Sebenarnya, masalah demokrasi bisa dibicarakan dengan lebih ilmiah.
Istilah “demokrasi” tidak tepat didikotomikan dengan istilah “khilafah”.
Tetapi, lebih tepat, jika “demokrasi” versus
“teokrasi”. Sistem khilafah beda dengan keduanya. Sebagian unsur dalam
sistem khilafah ada unsur demokrasi (kekuasaan di tangan rakyat) dan
sebagian lain ada unsur teokrasi (kedaulatan hukum di tangan Tuhan).
Membenturkan demokrasi dengan khilafah, menurut saya, tidak tepat. Sistem
demokrasi ada yang bisa dimanfaatkan untuk dakwah, Karena adanya
kebebasan berpendapat. Maka, Hizbut Tahrir justru berkembang ke negara-negara yang menganut sistem demokrasi, seperti di Indonesia.
Di AS, Inggris, dsb, HT lebih bebas bergerak dibanding dengan di Arab Saudi.
Karena itu, demokrasi memang harus dinikmati, selama tidak bertentangan
dengan Islam. Itulah yang dilakukan oleh berbagai gerakan Islam, dengan
caranya masing2. ada yang masuk sistem politik, ada yang di luar sistem
politik,tetapi masuk sistem pendidikan, dll. Tapi, mereka tetap hidup
dan menikmati sistem demokrasi. saat HTI menjadi Ormas, itu juga sedang
memanfaatkan sistem demokrasi, karena sistem keormasan di Indonesia
memang “demokratis”.
Karena itu, menolak semua unsur dalam demokrasi juga tidak tepat. Karena
demokrasi adalah istilah asing yang harus dikaji secara kritis. Para
ulama kita sudah banyak melakukan kajian terhadap demokrasi, mereka
beda-beda pendapat dalam soal menyikapinya. tapi, semuanya menolak aspek
“kedaulatan hukum” diserahkan kepada rakyat, sebab kedaulatan hukum
merupakan wilayah Tuhan. kajian yang cukup bagus dilakukan oleh Prof
Hasbi ash-Shiddiqy dalam buku Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam.
Inilah yang kita sebut sebagai proses Islamisasi: menilai segala sesuatu istilah “asing” dengan parameter
Islam. Contoh kajian yang bagus dilakukan oleh Ibn Taymiyah dalam
menilai istilah-istilah dalam sufi, yang asing dalam Islam, seperti
“kasyaf”, “fana”, dan sebagainya. al-Ghazali juga contoh yang baik saat
menilai istilah dan faham “falsafah”. ada yang diterimanya, tetapi juga
ada yang ditolaknya.
Jadi, menurut saya, kenajisan istilah “demokrasi” bukan “lidzatihi”, tetapi “lighairihi”, karena masih bisa “disamak”. Saat ini
pun kita telah menggunakan berbagai istilah asing yang sudah diislamkan
maknanya, seperti “agama”, “dosa”, “sorga”, “neraka”, “pahala”, dll.
Masalah khilafah juga perlu didudukkan pada tempatnya. Khilafah adalah sistem politik
Islam yang unik dan khas. Tentu, agama dan ideologi apa pun, memerlukan
dukungan sistem politik untuk eksis atau berkembang. Tetapi, nasib dan
eksistensi umat Islam tidak semata-mata bergantung pada khilafah. Kita
dijajah Belanda selama ratusan tahun, Islam tetap eksis, dan bahkan,
jarang sekali ditemukan kasus pemurtadan umat Islam. Dalam sejarah,
khilafah juga pernah menjadi masalah bahkan sumber kerusakan umat,
ketika sang khalifah zalim. Dalam sistem khilafah, penguasa/khalifah
memiliki otoritas yang sangat besar. Sistem semacam ini memiliki
keuntungan: cepat baik jika khalifahnya baik, dan cepat rusak jika
khalifahnya rusak. Ini berbeda dengan sistem demokrasi yang membagi-bagi
kekuasaan secara luas.
Jadi, ungkapan “masalah umat akan beres jika khilafah berdiri”, juga
tidak selalu tepat. Yang lebih penting, menyiapkan orang-orang yang akan
memimpin umat Islam. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Entah
mengapa Rasulullah saw — setahu saya — tidak banyak (hampir tidak
pernah?) mengajak umat Islam untuk mendirikan negara Islam. meskipun
negara pasti suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan umat
Islam, sebab berbagai aspek hukum dan kehidupan umat terkait dengan
negara.
Tapi, saya tidak ketemu hadits: “Mari kita dirikan negara, agar kita jaya!” Tentu, bukan berarti negara tidak penting.
Terakhir, soal “cara mendirikan khilafah”. Saya sering terima SMS,
bahwa khilafah adalah solusi persoalan umat. beberapa kali acara, saya
ditanya, mengapa saya tidak membicarakan khilafah sebagai solusi umat!
Saya pernah sampaikan kepada pimpinan HTI, tahun 2010 lalu, tentang
masalah ini.
Menurut saya, semangat mendirikan khilafah perlu dihargai. itu baik.
tetapi, perlu didudukkan pada tempatnya juga. itu yang namanya adil.
Jangan sampai, ada pemahaman, bahwa orang-orang yang rajin melafalkan
kata khilafah dan rajin berdemo untuk menuntut khilafah merasa lebih
baik daripada para dai kita yang berjuang di pelosok membentengi aqidah
umat, meskipun mereka tidak pernah berdemo menuntut khilafah, atau
bergabung dengan suatu kelompok yang menyatakan ingin mendirikan
khilafah.
“Mendirikan khilafah” itu juga suatu diskusi tersendiri. Bagaimana
caranya? AD Muhammadiyah menyatakan ingin mewujudkan masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya! Persis juga punya tujuan serupa. DDII juga sama.
Mars MTQ ada ungkapan “Baldatun Thayyitabun wa Rabbun Ghafur”. Apa itu
tidak identik dengan “khilafah”. AD/ART PKS juga ingin memenangkan
Islam.
Walhasil, menurut saya, dimensi perjuangan Islam itu sangat luas. semua
kita yang ingin tegaknya Islam, perlu bekerjasama dan saling
menghormati. Saya sebenarnya enggan menulis semacam ini, Karena saya
sudah menyampaikan secara internal. tetapi, karena diskusi masalah
semacam ini sudah terjadi berulang kali.
Masalah umat ini terlalu besar untuk hanya ditangani atau diatasi
sendirian oleh PKS, HTI, NU, Muhammadiyah, INsists, dll. Kewajiban
diantara kita adalah melakukan taushiyah, bukan saling mencerca dan
saling membenci. Saya merasa dan mengakui, kadang terlalu sulit untuk
berjuang benar-benar ikhlas karena Allah. Bukan berjuang untuk kelompok,
tapi untuk kemenangan Islam dan ikhlas karena Allah. Wallahu a’lam
bish-shawab. (adian husaini).
*diulas di milis INSIST 17 November 2011