Bagi mereka yang mendalami Maqashid al-Syari’ah (maksud-maksud yang
karenanya syari’at diturunkan) sangat paham akan persoalan ini. Bahwa
seluruh ajaran syari’ah diturunkan untuk menciptakan mashlahat atau
mencegah mudharat. Olehnya, dalam kondisi-kondisi tertentu, boleh
memanfaatkan sesuatu yang zahirnya tidak syar’i untuk tujuan mencapai
mashlahat atau meringankan mudharat tersebut. Termasuk diantaranya,
memanfaatkan sistem politik yang tidak islami untuk untuk maksud-maksud
yang telah disebutkan.
Diantara dalil-dalil yang mendukung hal ini adalah sebagai berikut:
Pertama: Firman Allah Ta’ala: “Berkata
Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku
adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan. Dan demikianlah
Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir; (dia berkuasa
penuh) pergi menuju kemana saja ia kehendaki di bumi Mesir itu. Kami
melimpahkan rahmat Kami kepada siapa yang Kami kehendaki dan Kami tidak
menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (Qs. Yusuf : 55-56).
Sisi pendalilan di sini sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-Alusi (w. 1270 H):
“Dalam
ayat ini terdapat dalil kebolehan meminta jabatan, jika ternyata orang
yang meminta itu pantas dan sanggup menegakkan keadilan dan menerapkan
hukum-hukum syariat, kendati ia diminta dari tangan penguasa kafir atau
zalim; bahkan bisa saja menjadi wajib atasnya (meminta jabatan
tersebut), jika ia yakin bahwa dengan kekuasaan itu dapat menegakkan
–misalnya- keadilan. (1)
Nyata sekali, bahwa Nabiullah Yusuf alaihis salam secara
langsung terlibat dalam pemerintahan sebuah masyarakat musyrik. Hukum
yang berlaku pun tidak di atas kaidah-kaidah Islam. Dan tatkala meminta
jabatan, beliau beralasan bahwa ia memiliki kompetensi dan sifat-sifat
yang sanggup menunaikan tanggungjawab, yakni dirinya pandai menjaga lagi
amanah.
Syaikh Dr. Umar bin Sulaiman al-Asyqar dalam bukunya “Hukmu al-Musyarakah fi al-Wazarah wa al-Majalis al-Niyabiyah”, menyebutkan beberapa poin terkait ayat ini:
1. Nabiullah Yusuf alaihis salam terlibat dalam hukum pemerintahan masyarakat musyrik yang tidak membangun hukumnya di atas kaidah-kaidah Islam.
2.
Keterlibatan beliau tersebut berdasarkan permintaannya sendiri tatkala
menyaksikan pada dirinya kesanggupan mengemban amanah, sebagaimana
perkataan beliau: “"Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”.
3. Nabiullah Yusuf alaihis salam
tidak menerapkan dalam kekuasaannya itu hukum Bani Israil (hukum
syari’at) kecuali pada persoalan yang berkaitan dengan hukum menahan
saudaranya berdasarkan rencana yang telah ia buat.
4. Sesungguhnya sang Raja saat itu memiliki aturan dan undang-undang tertentu, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: “Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendaki-Nya”. (Qs. Yusuf : 76).
5. Bahwasanya undang-undang Raja tidak tegak atas asas keadilan. Hal ini ditunjukkan, bahwa sebelumnya Yusuf alaihis salam
pernah dijebloskan dalam penjara secara zalim. Padahal mereka telah
menyaksikan sendiri tanda-tanda kebenaran dan jauhnya diri Yusuf as dari
tuduhan bersalah.
6. Masyarakat musyrik ini tetap berada di atas kesyirikan mereka hingga Nabi Yusuf alaihis salam wafat. Dalil akan hal ini adalah firman Allah Ta’ala: “Dan
sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa
keterangan-keterangan, tetapi kamu senantiasa dalam keraguan tentang apa
yang dibawanya kepadamu, hingga ketika dia meninggal, kamu berkata:
"Allah tidak akan mengirim seorang (rasul-pun) sesudahnya. Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu. (Qs. Ghafir : 34).
Beliau (al-Asyqar) kemudian menambahkan:
“Dari sini terungkap bagi kita kebolehan terlibat dalam hukum pemerintahan yang tidak Islami, berdasarkan kisah Nabiullah Yusuf alihis salam.
Tentunya dengan syarat, keterlibatan tersebut dapat mendatangkan
maslahat yang besar atau (minimal) mencegah kerusakan yang nyata;
kendati orang yang terlibat itu tidak memilki kesanggupan merubah
keadaan (hukum tersebut) dengan perubahan signifikan”.(2)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Demikianlah yang disebutkan tentang Yusuf
al-Shiddiq alaihis salam dan pekerjaannya sebagai bendahara kekayaan
alam untuk penguasa Mesir dan kaum kafir. Ketahuilah, mendampingi
(bekerjasama) dengan kaum fujjar bagi seorang mukmin itu dilakukan pada
dua kondisi. Pertama, dalam keadaan dipaksa. Kedua, jika ada mashlahat
agama yang rajih ketimbang kerusakan dari kerjasama tersebut. Atau, jika
meninggalkan kerjasama itu akan berakibat mafsadat yang rajih dalam
agama. Olehnya, dicegah yang terbesar mafsadatnya dengan mengambil yang
terendah dari keduanya. (Majmu’ al-Fatawa, 15/325).
Kedua: Firman Allah Ta’ala: “Mereka
berkata: "Hai Syu'aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu
katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang
lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami
telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di
sisi kami”. (Qs. Huud : 91).
Sisi pendalilan di sini,
seperti diungkapkan oleh Syaikh al-Allamah al-Sa’di (w. 1376 H)
berkaitan dengan pelajaran yang didapat dari ayat ini:
“Diantaranya:
Bahwasanya Allah Ta’ala membela dan menjaga kaum mukminin melalui
banyak sebab, terkadang sebagiannya mereka ketahui atau tidak diketahui
sedikitpun darinya. Boleh jadi Allah membela melalui sebab kabilah
(suku) mereka, kendati masyarakat kampungnya tersebut adalah orang-orang
kafir. Hal ini sebagaimana Allah Ta’ala menolong Nabi Syu’aib dari
rajam (penyiksaan) kaumnya dengan sebab keluarganya.Bahwasanya
hubungan-hubungan tersebut yang dengannya dapat membela Islam dan kaum
muslimin, tidak mengapa terlibat di dalamnya. Bahkan bisa saja hal itu
menjadi wajib, sebab menciptakan kebaikan dituntut sesuai dengan
kesanggupan dan kondisi. Maka dari itu, jika kaum muslimin yang hidup di
bawah kekuasaan pemerintahan kafir berupaya dan bekerja untuk
menciptakan sebuah lingkungan dimana setiap person dan suku mendapatkan
hak-hak agama dan duniawiyah maka itu lebih utama daripada tunduk pada
negara yang tidak menghormati hak-hak mereka serta berupaya melenyapkan
mereka. Iya, itu jika sekiranya mereka sanggup membentuk sebuah negara
bagi kaum muslimin, dan mereka pula yang terlibat dalam pemerintahannya.
Akan tetapi, karena tidak adanya kesanggupan untuk tingkat ini
(membentuk negara muslim), maka tingkatan yang padanya upaya membela
(kaum muslimin) menjaga agama dan dunia, maka ia harus diutamakan, wallahu a’lam”.(3)
Merupakan
perkara maklum, terlibat dan ikut serta dalam praktek Demokrasi
(parlemen) dapat mewujudkan sebagian dari tujuan dakwah. Dan yang paling
nyata, pengawalan terhadap jalannya dakwah tersebut serta pembelaan
terhadap pada du’at dari kezaliman dan tekanan penguasa. Sebab, jika
para da’i memiliki keluarga atau kelompok yang duduk di Lembaga
Legislatif, dapat dipastikan mereka akan membela serta menjauhkannya
dari segala tindak kezaliman yang mungkin terjadi.
Ketiga: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda pada hari kematian Raja Najasyi: “Telah wafat hari ini seorang laki-laki yang shalih; bangkit dan shalatlah atas saudara kalian, Ash-hamah”.(4)
Disebutkan
dalam sejarah, bahwa al-Najasyi tetap menjadi seorang Raja di atas
aturan dan undang-undang kufur kendati beliau telah masuk Islam. Walau
demikian, Nabi SAW tetap menganggapnya sebagai seorang laki-laki yang
shalih setelah kematiannya dan tidak menyalahkan perbuatannya. Bukti
bagi keislaman beliau adalah hadits ini, serta riwayat-riwayat lainnya
yang disebutkan oleh Imam al-Bukahri seputar kematian al-Najasyi. Nabi
SAW bersedih dan sholat (ghaib) atasnya serta menyifatinya dengan
keshalihan. Semua ini menguatkan bahwa ia adalah seorang muslim, padahal
beliau adalah raja bagi rakyat yang kafir serta berhukum menurut apa
yang berlaku dari undang-undang dan kebiasaan mereka. Ibnu Hajar
al-Asqalani menyifatinya, bahwa beliau adalah “rad’an li al-muslimina nafi’an” artinya, penolong dan pemberi manfaat bagi kaum muslimin. (5)
Dr.
Umar Sulaiman al-Asyqar mengumpulkan banyak dalil yang menunjukkan
bahwa Raja al-Najasyi ra tidak menghukum rakyatnya dengan syariat Islam;
diantaranya:
1. Perkataan beliau dalam suratnya kepada Nabi SAW: “Sungguh, aku tidak memiliki sesuatu-pun melainkan diriku sendiri”.
2.
Rakyatnya melakukan pemberontakan untuk melengserkannya dari jabatan
kepemimpinan, namun Allah tetap menjaga dan menolongnya dari rongrongan
tersebut. Diantara alasan yang kemudian beliau kemukakan di hadapan
rakyatnya untuk menenangkan mereka, bahwa ia tidak akan merubah dan
tidak pula mengganti apa yang telah berlaku diantara mereka berupa hukum
dan undang-undang. Sementara sisi lain, beliau menyakini Islam dalam
batinnya dan mengirim utusan yang memberitahu Rasulullah SAW tentang
keyakinannya. (6)
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah (w. 728 H) menyatakan:
“Raja
Najasyi tidak memiliki kesanggupan berhukum dengan aturan al-Qur’an,
karena rakyatnya tidak mengakui dan tidak pula menerimanya. Banyak orang
yang memegang jabatan hakim diantara kaum muslimin dan Tartar, bahkan
sebagai seorang pemimpin, di dalam dirinya terdapat perkara-perkara
terpuji berupa sifat adil dan ia ingin mengaplikasikannya, akan tetapi
kondisi tidak memungkinkan sebab ada (kekuatan) yang menghalangi
demikian. Dan Allah tidak membebani seorang hamba melainkan sebatas
kesanggupannya... Al-Najasyi dan yang semisal dengannya telah berbahagia
di surga, kendati mereka tidak menjalankan syariat Islam (dalam
kekuasaannya) karena tidak memiliki kesanggupan menegakkannya. Namun
mereka tetap berhukum dengan hukum-hukum yang memungkinkan untuk mereka
laksanakan (demi maslahat)”. (7)
Keempat:
Keputusan Nabi shallallahu alaihi wasallam menerima poin-poin dalam
perjanjian Hudaibiyah yang zahirnya tidak syar’i, bahkan merugikan kaum
muslimin.
“Siapa yang datang kepada kami (kaum musyrik) dari
sahabat Nabi, maka kami tidak akan mengembalikannya. Sebaliknya, siapa
yang datang kepadamu dari sahabat-sahabat kami (yang telah masuk Islam),
maka engkau wajib mengembalikan kepada kami”. Lalu Nabi pun menyerahkan
sebagian sahabatnya yang telah masuk Islam kepada kaum musyrikin…”.
Sungguh,
andai keputusan ini bukan merupakan perbuatan Nabi shallallahu alaihi
wasallam, kita akan menuduhnya sebagai sebuah bentuk pengkhianatan
terhadap kaum muslimin. Dan ternyata memang benar, dibalik keputusan
Nabi tersebut terkandung mashlahat yang besar dan agung. Karenanya darah
kaum muslimin terjaga. Demikian pula, selama berlakunya perjanjian
tersebut kaum muslimin mulai melebarkan dakwahnya, hingga banyak yang
masuk Islam. Hingga akhirnya terjadilah penaklukkan kota Mekkah.
Dari
peristiwa ini, dapat ditarik sebuah pelajaran, bahwa boleh meninggalkan
sebuah mashlahat untuk mendapatkan mashlahat yang lebih besar. Demikian
pula, boleh menerima (melakukan) sebuah mafsadat yang sifatnya parsial
untuk mencegah mafsadat yang jauh lebih besar darinya.
Kelima:
Keinginan Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk memberikan sepertiga
dari hasil panen kurma Madinah kepada suku Ghatafan agar mereka keluar
dari koalisi dengan kaum Qurays pada perang Ahzab. Namun ditolak oleh
sahabat Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin Ubadah seraya berkata:
“Wahai
Rasulullah, jika ini merupakan perintah dari Allah (wahyu) maka kami
akan dengar dan taat. Namun jika ia merupakan keputusan yang hendak
engkau ambil dari kami, maka kami tidak membutuhkannya. Dulu kami dan
mereka adalah orang-orang yang menyekutukan Allah serta menyembah
berhala; dan mereka dahulu tidak akan makan buah kurma Madinah kecuali
lewat jual beli atau jika dijamu. Setelah Allah memuliakan kami dengan
Islam dan mendapat hidayah serta jaya bersama engkau, mengapa kami harus
memberikan harta kami kepada mereka? Demi Allah, kami tidak akan
memberikan kepada mereka melainkan pedang hingga Allah memutuskan antara
kami dan mereka”. (8)
Memberikan sepertiga dari kurma Madinah
kepada kaum kafir hukum asalnya tidak boleh bahkan bisa mendatangkan
mudharat bagi perekonomian kaum muslimin. Akan tetapi, tatkala ia
digunakan sebagai sarana untuk mencegah kerusakan yang lebih besar, maka
iapun boleh dilakukan. Makanya, Nabi berhasrat melakukan hal tersebut,
kendati kemudian ditolak oleh kedua sahabat yang mulia tersebut.
Keenam:
Nabi SAW pernah memuji bahkan siap menerima ajakan bergabung dalam
sebuah koalisi yang dibentuk oleh anggota majelis terhormat dari
kalangan pemuka-pemuka kafir Quraisy yang bertujuan membela kaum lemah
dan menghidari mereka dari tindak kezaliman. Padahal, aturan koalisi
tersebut lahir di bawah aturan dan sistem jahiliyah. Koalisi tersebut
dalam sejarah disebut sebagai “hilf al-fudhul”. (9)
Beliau SAW bersabda: “Sungguh
aku telah menyaksikan di rumah Abdullah bin Jud'an suatu kesepakatan
perjanjian (kerjasama) yang lebih aku sukai dari pada unta merah. Jika aku diajak setelah datangnya Islam, sungguh aku akan menerimanya”. (10)
Ketujuh: Nabi SAW menerima perlindungan (al-jiwar)
dari al-Muth’im bin ‘Adi (11) tatkala kembali ke Mekkah setelah pulang
dari Tha’if, padahal ia bukan seorang muslim. Demikian pula Abu Bakar
al-Shiddiq ra, beliau berada di Mekkah di bawah jiwar Ibnu Dhugunnah, (12) Utsman bin Mazh’um juga berlindung di bawah jiwar al-Walid bin al-Mughirah (13) dan lain sebagainya. Padahal, sistem al-jiwar itu merupakan produk sistem jahiliyah yang dipraktekkan oleh kaum musyrikin Mekkah.
Dalam
sirah disebutkan, bagaimana upaya dan kerja keras Nabi SAW meminta
bantuan perlindungan kepada sebagian pemuka Quraisy agar beliau bebas
menyampaikan risalah Allah serta menghalanginya dari gangguan kaum kafir
Quraisy.
Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya ia pernah bertanya pada Nabi SAW:
“Apakah pernah terjadai padamu, hari dimana ia lebih berat daripada perang Uhud?” Beliau menjawab: “Aku
telah mendapatkan (beragam gangguan) dari kaummu, dan yang paling berat
(menyakitkan hati) adalah pada hari ‘Aqabah, tatkala aku menawarkan
diriku (untuk dilindungi) kepada Ibnu Abdi Yalail bin Kilal, akan tetapi
ia tidak memenuhi apa yang aku harapkan”.(14)
Dari sini
terlihat, jika Nabi SAW menawarkan dirinya kepada orang kafir untuk
dilindungi agar supaya dapat menyampaikan risalah Allah Ta’ala, dan ia
merupakan perkara yang boleh, maka lebih utama lagi (min baab al-aula)
dalam hal kebolehan untuk berusaha mendapatkan izin agar bebas
berdakwah serta membentuk sebuah jamaah, partai, dan selainnya untuk
tujuan amar ma’ruf nahi mungkar serta penyebaran ajaran agama, kendati berada dalam sistem yang tidak islami.
Jika
dikatakan, apa yang terjadi pada beliau SAW sifatnya kasuistik dan
sedikit, maka dapat disanggah bahwa selama berada di Mekkah, Nabi SAW
senantiasa mencari bantuan dan menawarkan diri agar mendapat
perlindungan dari pemuka-pemuka kafir Quraisy, semisal al-Akhnas bin
Syuraiq dan Suhail bin Amru, namun keduanya menolak. Tapi tatkala beliau
SAW menawarkan dirinya pada al-Muth’im bin ‘Adi, ia pun menerima dan
siap melindungi Rasulullah SAW. Padahal Muth’im bin ‘Adi bukan seorang
muslim dan mati dalam keadaan musyrik. Jasa besar al-Muth’im tersebut
tetap dikenang oleh Nabi SAW, hingga pernah beliau berkata berkaitan
dengan tawanan perang Badar:
“Andai al-Muth’im bin ‘Adi
masih hidup lalu beliau berbicara padaku (memintaku) melepaskan mereka,
sungguh aku akan tinggalkan mereka untuknya (membebaskan)”. (15)
Olehnya,
kapan saja kondisi kaum muslimin lemah maka dibolehkan meminta
pertolongan bahkan kepada mereka yang non muslim atau mencari
sarana-sarana lainnya, sebagaimana kondisi Rasulullah SAW di Mekkah. Dan
kenyataan hari ini menunjukkan, kaum muslimin berada dalam kondisi
lemah, maka sudah selayaknya bagi mereka mencari sarana-saran yang dapat
menguatkan posisi mereka dalam dakwah ilallah.
Riwayat
lain yang menguatkan keterangan ini adalah permohonan Nabi SAW sendiri
kepada Raja al-Najasyi untuk menerima dan melindungi kaum muslimin yang
hijrah ke negarinya (Habasyah), dan pada saat itu Najasyi belum masuk
Islam (kafir) dan sistem yang berlaku di negeri Habasyah adalah sistem
kafir.
Semua dalil-dalil ini menunjukkan, bahwa dalam kondisi
lemah sangat dianjurkan, bahkan wajib hukumnya berusaha mencari
sarana-sarana yang dapat menjaga eksistensi da’wah, keselamatan kaum
muslimin, mewujudkan maslahat mereka dan sebagainya. Dan terlibat dalam
sistem kendati tidak islami termasuk salah satu sarana untuk mewujudkan
kepentingan-kepentingan tersebut. Wallahu a’lam.
Rappung Samuddin
Untuk Kelengkapannya, Silahkan Rujuk buku kami "Fiqih Demokrasi".
___________________________________
Footnote:
[1] Lihat: Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Op. Cit., Vol. XIII, hlm. 5, dengan sedikit perubahan.
2 Lihat: Dr. Umar bin Sulaiman al-Asyqar, Hukmu al-Musyarakah fi al-Wazarah wa al-Majalis al-Niyabiyah, Op. Cit., hlm. 40-41.
3 Al-Allamah Abdur Rahman al-Sa’di, Taisir al-Karim al-Rahman, Op. Cit., hlm. 389.
4 HR. Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Bab: Mautu al-Najasyi, Op. Cit., no. 3877. Muslim, Shahih Muslim, Bab: Man Shalla alaihi Arba’un Syafa’u fiihi, Op. Cit., no. 902.
5 Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Ishobah fi Tamyiz al-Shahabah, Op. Cit., Vol. I, hlm. 205.
6 Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar, Op. Cit., hlm. 74-75.
7 Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, Op. Cit., Vol. XIX, hlm. 218-219.
8 Ibid, Vol. IV, hlm. 180. Al-Thabari, Tarikh al-Thabari, Op. Cit., Vol. II, hlm. 94. Lihat pula Al-Mubarakfuri, al-Rahiq al-Makhtum, (Cet. I, Riyadh: Daar al-Salam dan Damaskus: Daar al-Faiha', thn. 1418 H), hlm. 296.
9 Ibnu Hisyam dalam kitab-nya “Sirah Ibni Hisyam”
mengatakan: Kabilah-kabilah suku Quraisy saling mengajak pada pertemuan
di rumah Abdullah bin Jad'an, karena kemuliaan serta dituakan di
kalangan Quraisy. Pertemuan itu diselenggarakan antara Bani Hasyim, Bani
al-Mutthalib, Bani Asad bin Abdil Uzza, Zahrah bin Kilab, dan Tiyam bin
Murrah. Mereka bersepakat dan berjanji untuk tidak membiarkan
orang-orang terzalimi di kota Mekkah, baik dari kalangan keluarga mereka
ataupun selainnya. Mereka akan menolong orang terzalimi hingga selesai
urusan kezaliman itu, olehnya orang-orang Quraisy pun menyebutnya
sebagai hilf al-fudhul. Lihat: Ibnu Hisyam (Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam), Sirah Ibni Hisyam, Op. Cit., Vol. I, hlm. 133.
10 Ibnu Hisyam, Sirah Ibni Hisyam, Op. Cit., Vol. I, hlm. 133, Lihat pula: Abdullah bin Muhammad bin Abdil Wahhab, Mukhtshar Sirah al-Rasul shallallahu alaihi wasallam (Cet. I, Damaskus; Daar al-Faiha' dan Riyadh; Daar as-Salam, thn. 1417 H/1997 M), hlm. 26.
Peristiwa
ini memberi pelajaran bagi kita, bagaimana harus bersikap adil dan
menerima kebenaran dari orang lain, dan janganlah permusuhan menyebabkan
kita pura-pura tidak mengetahui kebaikan orang lain. Lihat: Zaid bin
Abdul Karim al-Zaid, Fikih Sirah, (Cet. I, Jakarta, Darus Sunnah, thn. 2009 M), hlm. 81.
11 Lihat: Ibnu al-Qoyyim al-Jauziyyah, Zaad al-Ma’ad, (Cet. XXVII, Beirut, Muassasah al-Risalah dan Kuwait, Maktabah al-Manar al-Islamiyah, thn. 1415 H/1995 M), Vol. I, hlm. 99.
12 Riwayat Bukhari, Shahih al-Bukhari, Bab: Jiwar Abi Bakar fi ‘Ahdi al-Nabi shallallahu alaihi wasallam wa ‘Aqdihi, Op. Cit., no. 2297.
13 Lihat: Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah al-Ashbahani, Hilyah al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’, (Cet. IV, Beirut, Daar al-Kutub al-Arabi, thn. 1405 H), Vol. I, hlm. 103.
14 HR. Bukhari, Shahih al-Bukhari, Bab: Idza Qala Ahadukum Aamin wa al-Malaikatu fi al-Sama’..., Op. Cit., no. 3231. Muslim, Shahih Muslim, Bab: Maa Laqiya al-Nabi shallallahu alaihi wasallam min al-Adza min al-Musyrikin wa al-Munafiqin, Op. Cit., no. 1795.
15 HR. Bukhari, Shahih al-Bukhari, Bab: Barakah al-Ghazi fi Maalihi Hayyan wa Mayyitan, Op. Cit., Vol. IV, no. 3129, hlm. 91, dari Jubair bin al-Muth’im. Al-Thabarani, al-Mu’jam al-Kabir, Op. Cit., Vol. II, no. 1504, hlm. 117. Ahmad, al-Musnad, Op. Cit., Vol. XXVII, no. 16733, hlm. 292.
0 komentar:
Posting Komentar
Pribadi seseorang tercermin dari apa yang diucapkannya.