Golput
atau golongan putih, maksudnya adalah untuk menyebut orang/kelompok yang tidak
memberikan hak suaranya pada pegelaran demokrasi untuk memilih partai/eksekutif/presiden.
Mereka tak mau ikut serta dalam penyaluran suara dalam pemilu, kalaupun ikut
meramaikan maka semua gambar yang ada dalam kertas pemilu akan dicoblos semua
sehingga suara tidak sah dan terbuang percuma. Apakah para golput itu adalah
orang-orang pelosok desa yang tak tersentuh pendidikan politik? Bukan. Bahkan sebagian
mereka ada yang terpelajar dan terdidik, bahkan juga pejabat, baik ormas maupun
lembaga pemerintahan. Banyak alasan dan banyak dalih yang digunakan untuk
membenarkan golput. Mari kita simak sedikit.
Pertama, adalah terkait ideologi sistem. Sistem
pemilu menurut sebagian mereka adalah sistem jahiliyah yang tentu tak boleh
diikuti. Sebab bila diikuti maka berarti yang mengikuti telah setuju dengan kejahiliyahan
dan tentu telah menjadi jahil.
Kedua, sebagian orang beranggapan bahwa
semua partai/calon eksekutif tidak ada yang ideal, tidak ada yang sesuai hati
nurani. Semua tidak ada yang dapat dipercaya untuk menyalurkan aspirasi rakyat
dengan amanah. Alasan ini kemungkinan muncul dari sekelompok orang yang sudah mutung (putus asa, red) dalam perjuangan
melalui partai karena tak kunjung mendapatkan kemenangan, atau merasa
aspirasinya tak tersalurkan lewat partai peserta pemilu.
Ketiga, ada anggapan bahwa pemilu hanyalah
pemborosan dan buang-buang anggaran negara. Mereka merasa rakyat tidak
disejahterakan oleh pemimpin-pemimpin yang telah dipilih. Para politisi yang
sudah menjabat mayoritas hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan
golongannya saja, tidak mau benar-benar berjuang menegakkan aspirasi rakyat.
Kalaupun ada yang berjuang untuk rakyat, itu hanyalah basa-basi agar di pemilu
berikutnya dapat dipilih lagi dan menang lagi.
Alasan
kedua dan ketiga di atas menurut saya adalah alasan orang-orang putus asa dalam
berusaha dan memperbaiki masyarakat lewat politik. Sedangkan alasan pertama, saya
pribadi merasa perlu menimbang alasan ini mengingat masih banyak perdebatan dan
perbedaan pendapat ulama tentang boleh/tidak bolehnya umat islam mengikuti
demokrasi.
Untuk
memberikan persepsi yang ideal yang mengantarkan sebuah pemahaman akan bermanfaat
atau tidaknya melakukan golput, barangkali kita perlu mengkaji sedikit sejarah
dari kemenangan Hitler.
Salah
satu noda hitam paling tragis dalam sejarah akibat tingginya golput terjadi di
Jerman. Tahun 1920 partai Nazi dibentuk. Awalnya, partai ini hanya mendapatkan
3% suara di Pemilu Legislatif, dan bahkan turun menjadi 2,6% di Pemilu
berikutnya. Tapi tahun 1929 bursa saham Wall
Street runtuh, dan tahun 1930 partai kecil ini langsung melejit dan
mendapatkan 18,3% suara di Pemilu Lagislatif. Jumlah ini menjadi suara kedua
terbesar di Parlemen karena banyak rakyat yang golput. Tahun 1933 Hitler
terpilih sebagai Kanselir Jerman. Setelah itu kita semua tahu, berkuasanya
Hitler merupakan salah satu pemicu utama terjadinya Perang Dunia ke-2.
Dari
sejarah kita dapat melihat bahwa partai-partai kecil yang radikal bisa
mendapatkan kekuasaan dan mengontrol suara mayoritas akibat golput. Beberapa
tahun sebelumnya, hal serupa telah terjadi di Rusia dalam revolusi Bolshevik
yang dipimpin Lenin (1917). Lewat ide-idenya yang destruktif, partai-partai
kecil ini menguasai dan mengontrol arah negara.
Sekarang
mari kita translasikan kepada perpolitikan di negeri kita. Partai-partai
nasionalis sekuleris telah marak. Umat islam pun bingung, tak tahu siapa yang
harus didukung. Di sisi lain kaum sekuler liberal dengan segala kepentingan
kapitalisme yang dibawa terus menunjukkan sepak terjangnya. Menggandeng tokoh
sana-sini, sudah mulai berani. Lihatlah sekarang sudah ada yang berani menjadi
wakil gubernur, ada juga yang nekat jadi calon wakil presiden. Logika sederhananya,
jika dengan memilih saja tokoh-tokoh sepilis sudah hampir menguasai negeri ini,
maka bagaimana jadinya jika umat islam golput? Tentu kita tak ingin
perundang-undangan di negeri ini menjadi bercorak penuh dengan kapitalisme dan
berpihak kepada barat.
Maka
kembali saya pertanyakan, golput akankah ia akan menjadi benar-benar berwarna
putih yang dianggap netral tak berpihak ataukah justru akan membawa kepada
pilihan terpuruknya sistem demokrasi Indonesia karena telah berubah menjadi sekuler
liberal?
Satu
suara sangatlah berarti, karena itu jangan lepaskan hak pilih Anda !
#2
0 komentar:
Posting Komentar
Pribadi seseorang tercermin dari apa yang diucapkannya.