupun seorang aktivis dakwah kampus. Pandangan
semacam ini secara tidak langsung telah membuat makna dakwah menjadi sangat
sempit dan sakral. Dan yang lebih memprihatinkan lagi, paradigma seperti ini
telah membuat seorang ustadz atau aktivis dakwah seakan menerima beban lebih
dalam aktivitas dakwah sementara di sisi lain sebagian umat islam berlepas diri
bahkan tak sedikit yang mencaci agenda-agenda dakwah. Sungguh ironis.
Tentang hal ini tentu Allah SWT
telah memberikan gambaran yang jelas mengenai hakikat dakwah yang sebenarnya.
“Dan hendaklah ada di
antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang
makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung”
(Q.S Ali-Imran: 104)
Ayat di atas telah secara jelas
mengatakan bahwa Allah SWT memerintahkan manusia untuk menjadikan diri mereka
sebagai penyeru kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah segala perbuatan munkar.
Ditambah lagi bahwa umat islam merupakan umat Rasullullah SAW yang merupakan
Rasul akhir zaman, tidak ada nabi lagi setelah beliau. Tugas beliau adalah
mendakwahkan (menyampaikan) islam hingga ke penjuru dunia. Maka ketika beliau
telah wafat, siapa lagi yang akan melanjutkan perjuangan dakwah beliau kalau
bukan kita yang mengaku sebagai umatnya?
Dari dua hal tesebut telah jelas
bahwa tugas dakwah hendaknya diemban oleh setiap muslim. Sabda Rasullullah SAW,
“Barang siapa di antara kamu yang melihat
kemungkaran maka ubahlah ia dengan tangannya (kuasa yang ada pada seseorang)
jika dia tidak mampu maka ubahlah ia dengan lidahmu, jika dia tidak mampu maka
gunakanlah hatinya (dalam membenci dan tidak meredai berlakunya kemungkaran
itu) dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman” (HR Bukhari dan
Muslim)
Secara ekspisit hadist di atas
telah mengajarkan kepada kita tentang cara mencegah suatu kemungkaran. Namun
hal mendasar yang harus ditekankan adalah perintah untuk mencegah kemungkaran
yang dikaitkan dengan konsekuensi iman dari seseorang. Kemampuan seseorang
dalam mencegah kemungkaran -yang menjadi salah satu hal pokok dalam dakwah-
dijadikan tolak ukur tingkatan keimanan seseorang.
Seiring dengan perkembangan zaman
yang penuh dengan hiruk pikuknya dunia, ummat islam tergelincir pada sebuah
paradigma berpikir yang sempit. Dengan alih-alih belum memiliki cukup ilmu dan
pengetahuan agama mereka secara halus mengesampingkan aktivitas dakwah yang
Allah dan Rasul-Nya telah perintahkan. Tak jarang kaum muslimin yang berkata,
“Saya akan perbaiki diri saya sendiri dulu, baru nanti dakwah kepada orang
lain”. Jika pada era Rasullullah SAW setiap sahabat memiliki pola pikir seperti
itu, niscaya islam tak akan sampai menguasai hingga 2/3 wilayah dunia.
Hal yang lebih ironis adalah
terjadinya fenomena sinisme antara muslim yang satu dengan muslim yang lain.
Aktivitas dakwah diolok-olok, dicekal, dan ulama-ulama yang berdasarkan ilmu
telah berfatwa dituduh membatasi kehidupan umat. Muslim, tapi tidak mau dakwah,
dan parahnya malah mengolok-olok aktivitas dakwah dengan berbagai tuduhan.
Semoga Allah senantiasa meridhoi kita dan semoga kita diakui oleh Rasullullah
SAW sebagai umatnya. Aamiin.
“Nahnu Du’at Qabla Kulli Syai’in” (Kita adalah penyeru sebelum
menjadi apapun). Wallahu a’lam. (zan)
0 komentar:
Posting Komentar
Pribadi seseorang tercermin dari apa yang diucapkannya.