Rekan-rekan yang dirahmati Allah, terkadang kita sering berselisih ketika ada perbedaan sebuah pendapat/fatwa. Dua pendapat yang disuguhkan sama-sama kuat, sama-sama berdalil Quran dan Hadist, sama-sama disampaikan oleh ulama'-ulama' khibar. Lantas jika sampai sudah pada keadaan seperti, maka sikap yang selanjutnya kita ambil bukanlah malah saling menyalahkan pendapat yg lain, melainkan mengambil sikap pertengahan yakni menentukan pilihan.
Berikut ini penulis lampirkan tulisan bijak dari Ustadz Ahmad Mudhoffar, MA. Semoga bisa menjadi pegangan kita tatkala menghadapi perbedaan pendapat yang sama-sama rajih.
Dengan ini kami menyerukan dan mengajak seluruh muslimin dimanapun berada, untuk bersepakat dalam menyikapi adanya perbedaan pendapat dan madzhab diantara para imam dan ulama Ahlussunnah Waljamaah, dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyah, dengan butir-butir penyikapan dan kesepakatan sebagai berikut:Pertama, kita semua sepakat menerima, mengakui dan mentolerir adanya perbedaan pendapat para imam dan ulama itu, sebagai hal yang normal dan wajar, karena ia merupakan buah alami dan konsekuensi logis dari ijtihad mereka. Serta sepakat menyikapi seluruh madzhab ulama Ahlussaunnah Waljamaah sebagai pilihan-pilihan yang secara umum ditolerir bagi siapapun untuk memilih madzhab apapun diantaranya.Kedua, kita sepakat untuk selalu berusaha melakukan pemilihan diantara pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab yang mu’tabar (diakui) itu secara bertanggung jawab, sesuai kapasitas dan kemampuan masing-masing. Dimana bagi ulama mujtahid, andai ada, pilihan harus dilakukan berdasarkan hasil ijtihadnya. Sedangkan bagi kalangan penuntut ilmu syar’i, yang telah mampu memahami dalil dan mendalami istidlal para ulama, pilihan didapat melalui jalan ber-ittiba’, yakni dengan mengikuti madzhab imam mujtahid disertai pemahaman akan dalilnya, dan atau dengan melakukan pengkajian serta perbandingan untuk menentukan pendapat yang rajih (kuat) menurutnya. Adapun bagi kaum muslimin kebanyakan yang awam sama sekali, maka batas kemampuan mereka hanyalah ber-taqlid, yakni mengikuti ulama rujukan terpercaya yang diakui kapasitas dan kredibilitasnya, meskipun tanpa harus tahu dalilnya dan paham istidlal-nya. Yang penting dalam ber-taqlid ini, minimal ada dua syarat utamanya, yaitu: bahwa ulama yang ditaqlidi dan diikuti adalah ulama yang tepat, dan bahwa taqlid dilakukan secara tulus dan ikhlas, yakni tidak dalam rangka memperturutkan hawa nafsu, misalnya dengan sekedar tatabbu’ur-rukhash (nyari-nyari yang serba ringan dan nyaman saja).Ketiga, kita sepakat melihat dan menyikapi pendapat atau madzhab yang akhirnya dipilih dan diikuti oleh masing-masing diantara kita, sesuai cara dan pola yang telah disebutkan diatas, sebagai sebuah pilihan dan bukan sebagai sebuah keyakinan! Oleh karenanya, kita sepakat untuk tidak menunjukkan sikap mutlak-mutlakan terhadap pendapat yang kita pilih, begitu pula terhadap pendapat serta madzhab yang lain. Juga tidak menyikapi masalah khilafiyah ijtihadiyah ini dengan pola pendekatan haq-batil, atau sunnah-bid’ah, atau lurus-sesat, atau wala’ (cinta) dan bara’ (benci)! Namun selalu mengedepankan dan menonjolkan sikap toleransi sesuai tuntutan kebutuhan dan kemaslahatan, di bawah naungan prinsip ukhuwah islamiyah, dan berlandaskan semangat persatuan dan penyatuan ummat.Keempat, kita semua sepakat untuk tetap dan senantiasa mengutamakan, mengedepankan dan memprioritaskan masalah-masalah ushul (prinsip) yang telah disepakati atas masalah-masalah furu’ (non prinsip) yang diperselisihkan. Atau dengan kata lain, kita wajib selalu mengutamakan dan mendahulukan masalah-masalah ijma’ atas masalah-masalah khilafiyah. Sehingga jangan sampai perhatian dan kesibukan kita yang besar terhadap masalah-masalah khilafiyah, mengalahkan dan mengorbankan perhatian serta kesibukan kita terhadap masalah-masalah pokok yang disepakati.Kelima, kita sepakat bahwa, untuk praktek pribadi, dan dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal individual, masing-masing kita berhak mengikuti dan memgamalkan pendapat atau madzhab yang rajih (kuat) menurut pilihannya. Meskipun sangat afdhal pula jika ia memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam rangka menghindari ikhtilaf (perbedaan pendapat), sesuai dengan kaidah ”al-khuruj minal khilaf mustahabb” (keluar dan lepas dari wilayah khilafiyah adalah sangat dianjurkan). Sementara itu terhadap orang lain dan atau dalam hal-hal khilafiyah yang terkait dengan kemaslahatan bersama, kita semua sepakat untuk mengambil sikap melonggarkan dan bertoleransi (tausi’ah & tasamuh). Atau dengan kata lain, jika kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat personal individual, adalah melaksanakan yang rajih menurut pilihan kita masing-masing. Maka kaidah dan sikap dasar dalam masalah-masalah khilafiyah yang bersifat kebersamaan, kejamaahan, kemasyarakatan, dan keummatan, adalah dengan mengedepankan sikap toleransi dan bahkan kompromi. Termasuk sampai pada tingkat kesiapan untuk mengikuti dan melaksanakan pendapat atau madzhab lain yang menurut kita marjuh (lemah) sekalipun, jika memang ada kemaslahatan untuk itu.Keenam, kita semua sepakat untuk menjadikan masalah-masalah ushul (prinsip) yang disepakati, yakni masalah-masalah ijma’ – dan bukan masalah-masalah furu’ ijtihadiyah khilafiyah – sebagai standar komitmen dan ukuran keistiqamahan seorang muslim. Jadi tidak dibenarkan misalnya kita menilai seseorang itu istiqamah atau tidak dan komit atau tidak, berdasarkan standar masalah-masalah khilafiyah. Sehingga misalnya akan dinilai istiqamah dan komit jika ia mengikuti madzhab atau pendapat tertentu, sementara akan dinilai tidak istiqamah dan tidak komit jika menganut madzhab atau pendapat yang lain. Bahkan yang benar adalah bahwa, siapapun yang menjalankan ajaran Islam sesuai standar batasan prinsip, maka ia adalah orang Islam yang istiqamah dan komit, apapun madzhab atau pendapat di antara madzhab-madzhab atau pendapat-pendapat ulama mu’tabar, yang diikuti dan dianutnya.Ketujuh, kita harus sepakat untuk senantiasa menjaga agar ikhtilaf (perbedaan) diantara kita dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah, tetap berada di wilayah wacana pemikiran dan wawasan keilmuan serta pemahaman saja, dan tidak masuk atau berpindah ke wilayah hati. Agar perbedaan kita itu tetap sebagai perbedaan keragaman (ikhtilafut-tanawwu’) yang ditolerir dan bahkan indah, dan tidak berubah menjadi perselisihan perpecahan (ikhtilafut-tafarruq) yang tercela, dan yang akan merusak ukhuwah serta melemahkan sikap saling tsiqoh (percaya) di antara sesama kaum mukminin.Kedelapan, kita semua sepakat untuk menyikapi orang lain, kelompok lain atau penganut nadzhab lain, dalam konteks khilafiyah dimaksud, sesuai dan berdasarkan kaidah penyikapan berikut ini: Perlakukan dan sikapilah orang lain, kelompok lain dan penganut madzhab lain sebagaimana engkau, kelompok dan madzhabmu ingin diperlakukan dan disikapi! Serta janganlah memperlakukan dan menyikapi orang lain, kelompok lain dan pengikut madzhab lain dengan perlakuan dan penyikapan yang tidak engkau inginkan dan tidak engkau sukai untuk dirimu, kelompokmu atau madzhabmu! Dan ini tidak lain adalah salah satu bentuk penerapan terhadap makna dan kandungan hadits terkenal (yang artinya): "Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kamu sampai ia menyukai untuk saudaranya apa-apa yang ia sukai untuk dirinya sendiri" (HR. Muttafaq 'alaih dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu).Kesembilan, kita semua harus sepakat untuk menilai, menyikapi dan memperlakukan praktik penganut, pengikut atau pemilih madzhab lain, berdasarkan sudut pandang madzhab yang bersangkutan, dan bukan berdasarkan sudut pandang madzhab kita, yang tentu saja berbeda dan bahkan bertentangan dengannya. Karena hanya dengan prinsip dan cara pandang seperti inilah, kita bisa memiliki sikap toleransi dan bahkan kompromi dalam masalah-masalah khilafiyah ijtihadiyah, seperti yang telah disebutkan diatas. Dan sekaligus hanya prinsip dan cara pandang ini pulalah yang bisa menjelaskan dan menanfsirkan sikap toleransi dan kompromi para ulama salaf dalam hal-hal khilafiyah ijtihadiyah, yang bahkan sampai pada tingkat kesiapan mereka – dalam kondisi-kondisi tertentu – untuk "mengalah" dan mengikuti pendapat atau madzhab imam mujtahid lain, seperti dalam banyak contoh dan teladan dari sirah mereka.Akhirnya, marilah kita semua berdoa dengan tulus, ikhlas, khusyu', tawadhu' dan sungguh-sungguh :
Allaahumma Rabba Jibraa-iil wa Miikaa-iil wa Israafiil, Faathiras-samaawaati wal-ardh, 'Aalimal ghaibi wasy-syahaadah, Anta tahkumu baina 'ibaadika fiimaa kaanuu fiihi yakhtalifuun. Ihdinaa lima-khtulifa fiihi minal-haqqi bi-idznik, innaka tahdii man tasyaa-u ilaa shiraathim-mustaqiim! (Ya Allah, Rabb Jibrail, Mikail dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui alam ghaib dan alam nyata, Engkau-lah Yang memutuskan diantara hamba-hamba-Mu, dalam (hal-hal) yang mereka perselisihkan. Tunjukilah kami pada kebenaran dalam (hal-hal) yang diperselisihkan itu, dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau-lah Yang memberi petunjuk bagi orang yang Engkau kehendaki, kepada jalan yang lurus!)
Subhaanakal-Laahumma wa bihamdika, asyhadu allaa ilaaha illaa Anta, astaghfiruka, wa atuubu ilaik!
0 komentar:
Posting Komentar
Pribadi seseorang tercermin dari apa yang diucapkannya.