17 Mar 2015

Ikhwan dan Kepedulian terhadap Pemberantasan Bid'ah dan Syirik

 
 
Masalah bid'ah dan syirk merupakan penyakit yang telah menggerogoti tubuh umat Islam sejak lama. Bahkan, begitu cepat datangnya tidak lama setelah wafatnya Rasulullah Saw. Oleh karena itu, bangkitlah para ahli ilmu dari kalangan Shigharush Shahabah (sahabat Nabi Saw yang masih kedl ketika Nabi wafat/sahabat junior) setelah masa-masa fitnah untuk membersihkan dua hal itu dan para ahlinya. Penyeleksian hadis pun diperketat karena salah satu pintu gerbang masuknya bid'ah-bid'ah dan khurafat dalam akidah adalah melalui tersebarnya hadis-hadis palsu.

Musibah itu menyebar ke berbagai negeri Islam dan berbagai sisi ajarannya. Paling besar adalah bid'ah dalam akidah yang melahirkan sekte-sekte menyimpang walaupun sebenamya diawali masalah konflik politik-seperti khawarij, harruriyah, syi'ah, rafidhah, mu'tazilah, qadariyah, jabbariyah, murji'ah, mujassimah, musyabbihah, qaramithah, jahmiyah, nushairiyah, baha'iyah, bathiniyah, inkarussunnah, atau sempalan-sempalannya di masa kini seperti ahmadiyah, salamullah, islam jama 'ah, dan masih banyak lagi. Itulah musibah yang paling berbahaya.

Bid'ah pun menyelinap dalam lapangan ibadah mahdhah yang sebenarnya sudah memiliki kaifiyat langsung dari Allah Swt dan Rasul-Nya. Namun, tidak sedikit manusia yang tidak puas dan merasa kurang sreg dan afdhal jika tanpa tambahan-tambahan yang mereka pandang indah (sebenamya, setanlah yang menjadikan mereka memandang indah bid'ah yang mereka lakukan). Bahkan, bid'ah dalam ibadah mahdhah itu lebih banyak jumlahnya, lebih variatif ragamnya, dan lebih aneh (nyentrik) caranya. Semua terjadi karena percampuran ajaran Islam dan tradisi atau sisa-sisa kepercayaan agama lain. Islam kini menjadi abu-abu. Ibadah yang nyunnah justru dikatakan bid'ah, bahkan wajib ditinggalkan dan dimatikan cahayanya. Sebaliknya, bid'ah dikatakan sunah, bahkan wajib disyiarkan dan dilestarikan. Dunia tasawwuf-khususnya yang menyimpang-adalah salah satu jalan yang memungkinkan hal itu terjadi.

Semua terjadi dari masa ke masa. Bid'ah, syirk, dan khurafat memiliki pejuang dan pembela seperti as Sunnah. Mereka pun memiliki kader seperti as Sunnah. Di antaranya ada yang berbaju lama, ada juga yang berbaju baru dengan isi yang sama (neo). Namun, pada setiap masa, Allah azza wa Jalla selalu menghadirkan ke tengah-tengah umat Islam, pendekar-pendekar yang amat gigih memerangi itu semua dan mereka merelakan sebagian atau seluruh hidupnya untuk itu. Mereka pun memiliki penerus pada masing masing masa. Mereka adalah Abdullah bin 'Umar, Abdullah bin Abbas (keduanya sahabat Nabi Saw), Uwais al Qarny (tabi'in terbaik yang diisyaratkan Rasulullah Saw dalam hadis riwayat Imam Muslim), Hasan a! Bashri, Said bin musayyab, Muhammad bin Sirrin, Ibrahim an Nakha'i, Hammad, Abu Zinad, al Auza'i, az Zuhri, 'Urnar bin Abdul 'Aziz, Abu Hanifah (semuanya kalangan tabi'in), Malik bin Anas, Laits bin Sa'ad, Sufyan ats Tsaury, Sufyan bin Uyainah, Fudhail bin 'Iyadh, 'Abdullah bin Mubarak, Syafi'i, Abu Tsaur, al Muzani, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma'in, Abu Zur'ah (semuanya kalangan tabi'ut tabi'in), Ibnu Jarir ath Thabary, Ibnu Hazm, al Ghazaly, an Nawawi, as Suyuthi, Ibnul 'Araby al Maliki, Abul Faraj bin al Jauzy (lbnul Jauzy), Ibnu Qudamah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir, Adz Dzahabi, Ibnu Rajab alHanbali, Abu Ishaq Syathiby, Ibnu Baththah, Ibnu Hajar Asqalany, Asy Syaukani, Muhammad bin Abdul Wahhab, Shiddiq Hasan Khan, Rasyid Ridha, dan masih banyak lagi (semua kalangan muta 'akhirin).

Hari ini, ketika jamaah lkhwan telah mendunia, bid'ah dan kesyirikan masih merajalela, bahkan bertambah banyak dan aneh, Oleh karena itu, diantara doktrin dalam manhaj Ikhwan adalah memerangi keduanya. Namun, semua itu tidak dilakukan secara serampangan. Mereka memiliki manhaj yang dipandang baik dan tepat yang belum tentu dipandang baik dan tepat du'at lainnya. Dengan demikian, Ikhwan memposisikan diri sebagai jamaah yang relatif mudah diterima berbagai lapisan masyarakat yang masih dipenuhi bid'ah dan syirk oleh karena itu, wajar jika ada yang mencurigai da'wah Ikhwan dalam memerangi keduanya. Bahkan, ada segolongan kaum muslimin yang menuduh terlalu jauh dan keterlaluan. Mereka menyebutkan justru tokoh-tokoh Ikhwan sendiri telah jatuh ke dalam lembah kesyirikan dan hal itu terus-menerus di-ta 'limatkan dalam berbagai forum dan media yang mereka miliki. Kata mereka, "Bukti-bukti nyata harakah Ikhwan tidak memperhatikan masalah-masalah akidah adalah banyaknya anggota, bahkan tokoh-tokoh mereka yang jatuh ke lembah kesyirikan dan kesesatan serta tidak mempunyai konsep akidah jelas seperti Hasan al Banna, Sa'id Hawwa, Sayyid Quthb, dan Mushthafa as Siba'i.[14]  'Umar Tilmisany pun mendapat tuduhan yang sama.[15]  Dr. Rabi' bin Hadi-waffaqahullah-berkata tentang Sayyid Quthb, "Menurut kami, diamnya Sayyid Quthb terhadap bid'ah dan kesesatan karena dua hal. Pertama, ia banyak terlibat di sebagian besar bid'ah itu. Kedua, ia tidak peduli dengan masalah itu asalkan dia sendiri tidak terjerumus di dalamnya.[16]  Itulah perkataan yang dibuat-buat yang sebagiannya telah dibantah masyayikh mereka sendiri. Jadi, tidak perlu kiranya menganggap besar dan luar biasa. Apalagi, perkataan berat itu hanya menghabiskan tidak lebih sepertiga halaman kertas yang menggambarkan begitu sederhana perkara yang ada di kepala untuk memvonis kesyirikan manusia. Ada bagusnya jika mereka mengkaji dahulu manhaj Ikhwan dengan ikhlas dan jernih melalui sumbemya langsung tanpa curiga dan memvonis. Yusuf al Qaradhawy mengatakan, "Ikhwan menolak segala bentuk kemusyrikan, khurafat, dan kebatilan yang melekat pada akidah tauhid seperti yang dilakukan mayoritas orang awam di banyak negara muslim serta yang menonjol pada sebagian orang-orang elite, yaitu berupa thawaf di kuburan orang soleh, bernadzar untuk mereka, memohon doa darinya, meminta pertolongan dari mereka serta melakukan kemungkaran-kemungkaran lain seperti itu.[17]

14 Buletin dakwah Ai Furqan edisi lOll Jumadil Ula 1423 H, hlm. 2.
15 As Sunnah edisi 051Th. III/1419-1988, hlm. 25-26.
16 Rabi' bin Hadi al Madkhaly, Kekeliruan Sayyid Quthb, him. 119.
17 Yusuf aI Qaradhawy, 70 tahun Al lkhwan Al Muslimun, him. 281.


Dalam Ushulul Isyrin (Duapuluh Prinsip)-kami berharap istilah itu tidak di-bid'ah-kan karena mereka sendiri menyebut Ushuluts Tsalatsah terhadap sebagian karya al Mujaddid Ibnu Abdul Wahhab-Hasan al Banna berkata, "Jimat, mantera, guna-guna, ramalan, perdukunan, penyingkapan perkara gaib dan semisalnya adalah kemungkaran yang harus diperangi, kecuali mantera (ruqyah) dari ayat Alquran atau ada riwayat dari Rasulullah Saw." (prinsip no. 4). "Setiap bid'ah dalam agama Allah yang tidak ada pijakannya tetapi dianggap baik hawa nafsu manusia berupa penambahan maupun pengurangan adalah kesesatan yang wajib diperangi dan dihancurkan dengan cara yang sebaik-baiknya dan tidak menimbulkan bid'ah yang lebih parah." (prinsip no. 11)

"Perbedaan pendapat dalam masalah bid'ah idhafiyah, bid'ah tarkiyah, dan 'iltizam terhadap ibadah mutlak (yang tidak ada aturannya) adalah perbedaan dalam masalah fiqh; setiap orang punya pendapat sendiri. Namun, tidak masalah jika dicari penelitian untuk mendapatkan hakikatnya dengan dalil-dalil dan bukti-bukti." (prinsip no. 12). "Ziarah kubur-kubur siapa pun-adalah suatu hal yang disyariatkan dengan cara-cara yang diajarkan Rasulullah Saw. Akan tetapi, meminta pertolongan kepada penghuni kubur-siapa pun mereka-berdoa kepadanya, memohon pemenuhan hajat (dari jarak dekat maupun jauh), bemazar untuknya, membangun kubumya, menutupi dengan satir (penutup), memberikan penerangan, mengusapnya untuk mendapatkan berkah, bersumpah dengan selain Allah dan segala sesuatu yang serupa dengannya adalah bid'ah yang wajib diperangi. Janganlah pula mencari ta 'wil ( pembenaran) terhadap berbagai perilaku itu demi menutup fitnah yang lebih parah lagi." (prinsip no. 14).

Sekarang, lihatlah! Bukankah itu ketegasan yang tidak main-main dari al Banna dan jamaahnya terhadap perilaku menyimpang yang ada di tengah masyarakat kita berupa bid'ah, khurafat, dan qubur? Seperti yang tertera, al Banna menetapkan cara bijak untuk memerangi keduanya dengan harapan tidak melahirkan keburukan yang lebih besar. Jadi, anggapan tepatnya tuduhan-bahwa jamaah ini adalah penyeru dan gudangnya bid'ah[18]  patut dipertanyakan keakurasiannya, sekedar fitnah, dusta, atau igauan.[19]

18 AsSunnah, 05/Th. III/1419-1998.
19 Pastinya, jamaah Ikhwan menetapkan sepuluh muwashafat (kriteria sifat) bagi para anggotanya, di antaranya salimuJ aqidah (akidahnya bersih/sehat) dan shahihul ibadah (ibadahnya benar).


Kami menegaskan perlunya bagi siapa pun yang mengkaji masalah ini agar benar-benar memahami bahwa bid'ah yang beredar di masyarakat ada yang disepakati ke-bid'ah-annya dan tidak ada perbedaan pandangan tentangnya. Namun, harus disadari betul pula bahwa ada sejumlah bid'ah yang masih diperselisihkan ke-bid'ah-annya dalam pandangan ulama, yaitu bid'ah dalam pengertian syara' yang bukan lughawi{bahasa). Masing-masing memiliki dalil untuk menguatkan pandangannya. Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim yang peduli dengan masalah-masalah itu untuk lebih berhati-hati dan arif. Jangan asal menghakimi sesuatu yang dianggap bid'ah, padahal sebenarnya bukan bahkan mustahab(disukai) syara' bagi muslim lain. Jangan sampai timbul pertarungan sengit antar muslim dan kita tidak menginginkan terjadinya perpecahan. Tidak ada yang mengingkari bahwa perpecahan adalah bid'ah yang lebih buruk dibanding bid'ah bid'ah yang menjadi polemik itu. Perpecahan pun menunjukkan indikasi cacatnya iman seseorang seperti halnya ukhuwah sebagai indikasi sehatnya iman. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah-semoga Allah Swt ridha' kepadanya-dalam Fatawa al Mishriyah, "Menjaga persatuan itu adalah haq. Oleh karena itu, adakalanya kita perlu mengeraskan basmalah,[20] solat witir, atau perkara lainnya berdasarkan nash demi kemaslahatan yang lebih kuat dan kita boleh pula meninggalkan yang lebih utama demi menjaga persatuan hati seperti ketika Nabi Saw tidak membangun Baitullah pada saat pertama kali menaklukkan Mekkah[21]. Berpaling[22] dari hal yang lebih utama kepada yang jaiz (boleh) demi persatuan atau mengenalkan sunnah adalah lebih baik. Wallahu a 'lam.[23]

20 Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim berpendapat bahwa tidak mengeraskan basmalah ketika membaca surat dalam solat adalah lebih utama. Seingat kami, itulah mazhab tiga imam: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad. Adapun Imam Asy Syafi'i lebih mengutamakan mengeraskan basmalah. Mereka semua memiliki sandaran dari Rasulullah Saw dan para sahabat. Jadi, tidak perlu saling menyalahkan.
21 Rasulullah Saw berkata kepada Aisyah Ra, "Jika bukan karena kaumku masih dekat dengan kejahiiliyahan, niscaya aku bangun Ka'bah di atas fondasi yang dibangun Ibrahim." (HR Imam Bukhari)
22 Contoh yang amat terkenal adalah sikap simpatik Imam Asy Syafi'i. Beliau menetapkan masyru' (disyariatkan)-nya qunut subuh, sementara Imam lainnya tidak. Namun, ketika berkunjung ke wilayah dan "perguruan" mendiang Imam Abu Hanifah, be1iau tidak berqunut subuh demi menghormati wilayah dan "perguruan" Abu Hanifah yang tidak menetapkan qunut. Itu sebagai upaya cerdas menghindari perpecahan. Sebaliknya, bagi yang menetapkan bahwa qunut itu ghairu masyru' (tidak disyariatkan), ketika solat di masjid yang menetapkan qunut dalam subuh lalu ikut ber-qunut, itu lebih baik demi menjaga persatuan. Hal itu adalah upaya meninggalkan yang lebih utama demi menjaga persatuan umat. Imam Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma'ad tidak pemah membid'ahkan qunut subuh. Ia hanya menyatakan bahwa meninggalkannya adalah tuntunan Nabi Saw yang sebenamya dan itu lebih utama. Bagi yang menganggap qunut subuh itu bid'ah, ketahuilah memaksakan orang lain agar tidak ber-qunut hingga memancing keributan dan pertengkaran adalah bid'ah lebih buruk dibanding qunut itu sendiri karena persatuan adalah kewajiban yang ijma' (disepakati), sementara qunut jelas jelas diperselisihkan. Jadi, meninggalkan perse1isihan menuju kesepakatan adalah lebih utama tanpa ada yang mengingkari. 'Umar Ra pemah berkata, "Orang cerdas bukanlah yang mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan, orang cerdas adalah yang mampu mencari yang terbaik di antara dua keburukan."
23 Yusuf al Qaradhawy, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid I, him. 307.


Imam al Qarrafi al Maliki berkata, "Jika sudah diketahui bahwa segala perintah dalam syariat Islam itu bergantung pada maslahat seperti larangan bergantung pada mafsadat, ketahuilah bahwa kemaslahatan itu ada tingkatannya. Jika maslahat itu ada di derajat terendah, ada hukum sunah. Jika di derajat tertinggi, ada hukum wajib. Begitu pula mafsadat: jika berada di derajat terendah, ada hukum makruh dan tingkatannya akan naik sesuai naiknya mafsadat hingga pada derajat makruh tahrim (hampir haram). Pada tingkat tertinggi, ada hukum haram.[24]
Ikhwan mencoba memahami permasalahan itu dengan sebaik-baiknya. Dalam dakwah, ada fiqihnya seperti fiqh solat, fiqh puasa, atau fiqh jihad. Oleh karena itu, menjadi keharusan bagi para penyeru ishlah untuk memperhatikan kaidah amar ma 'ruf nahi munkar dalam bingkai syara' dan teladan salafush shalih. Di antara kaidah yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:[25] Pertama; mencegah atau memberantas kemungkaran, tetapi setelah itu muncul kemungkaran baru yang lebih besar-hukumnya haram.[26] Kedua; mencegah atau memberantas kemungkaran yang sesaat, tetapi justru muncul kemungkaran berkepanjangan-hukumnya haram juga. Ketiga; mencegah atau memberantas kemungkaran, tetapi setelah itu muncul kemungkaran baru yang sama besamya-dipersilakan ber- ijtihad boleh dicegah atau dibiarkan. Keempat, mencegah atau memberantas kemungkaran dengan keyakinan bahwa tidak akan ada kemungkaran kecil atau besar baru yang muncul hukumnya wajib. ltulah kaidah-kaidah dzahabiyah (emas) yang seharusnya selalu kita jadikan pedoman. Apakah hal itu telah dipahami para pengkritik Ikhwan?

24 Yusuf al Qaradhawy, Membumikan Syariat Is1am, him. 66.
25 Imam Ibnul Qayyim membagi kemungkaran menjadi empat macam:
    1. Kemungkaran yang dapat dihilangkan dan diganti dengan yang ma'ru/
    2. Kemungkaran yang dapat dikurangi meski tidak kese\uruhan
    3. Kemungkaran yang tidak dapat diganti kecuali sarna saja
    4. Kemungkaran yang tidak dapat diganti kecuali dengan yang lebih buruk
Untuk no. 1 dan 2, keduanya masyru' untuk dilakukan. No.3 boleh ijtihad, boleh dilakukan atau ditinggalkan. No.4 haram dilakukan pencegahan terhadapnya. (Amin Jum'ah AbdulAziz, Fiqh Da'wah, him. 147-148)
26 Contohnya adalah Ibnu Taimiyah. Ketika beliau bersama murid-muridnya menjumpai beberapa tentara Tar-Tar yang sedang mabuk khamr, beliau mendiarnkannya. Sikapnya itu dipertanyakan murid-muridnya. Ia berkata, "Biarkan mereka. Sesungguhnya Allah Swt melarang kita minum khamr lantaran dapat menghalangi kita untuk mengigat Allah Swt dan berzikir kepada-Nya. Adapun bagi mereka, khamr dapat menghalangi mereka dari menumpahkan darah terhadap manusia." Itulah Ibnu Taimiyah. Ia memaharni jika beliau mencegahnya, justru muncul petaka berupa pembunuhan.


Ada beberapa bid'ah yang telah disepakati ke-bid'ah-annya. Kita harus serius dalam memberantasnya. Di antaranya, menambah atau mengurangi jumlah rakaat dalam solat fardhu (Kecuali di-qasr), solat sunnah ba'da ashar, atau ba'da shubuh (kecuali meng-qadha solat sunnah fajr), thawaf di kuburan, meminta pertolongan kepada penghuni kubur, ber-tabarruk (minta berkah) kepada kubur, atau menyatakan Alquran sebagai makhluk. Begitupun bid'ah dalam perkara akidah seperti menyebut Allah Swt ada di mana-mana atau tidak ada di mana-mana,[27] menjadi sekte sesat seperti khawarij, mu 'tazilah,28 inkarussunnah, ahmadiyah, atau Islam Jama 'ah.
Adapun contoh bid'ah yang diperselisihkan (perkara yang dianggap sekelompok ulama boleh-bahkan sunnah-, tetapi dianggap bid'ah kelompok ulama lain), misalnya peringatan Maulid Nabi Saw, Isra' Mi'raj, membaca doa qunut pada solat subuh, membaca sayyidina sebelum nama Muhammad dalam tasyahud, zikir dengan suara keras, wirid dengan menggunakan subhah (biji tasbih) dan bersalaman setelah solat berakhir. Pada semua perkara itu, kedua pihak disyariatkan untuk tasamuh (toleran) dan salamatush shadr (lapang dada) melihat perbedaan yang syadid (keras) dan berkepanjangan itu.

27 Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang yang berkata, "Aku tidak tahu Allah Swt ada di mana; Allah Swt ada di mana-mana dan tidak ada di mana-mana."
28 Kini, kelompok itu sudah tidak ada secara jamaah/tanzhim lembaga, tetapi mereka memiliki penerus secara individu dan terpisah di setiap negera. Di Indonesia sedang ramai lahirya kelompok yang tampak sejalan-paling tidak metodologinya sama dengan kaum mu'tazilah. Mereka anak-cucu kaum liberal masa lalu yang menuruti hawa nafsu dalam memahami teks-teks agama. Mereka bagai anak panah lepas dari busurnya tanpa mau berhenti menelaah pandangan mereka dengan merujuk kepada ulama-ulama yang mu'tabar. Sekalipun merujuk, mereka menyesuaikan dulu dengan selera hawa nafsunya dengan alasan mereka pun punya otak untuk berpikir. Para penentangnya dianggap taklid kepada ulama, padahal mereka sendiri taklid pada hawa nafsu. Mereka mencoba untuk tidak taklid kepada ulama, tetapi sayangnya mereka taklid pada hawa nafsu rendah yang ada di otak mereka dan pemikir-pemikir Barat yang mereka kagumi serta hampir-hampir mereka shock dibuatnya. Para penentangnya dianggap tidak dewasa menerima perbedaan, padahal mereka sendiri amat keras terhadap pihak yang berbeda dengan mereka. Kesombongan mereka itu tidak sepantasnya membawa-bawa label Islam-padahal, biasanya mereka tidak suka simbol-simbol agama ditonjolkan-karena Islam berlepas diri dari yang mereka pahami dan kehendaki. Sungguh, Jaringan Islam Liberal (JIL - sebenamya lebih tepat disebut Jaringan Insan Linglung). Mereka tidak akan mendapat tempat di hati masyarakat karena mereka adalah orang-orang "tinggi" dan "besar" dalam ilmunya yang tidak dapat dijangkau akal orang awam, bahkan ulama sekalipun. Oleh karena itu, mereka lebih cerdas dari semuanya! Perbedaan dengan orang-orang seperti itu bukanlah ijtihadiyah


Namun, jika ingin meneliti dan mencari hujjah yang lebih kuat di antara dua pendapat tadi, itu amat dianjurkan. Ketika sudah menemukan jawabannya, tidak dibenarkan baginya mengingkari pihak yang berbeda dan memaksa mereka untuk sama seperti yang dikatakan Ibnu Taimiyah dalam al Fatawa dan Hasan al Banna dalam Ushul 'Isyrin. Semua dalam cakupan ijtihad dan kita harus menghargai kaidah La Inkara li Masa'il Ijtihadiyah (tidak boleh ada penafikan dalam perkara ijtihad) dan Al ijtihad la Yanqudhu bil ijtihad {sebuah ijtihad tidak dapat dimentahkan hukumnya dengan ijtihad lain}. Demikianlah seharusnya sikap manusia dalam menghadapi segala perbedaan karena khilafiyah dan ijtihad tidak ada kaitannya dengan ma'ruf atau munkar yang harus diperangi.

0 komentar:

Posting Komentar

Pribadi seseorang tercermin dari apa yang diucapkannya.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India