Diantara
sebab lahirnya kesalahpahaman dalam agama adalah menyebarkan fatwa atau
hadits tertentu tanpa disertai penjelasan dan keterangan.
Seperti fatwa yang baru-baru ini disebarkan oleh sebuah akun fanpage dan group WA yang mengesankan, bahwa dalam meyakini person tertentu telah kafir harus dikembalikan kepada Mahkamah Syar’iyah. Padahal yang dimaukan oleh fatwa tersebut tidak seperti yang disalahpahami oleh orang yang salah dalam memahaminya. Maka
memahami maksud ucapan alim dengan mengkompromikan ucapannya disatu
tempat dengan ucapannya ditempat yang lain adalah merupakan kunci
selamat dari ketergelinciran ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah dalam Al Jawab Ash-Shahih (2/287-288) mengatakan:
(Sesungguhnya wajib menafsirkan ucapan pembicara dengan ucapannya yang lain. Dan mengumpulkan ucapannya dari sini dan dari sana. Dan
mengenali kebiasaannya yang ia mau dengan lafal itu saat dia berbicara
sehingga diketahuilah makna-makna sudah biasa ia maukan bahwa ia
memaksudkan itu pada ucapannya yang lain. Apabila telah diketahui
kebiasaannya, urf nya pada makna-makna dan lafal-lafal maka ini diantara hal yang membantu dalam mengetahui maksud siempunya ucapan.
Adapun
jika lafalnya dibawa kepada makna yang bukan itu kebiasaan dia saat
menggunakannya, kemudian mengabaikan makna yang biasa dia maukan saat
menggunakan lafal itu dan membawa ucapannya kepada makna yang berbeda
dengan makna yang biasa dia maukan dengan lafal itu, menjadikan
ucapannya saling bertabrakan dan meninggalkan ucapannya yang sesuai
dengan semua ucapannya, maka ini merupakan penyimpangan / tahrif terhadap
ucapannya dari tempat yang seharusnya dan merubah maksud-maksudnya
serta berdusta atasnamanya. Dan ini adalah sebab asasi yang melandasi
tersesatnya orang-orang dalam mentakwil ucapan para nabi keluar dari
tempatnya)
Asy-Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan berkata:
إذا كان ولابد من نقل كلام أهل العلم أن يستوفي النقل من أوله إلى آخره ويجمع كلام العالم في المسألة من مختلف كتبه حتى يتضح مقصوده
ويرد بعض كلامه إلى بعض ولا يكتفي بنقل طرف ويترك الطرف الآخر لأن هذا يسبب سوء الفهم وأن ينسب إلى العالم مالم يقصده
(Apabila
harus menukil ucapan ulama (hendaknya seseorang) meluas dalam penukilan
dari awal sampai akhirnya dan mengumpulkan ucapan seorang alim dalam
masalah tertentu dari kitab-kitabnya yang berbeda sehingga jelaslah
maksud alim itu. Dan mengembalikan sebagian ucapannya kepada sebagian
lainnya. Dan jangan merasa cukup dengan menukil sebagian dan
meninggalkan sebagian lainnya. Karena hal ini berakibat salahpaham dan
berakibat menisbatkan kepada si alim itu apa-apa yang bukan dia
maksudkan)
Berikut
ini adalah fatwa Asy-Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan yang kami maksud
dan disebarkan oleh pihak-pihak diatas tanpa diikuti dengan sedikit pun
penjelasan. Padahal ketika disandingkan dengan fatwa lainnya, tampaklah
bahwa maksud fatwa tersebut sama sekali bukan seperti pemahaman salah
yang bisa berkembang.
Fatwa ini mereka beri judul dengan: Jangan Mudah Memvonis Kafir Seseorang.
سائل
يسأل: يقول: فضيلة الشيخ سؤالي هو: هل يجوز لطالب العلم الذي تمكَّن من
مسائل التكفير أن يكفر شخصا بعينه دون الرجوع إلى العلماء اعتمادًا على ما
عنده من العلم في مسائل التكفير؟
TANYA:
Wahai
Syaikh yang mulia, pertanyaanku adalah, bolehkah seorang penuntut ilmu
yang telah mapan (kuat, mendalam) ilmunya dalam masalah takfir
(pengkafiran) untuk mengkafirkan seseorang secara mu’ayyan (memvonis
individu tertentu) tanpa merujuk kepada para ulama karena berpegang
dengan ilmu yang ia miliki dalam masalah takfir?
الجواب:
مسائل التكفير أمرها خطير، مزلة أقدام ومضلة أفهام، يُرجَع فيها إلى أهل
العلم ولا يُحكَم على أحد بالكفر إلا إذا قُدِّم للمحكمة الشرعية ونظرت
فيما يقتضي كفره من القول والعمل فَيُكَفَّر، أما أن كل واحد ويكفر؟! فهذا
الأمر لا يجوز، نعم. لكن على سبيل العموم تقول من فعل كذا أو قال كذا أو
اعتقد كذا فهو كافر، أما التعيين والأشخاص فلا بد أن يُرجَع أمرهم إلى
المحاكم الشرعية مع الإثبات عليهم، نعم
JAWABAN:
Masalah
takfir (pengkafiran) perkaranya sangat berbahaya, banyak kaki
tergelincir dan pemahaman tersesat dalam masalah ini, hendaklah merujuk
kepada para ulama, dan tidak boleh
menghukumi seseorang dengan kekafiran kecuali apabila telah disidangkan
di pengadilan syari’at dan telah diteliti dalam pengadilan tersebut apa
yang mengharuskan kekafirannya, baik ucapan maupun perbuatan, baru
kemudian dikafirkan. Adapun setiap orang mengkafirkan, maka perkara ini tidak boleh, na’am.
Akan tetapi dalam bentuk umum (takfir secara muthlaq, tanpa memvonis person tertentu) boleh engkau mengatakan, “Siapa yang melakukan ini, atau mengatakan ini, atau meyakini ini, maka ia kafir.”
Adapun
ta’yin (takfir secara mu’ayyan) dan vonis terhadap individu-individu,
maka harus dikembalikan perkaranya ke pengadilan-pengadilan syari’ah
yang disertai dengan penetapan atas mereka, na’am. -Selesai
Inilah
redaksi fatwa yang beredar. Maksud fatwa ini (menurut saya) adalah
tidak boleh seseorang mengkafirkan siapa pun yang jatuh kepada kekafiran
tanpa merujuk kepada pengadilan syari’at, yaitu terkait dengan penegakan hukum atasnya. Seperti
memintanya bertaubat, jika dia tidak bertaubat maka dibunuh. Ini
wewenang pemerintah. Atau seperti hartanya tidak diwarisi dan dia tidak
menerima warisan. Atau jika dia memiliki suami atau istri maka harus
dipisah karena dia telah murtad. Ini semua babnya adalah penegakan hukum
/ tathbiiq al hukm bukan wewenang semua orang.
Dalil
akan hal ini adalah fatwa Asy-Syaikh Shalih Fauzan dikesempatan
lainnya, bahwa maksud fatwa diatas adalah terkait penegakan hukum, bukan
tentang meyakini kafirnya pelaku syirik besar yang jelas ia lihat atau
dengar tanpa terdapat sedikitpun kesamaran!!
السؤال
أحسن الله إليكم صاحب الفضيلة، هذا سائلٌ يقول: هل التكفيرُ حكمٌ لكل أحد من صغار طلاب العلم أم أنه خاص بأهل العلم الكبار والقضاة؟
أحسن الله إليكم صاحب الفضيلة، هذا سائلٌ يقول: هل التكفيرُ حكمٌ لكل أحد من صغار طلاب العلم أم أنه خاص بأهل العلم الكبار والقضاة؟
Tanya:
Semoga
Allah berbuat baik kepadamu wahai Fadhilatus-Syaikh. Berikut ini
seorang penanya berkata: Apakah takfir merupakan hukum bagi setiap orang
dari penuntut ilmu pemula atau perkara ini khusus perannya ulama besar
dan qadhi?
الجواب
مَن يظهر منه الشرك: يذبح لغير الله، أو ينذر لغير الله .. يظهر ظهورًا واضحًا: يذبح لغير الله، ينذر لغير الله، يستغيث بغير الله من الأموات، يدعو الأموات.. هذا شركه ظاهر؛ فمَن سمعه يحكم بكفره وشركه، أما الأمور الخفية التي تحتاج إلى علم، وإلى بصيرة.. هذه تُوكَل إلى أهل العلم، نعم
مَن يظهر منه الشرك: يذبح لغير الله، أو ينذر لغير الله .. يظهر ظهورًا واضحًا: يذبح لغير الله، ينذر لغير الله، يستغيث بغير الله من الأموات، يدعو الأموات.. هذا شركه ظاهر؛ فمَن سمعه يحكم بكفره وشركه، أما الأمور الخفية التي تحتاج إلى علم، وإلى بصيرة.. هذه تُوكَل إلى أهل العلم، نعم
Jawab:
Barangsiapa
yang tampak darinya kesyirikan: menyembelih untuk selain Allah atau
bernadzar untuk selain Allah, tampak dengan penampakan yang jelas:
menyembelih untuk selain Allah, bernadzar untuk selain Allah, minta
keselamatan kepada selain Allah dari orang-orang mati, menyeru
orang-orang mati. Ini kesyirikannya jelas. Barangsiapa yang mendengarnya menghukumi kafir dan musyrik kepada pelakunya. Adapun perkara-perkara yang khafiyah / samar yang butuh kepada ilmu dan bashirah, ini dikembalikan kepada ulama. Na’am.
Dengan
ini jelaslah bahwa ucapan Asy-Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan adalah
satu, dan bahwasanya fatwa beliau disatu tempat tidak bertabrakan sama
sekali dengan fatwa beliau ditempat lainnya. Dan metode ini tentunya
lebih selamat dan lebih menunjukkan adab penuntut ilmu kepada ulamanya.
Kemudian perlu dipahami bahwa
bukan maksud Asy-Syaikh Shalih dengan “menghukumi kafir dan musyrik
kepada pelakunya” seseorang mengucapkannya. Karena yang wajib bagi
seseorang adalah berdakwah dengan mengingkarinya dan menasihatinya.
Adapun mengucapkan “kafir” atau “musyrik” hal ini hanya menjauhkan orang
dari agama dan membuatnya lari.
Asy-Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan ditanya:
السؤال
هل تكفير من يقوم بالشرك الأكبر ومن يسب الله خاص بالعلماء؟
Tanya:
Apakah mengkafirkan orang yang melakukan syirik besar dan orang yang mencaci Allah adalah khusus perannya ulama?
الجواب
لا،
إذا سمعته هذا منكر، تنكر عليه تقول ما يجوز هذا، حرام عليك هذا الكلام،
تنصحه بما تعرف، أما تطبيق الحكم عليه هذا من جهة العلماء
Jawab:
Jangan,
apabila kamu dengar kemungkaran ini, kamu ingkari dia. Kamu katakan
(padanya) ini tidak boleh. Haram atasmu ucapan ini. Kamu nasihati dia
dengan apa yang kamu tahu. Adapun penegakan hukum atas orang ini, perkara ini perannya ulama (qadhi)
Wallahua’lam bis shawaab
0 komentar:
Posting Komentar
Pribadi seseorang tercermin dari apa yang diucapkannya.