7 Apr 2014

Polemik Fatwa Demokrasi, Ikut Yang Mana?

Demokrasi, seakan adalah sebuah penyakit yang telah berhasil menjangkiti umat islam dan membawa mereka ke dalam perpecahan. Memang tak bisa dipungkiri bahwa perdebatan tentang demokrasi sudah terjadi di tataran para ulama yang akhirnya melahirkan berbagai macam fatwa dengan segala kontroversinya.

Ulama Islam pro demokrasi sering melontarkan ucapan bahwa bila aktivis anti demokrasi harus konsekuen ketika mereka menolak demokrasi, maka harus total jangan menikmati hasil demokrasi dalam arti hal-hal yang disediakan oleh negara ini. Hal ini pun disambut oleh aktivis anti demokrasi dengan menolak total segala bentuk yang terkait demokrasi bahkan diiringi dengan tindak berlebihan dengan pengkafiran-pengkafiran kepada semua orang yang bersinggungan dengan unsur negara demokrasi.

Hal-hal yang sering didengungkan seputar kebathilan demokrasi tak lepas dari, proses tahkim (berhukum kepada selain hukum Allah), tasyri’ (membuat hukum dan menyampingkan hukum Allah) dan segala bentuk turunan dari kedua hal diatas yang secara langsung berkonsekuensi haram, kufur ataupun syirik. Bahwa untuk memperoleh kejayaan islam adalah dengan kesungguhan mengikuti hukum Allah dan bukan malah dengan mengikuti sistem jebakan demokrasi yang dibuat oleh Amerika dan Yahudi. Ulama anti demokrasi sering memperingatkan bahwa apa yang terjadi di Mesir dan Aljazair merupakan sebuah pelajaran bahwa perjuangan melalui kotak suara tak akan bisa menyelesaikan masalah, justru menambah masalah.

Sementara pihak yang pro demokrasi memandang bahwa sistem demokrasi ini adalah sistem pemerintahan terakhir (pilihan terakhir) yang paling bisa dimanfaatkan untuk penyelenggaraan Negara yang berhukum kepada hukum Allah ketimbang sistem pemerintahan lain, misal sistem kapitalis, komunis, diktatoris atau liberalis. Akhirnya pihak pro demokrasi mengatakan bahwa demokrasi tidak serta merta begitu saja dianggap sebagai sistem kufur. Alasannya, karena demokrasi itu tidak ada standar yang baku. Sebab dengan sistem ini seorang ulama bisa jadi Presiden atau ketua MPR. Dari sisi hukum bisa terjadi misalnya sebuah Undang-undang dibatalkan oleh sekelompok ulama, karena dianggap merugikan umat Islam. Padahal di Negara demokrasi lain hal ini tidak mungkin terjadi. Di Negara demokrasi dimana umat Islam mayoritas, bisa terjadi suatu Undang-undang berlandaskan hukum-hukum Islam. Jadi sistem ini bisa diarahkan untuk menerapkan hukum Allah, jika umat Islam memiliki SDM yang cukup. Faktanya di Negara demokrasi seperti Indonesia bisa lahir hukum pernikahan Islam, hukum pengharaman miras, judi, perzinaan, pencurian dsb. Jadi kalau orang ragu untuk hidup di tengah sistem demokrasi atau tidak ikut memperjuangkan Islam melalui sistem demokrasi maka ia akan dimanfaatkan oleh mereka yang menggunakan demokrasi untuk menguasai kaum muslimin. Ini bisa menjadi sangat tragis.

Seakan perdebatan semakin seru ketika adu argumen terus terjadi. Ulama anti demokrasi berpendapat bahwa produk demokrasi berupa pelayanan negara terhadap rakyatnya seperti subsidi-subsidi kebutuhan-kebutuhan rakyat dan bentuk pelayanan lain hakikatnya adalah hak rakyat sendiri yang harus ditunaikan oleh negara tanpa melihat sistem yang dianut oleh negara tersebut. Pasalnya negara yang tidak menganut sistem demokrasi pun melakukan hal yang sama, itupun ditambah bahwa subsidi-subsidi itu juga berasal dari uang rakyat yang ditarik oleh pemerintah melalui pajak. Jadi menikmati pelayanan Negara tersebut seperti pengurusan KTP, buku nikah, dan pos-pos pelayanan masyarakat yang lain, menurut para aktivis anti demokrasi hakikatnya adalah mengambil kembali hak rakyat yang diambil oleh negara berupa pajak dan lain-lain. Para aktivis anti demokrasi menganggap memanfaatkan subsidi Negara demokrasi adalah bukan sebagai tindakan berdemokrasi tapi sebagai tindakan memanfaatkan celah demokrasi. (sumber : sahabat mpi)

Sementara itu ulama-ulama dan aktivis demokrasi kurang bisa menerima alasan tersebut karena bagaimanapun, hal itu adalah salah satu ‘manfaat’ yang diperoleh kaum muslimin dari paket sistem negara demokrasi ini. Ulama pro demokrasi menganggap bahwa umat islam saat ini tidak bisa lepas dari faktor realita yang mengharuskan mereka hidup di sebuah Negara demokrasi. Oleh karena kaum muslimin tidak bisa lepas dari kondisi realita tersebut, ulama-ulama pro demokrasi menyerukan untuk melakukan perjuangan politik masuk ke dalam parlemen dan mendirikan partai dakwah untuk melakukan islamisasi dari dua arah, yakni bottom-top dan top-bottom. Partai dakwah yang telah dibentuk diharapkan mampu untuk melakukan islamisasi terhadap undang-undang Negara sehingga hukum Allah dapat ditegakkan. Sementara di sisi lain kader-kader partai islam ini tetap melakukan kerja-kerja dakwah, melakukan pembinaan-pembinaan keluarga dan masyarakat sehingga tatkala undang-undang sudah berprinsip pada hukum Allah, masyarakat sudah menerima dan siap melaksanakan undang-undang Negara yang berafiliasi kepada hukum Allah.

Kesimpulan dari masing-masing pihak adalah, ulama anti demokrasi sama sekali tidak ingin berkompromi dengan demokrasi karena topik ini adalah sudah menyangkut ke ranah aqidah yang dapat menyeret para pelaku demokrasi ke dalam jurang kekufuran. Sementara ulama-ulama pro demokrasi, secara ideologis tetap menganggap bahwa demokrasi adalah sistem kufur yang harus umat islam tolak dengan tegas dalam hati, namun dibarengi dengan sikap realistis bahwa umat islam sekarang berada pada pilihan hidup di sebuah Negara demokrasi yang tak bisa dihindari.

Bagaimanakah harus bersikap

Lantas, bagaimanakah kita harus bersikap? Kepada siapakah kita harus memberi dukungan? Sebelum menjawab pertanyaan ini akan disampaikan bahwa dalam agama islam ada sebuah konsep yang bernama ijtihad, dimana dalam islam ijtihad merupakan sumber hukum ketiga yang dapat digunakan kaum muslimin setelah Al Quran dan Hadist.

“Apabila  seorang  mujtahid (hakim)  akan  memutuskan  perkara, lalu ia melakukan  ijtihad,  kemudian  ijtihadnya  benar,  maka   ia memperoleh   dua   pahala   (pahala   ijtihad   dan   pahala kebenarannya). Jika mujtahid (hakim) akan memutuskan  perkara,  dan  ia berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya  salah, maka ia mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya)."
(Riwayat  Bukhari Muslim).

            Maka dari hadist di atas telah jelas bahwa hasil ijtihad dari ulama-ulama yang shalih yang senantiasa menjaga agamanya, tidak ada alasan bagi kita untuk mencela fatwa-fatwa mereka apalagi sampai menghujatnya. Insha Allah mereka telah berijtihad, dan jika salah pun adalah mendapat satu pahala.

Yang kedua adalah ibroh (hikmah) dari shiroh nabawi tentang kisah sahabat yang memasuki perkampungan bani Quroizhoh saat perang Ahzab. Rasullullah shollalhu ‘alaihi wasallam bersabda :

“Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu ada di antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah jalan, maka berkatalah sebagian mereka:”Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan:”Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak mencela yang manapun.”
(H.R Bukhori Muslim)

Dari hadits ini, jumhur ulama mengambil kesimpulan tidak ada dosa atas mereka yang sudah berijtihad, karena Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencela salah satu dari dua kelompok sahabat tersebut.

      Yang ketiga yang paling berat adalah harus adanya kehati-hatian dalam perkara kafir mengkafirkan. Sifat iman dan takwa sewajarnya tidak membuat seorang individu muslim itu tidak terburu-buru dalam masalah takfir (mengkafirkan) individu Muslim yang lain. Ini karena implikasinya yang besar dan berat terhadap kedua tertuduh dan yang menuduh. Implikasinya terhadap yang menuduh jika tuduhannya tidak benar; tuduhan kafir itu akan terpantul semula kepadanya. Sabda Nabi Muhammad SAW:

“Barang siapa berkata kepada saudaranya, 'Wahai kafir’, maka pengkafiran itu akan kembali kepada seorang daripada mereka; sama ada ungkapan itu benar atau ia akan kembali kepadanya.” (Riwayat Bukhari & Muslim)


            Maka perihal masalah takfir ini adalah bukan bahasan kita sebagai orang amah yang belum banyak mengerti tentang ilmu agama. Hukuman kafir tidak boleh diambil mudah dan dijatuhkan secara terburu-buru karena terbawa emosi, perbedaan pendapat atau pandangan politik. 

Saatnya Menentukan Pilihan

Maka setelah masing-masing pihak memahami konteks ini dengan baik, maka tidak perlu lagi ada perdebatan tema di luar konteks yang biasanya hanya akan menimbulkan perselisihan atau minimal ketidakenakan hati sesama kaum muslimin. Mari kita renungkan dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, kira-kira kepada pihak manakah pilihan kita akan berlabuh?

Memilih anti demokrasi dengan niat dan kesungguhan menjaga izzah agama namun dengan konsekuensi Negara akan dikuasai orang-orang jahat, dikuasai muslim yang fasik bahkan orang-orang kuffar. Dan kondisi seperti itu telah terjadi di negara-negara timur tengah dengan peperangan berdarah dan konflik bersenjata. Tentu saja ini menjadi ‘surga’ bagi kaum muslimin yang mengusung ideologi jihad fisabilillah. Lantas apakah pilihan ini sesuai jika diterapkan di Negara kita Indonesia? Seandainya Indonesia telah dipimpin oleh pemimpin muslim namun sekuler lagi fasik yang memimpin Negara dengan tidak adil, apakah pilihan jihad ini adalah pilihan terbaik?

Atau memilih perjuangan pro demokrasi, dengan menimbang besar kecilnya maslahat yang diterima kaum muslimin, mendirikan partai dakwah, melakukan metode dakwah kepada masyarakat yang lebih moderat dan mudah diterima, membangun kesadaran masyarakat tentang berislam yang sempurna. Tentunya dengan konsekuensi, seberapa besar diri kita siap menerima syubhat-syubhat demokrasi? Siapkah para elit dan kader partai dakwah terkena silaunya gemerlap kekuasaan dan harta dunia yang menggiurkan? Seberapa siap kaum muslimin menghadapi ancaman kudeta militer? 

Pilihan ada di tangan Anda. Selamat berjuang !


Terdera Hingar Bingar Politik
Menunggu Datangnya Ramadhan



Surabaya, 6 Jumadil Tsani 1435 H
7 April 2014



0 komentar:

Posting Komentar

Pribadi seseorang tercermin dari apa yang diucapkannya.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India