4 Feb 2015

Menyoal Sikap Politik Saudi dan Kaitannya dengan Kaidah Tawalliy

Sudah menjadi mahfum bersama bahwa kerajaan Saudi saat ini adalah menjadi satu-satunya negara berlandaskan syariat islam yang memainkan peranan penting dalam perpolitikan timur tengah bahkan turut andil dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia lewat kebijakan ekspor minyak.  Meski menjadi satu-satunya negara yang berlandas syariat islam dan menjadi kiblat umat islam sedunia, tak jarang kebijakan Saudi acapkali mendapat kecaman dan sikap antipati dari umat islam sendiri utamanya terkait kedekatan hubungan mereka dengan musuh nomor satu umat islam yakni pemerintah Amerika. Jika ditelusuri memang beberapa sikap politik Saudi ini dirasa tidak pantas dilakukan oleh sebuah negara pelayan dua tanah suci. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Saudi mengizinkan dan mendukung berdirinya pangkalan militer Amerika di timur tengah. Belum lagi kebijakan kontroversial Saudi saat mendanai kudeta militer di Mesir yang diprakarsai oleh kaum sekuler liberal dan koptik. Tentu itu semua membuat banyak kaum muslimin kecewa.

Atas dasar segala kebijakan dan sikap itulah, Saudi hadir menjadi sebuah negara islam yang kontroversial di sebagian kalangan umat islam sendiri. Tak sedikit sumpah serapah yang mengutuk tindakan Saudi yang terkesan berpaling dan melakukan pengkhianatan terhadap kaum muslimin. Bahkan dalam kalangan ekstrim tak sedikit kita jumpai sebagian orang mengatakan bahwa kerajaan Saudi adalah munafiqun, telah murtad bahkan terjerumus dalam perkara kekufuran yang membatalkan keislamannya.

Lantas yang sering menjadi pertanyaan dan bahan diskusi menarik adalah, bagaimana menempatkan sudut pandang kita terhadap Kerajaan Saudi secara tepat dan adil? Mengingat mereka merupakan negara yang dianugerahkan Allah sebagai penjaga dua tanah suci, masih menerapkan syariat islam dalam undang-undang kenegaraannya. Apakah benar semua sikap dan kebijakan politiknya yang pro barat tersebut menyebabkan mereka jatuh pada kekufuran yang dapat menghilangkan keimanan?

Membahas masalah ini memang bagaikan melihat dua sisi mata uang. Satu sisi adalah positif, sementara sisi lain adalah negatif. Dalam masalah ini orang-orang yang ghuluw, mengaitkan segala sikap Saudi tersebut dengan konsep Al Wala’ dan Al Bara’ (loyalitas dan anti-loyalitas). Dimana dalam kaidah al wala’ wal bara’ tersebut seorang muslim diharuskan hanya memberikan loyalitas kepada 3 subjek, yakni kepada Allah dan Rasul-Nya serta kepada kaum mukminin yang hanif. Sementara itu seorang muslim juga harus memutuskan hubungan, membenci akidah yang rusak yang ada pada kaum kuffar. Bab inilah yang dirasa dilanggar oleh Kerajaan Saudi. Para ghullat (orang-orang yang ghuluw) sering berdalil bahwa Saudi telah berwala’ atau bertawalliy kepada Amerika yang merupakan kafir harbi pemburu darah kaum muslimin. Para ghullat berdalil menggunakan Q.S Al Mumtahanah ayat 1,

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus” 
(QS. Al-Mumtahanah : 1).

Lalu, apakah tuduhan dengan dalil tersebut dapat dibenarkan oleh islam?

Untuk memahami hal ini, kita harus meyakini terlebih dahulu bahwa peritah berwala’ kepada orang yang beriman dan memberikan bara’ kepada orang kuffar memang telah ditegaskan oleh Allah dalam sebuah ayat,

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nashrani sebagai pemimpin, sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Dan siapa yang tawalliy kepada mereka di antara kalian maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka, maka sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zhalim” 
(QS. Al Maaidah : 51)


Jadi kesimpulannya, loyalitas kita hanyalah boleh diberikan kepada orang-orang yang beriman, sedangkan kepada orang yang tidak beriman hanyalah diberikan sikap bara’.

Mungkin dalam hati kita akan terbesit kesimpulan, berarti Saudi telah kufur karena semua fakta menunjukkan mereka berwala’ kepada Amerika? Sebentar, tunggu dulu.

Tawalliy yang berarti memberikan kecintaan dan loyalitas kepada kaum kuffar merupakan masalah penting yang harus diketahui setiap muslim, sebab jika kita salah menempatkannya akan berakibat fatal terhadap keimanan saudara muslim kita atau bahkan keimanan kita sendiri. Tawalliy yang dapat mengakibatkan kekufuran dan hilangnya keimanan adalah tawalliy kubro, contohnya adalah mencintai musyrikin dan kuffar karena alasan akidahnya yang rusak, membantu kuffar dan musyrikin untuk membunuh muslimin, dan mengikuti peribadatan musyrikin/kuffar. Itu semua merupakan tawalliy yang dapat membatalkan keimanan.

Sementara itu pemberian pertolongan atau bertawalliy dalam urusan keduniaan ini adalah perkara tawalliy sughra. Tawalliy sughra tidak sampai pada membatalkan keimanan seseorang, melainkan hal ini adalah sebagai perbuatan dosa dan haram.

Dalil yang menunjukkan bahwa tawalliy dalam urusan keduniaan adalah tidak menjadikan kekafiran adalah hadist Ibnu Abi Balta’ah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori.

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Diinaar yang aku mendengar darinya dua kali, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Hasan bin Muhammad, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Ubaidullah bin Abi Raafi’, ia berkata : Aku mendengar ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutusku, Az-Zubair, dan Al-Miqdaad. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Berangkatlah kalian hingga mendatangi kebun Khaakh, karena di sana ada seorang wanita yang membawa surat. Ambillah surat itu darinya”. Maka kami pun pergi dalam keadaan kuda-kuda kami berlari cepat hingga kami tiba di kebun tersebut. Ternyata benar kami dapati seorang wanita sedang dalam perjalanan. Kami berkata : “Keluarkan surat yang engkau bawa”. Wanita itu berkata : “Aku tidak membawa surat apapun”. Kami berkata : “Sungguh, engkau harus mengeluarkan surat itu atau kami buka pakaianmu”. Lalu ia pun mengeluarkan surat itu dari gelungan rambutnya. Lalu kami bawa surat itu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang ternyata berasal dari Haathib bin Abi Balta’ah kepada orang-orang musyrikin penduduk Makkah untuk mengkhabarkan sebagian urusan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai Haathib, apa maksudnya ini ?”. Ia berkata : “Wahai Rasulullah, janganlah engkau terburu-buru kepadaku. Sesungguhnya aku adalah seorang anak angkat di tengah suku Quraisy, dan aku bukanlah termasuk dari kalangan mereka. Adapun kaum Muhaajirin yang bersama engkau, mereka mempunyai kerabat di Makkah yang akan melindungi keluarga dan harta mereka. Dikarenakan aku tidak punya hubungan nasab dengan mereka, aku ingin menolong mereka agar mereka pun menjaga kerabatku. Aku melakukan ini bukan karena kekafiran, murtad, ataupun ridlaa dengan kekufuran setelah Islam”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh, dia telah jujur kepada kalian”. ‘Umar berkata : “Wahai Rasulullah, biarkanlah aku tebas leher orang munafik ini”. Beliau bersabda : “Sesungguhnya ia (Haathib) adalah orang yang turut serta dalam perang Badr. Tahukah engkau bahwa barangkali Allah telah melihat ahlul-Badr dan berfirman : ‘Berbuatlah sekehendak kalian, karena Aku telah mengampuni kalian” (Shahih Al-Bukhari no. 3007).

Imam Syafi’I rahimahullah menjelaskan bahwa Hathib tidaklah menjadi kafir meskipun tindakannya yang membocorkan rahasia bahwa pasukan muslimin akan dikirim nabi untuk menyerang orang-orang kafir, dan ketika beliau ditanya tentang apakah halal darah seorang muslim yang melakukan hal tersebut, beliau menjawab: “Tidak halal darah seseorang yang telah ditetapkan keislamannya kecuali jika dia membunuh, zina muhshon,atau menjadi kafir dg kekafiran yang jelas/nyata setelah dia beriman, dan memberitahukan celah kaum muslimin serta memberikan bantuan pada orang kafir agar orang kafir berhati2/waspada terhadap serangan yang akan dilancarkan kaum muslimin bukanlah merupakan kekafiran yang nyata” (Al-Umm: 4/249-250).

Imam Al-Qurthubi Rahimahullah menjelaskan bahwa, “Barang siapa yang banyak membocorkan rahasia/celah kaum muslimin kepada orang kafir tidaklah menjadikannya kafir selama i’tiqodnya/keyakinannya selamat  dan bantuan yang diberikannya pada orang kafir tersebut dalam urusan keduniaan”, adapun masalah memberikan bantuan bagi orang kafir seperti ini beliau menjelaskan: ”Barang siapa yang banyak membocorkan rahasia/celah kaum muslimin kepada pihak kafir, memberikan peringatan pada mereka, dan memberitahu musuh kaum muslimin tentang kabar-kabar kaum muslimin hal ini tidaklah menjadikannya kafir jika perbuatan tersebut dia lakukan untuk mencari dunia (urusan dunia) sedang keyakinannya selamat (dari semua kekafiran) seperti dilakukan Hathib dimana dia bermaksud mencari bantuan dan tidaklah meniatkan kafir dengan hal tersebut” (Tafsir Al-Qurthubi 18/58)

Selain itu masih banyak lagi ungkapan senada dengan pernyataan di atas sebagaimana yang disampaikan Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah, Imam Ibnu Jauzy, dll.

Rasanya penjelasan dari fatwa ulama’-ulama’ tersebut sudah cukup untuk menggiring kita pada sebuah tindakan bagaimana cara menempatkan sudut pandang dan sikap kita kepada Kerajaan Saudi. Kita selalu menghargai, mendukung dan menjunjung tinggi hukum syariat islam yang ditegakkan di Saudi. Kita menghargai ulama’nya, mengambil ilmu dan hikmah darinya dan senantiasa mendukung segala kebijakan Saudi yang mengutamakan nasib kaum muslimin, seperti akhir-akhir ini yang mana mereka menggelontorkan dana melimpah untuk para pejuang dan mujahidin di Syams untuk memerangi rezim diktator Syiah Bashar Assad laknatullah. Kita juga harus tetap optimis apalagi di tengah raja yang baru saat ini, nampaknya Saudi menujukkan sebuah tanda-tanda perubahan ke arah yang positif semisal meratifikasi pernjanjian industri alutsista dengan Turki yang dibekukan sejak kudeta di Mesir. Bahkan Raja Salman melakukan gunting pita, atas kedatangan kapal tempur baru yang diproduksi Turki. Maka poros Saudi-Turki (yang bercorak ikhwany) kembali berkibar.

Meskipun demikian, kita juga tak boleh luput dari pandangan kritis kita bahwa apa yang dilakukan Saudi dengan Amerika saat ini menurut saya pribadi adalah sebuah hubungan yang tidak pantas. Sikap dan kebijakan itu adalah pilihan pribadi sang raja semata. Biarlah itu menjadi urusan dan tanggung jawab sang raja dan aparat pemerintahannya di hadapan Allah tabaraka wata’ala. Tak sepatutnya kita mencaci Saudi apalagi sampai memvonis kafir. Naudzubillah min dzalik. Allahul musta’an. Wallahu a’lam bisshowwab. Semoga bermanfaat.

0 komentar:

Posting Komentar

Pribadi seseorang tercermin dari apa yang diucapkannya.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Hot Sonakshi Sinha, Car Price in India