Uzur jahil atau dispensasi karena kebodohan, dalam hal pengkafiran adalah sesuatu yang masih menjadi bahan perdebatan di tengah kaum muslimin.
Namun, dalam hal itu JAT mengambil sikap seperti sikap Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah dalam memandang penganut Jahmiyah, demikian disampaikan oleh ustadz Fuad Hazimi, Majelis Syari’ah JAT kepada Kiblatnet, Kamis 10 Oktober 2013.
Jahmiyah meyakini hulul atau wihdatul wujud yang menggambarkan Allah menyatu dengan makhluknya dan ini dihukumi oleh para ulama sebagai keyakinan yang lebih kufur dari yahudi. Namun, Ibnu Taymiyah berbeda pendapat dengan Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Bukhari. Ibnu Taymiyah tidak mengkafirkan pelaku dari kalangan ulamanya Jahmiyah terlebih kepada pengikutnya yang awam.
“Kurang kufur bagaimana Jahmiyah menganggap Allah menyatu dengan makhluk ?, itupun Ibnu Taymiyah masih memberikan uzur, apalagi sikap kita terhadap demokrasi,” ungkap Fuad.
Syaikh Ibnu Taymiyah, kata Fuad, mengatakan kepada Jahmiyah ‘kami tidak mengkafirkan kalian dengan pendapat kalian karena kalian Jahil, kalian tidak memahami nash shohih (kuat) dan waqi’ (realita) yang shorih (jelas). Tetapi kalau aku membenarkan pendapat kalian maka aku telah kafir’. Sehingga bagi JAT yang sudah memahami hakikat demokrasi berlaku hukum demokrasi sebagai Syirik akbar zhahiroh, bila JAT melakukan demokrasi dapat kafir. Namun, untuk menyikapi masyarakat awam, maka demokrasi berlaku menjadi hukumnya syirik akbar khofiyah.
“Inilah yang terkadang tidak bisa difahami grass root, kok katanya khofiyah sekarang dibilang zhohiroh. Jadi, masyarakat awam menggunakan fatwa ulama lain sehingga terkadang ada ghumam (kebingungan) atau syak (keraguan). ” jelasnya.
Selain itu, Syaikh Abu Qatadah al Filisthini dalam kitab Junathul Muthibin pada bab yang berjudul “Apakah Penganut Demokrasi Dikafirkan Tanpa Pengecualian?” mengulas bahwa untuk menghukum demokrasi harus dilacak dari asal istilahnya. Di dalam Islam demokrasi tidak pernah dikenal yang ada adalah Syuro. Namun, ia mengambil contoh dengan kasus istilah Quburiyun yang berkaitan dengan kaum Tasawuf. Tasawuf pada dasarnya tidak ada di dalam Islam, dalam perkembangannya tasawuf masuk ke dalam Islam dan terbagi menjadi dua antara yang sesat dan tidak sesat dengan ragam keyakinannya. Menyikapi hal tersebut, Abu Qatadah tidak serta merta mengatakana bahwa semua tasawuf sesat.
“Jika mereka meyakini wihdatul wujud memang kafir, tetapi jika sekedar tawasul itu perlu perincian. Maka, beliau berkata suatu kesimpulan ngawur jika semua tasawuf distempel Quburiyun. Karena tawasul juga perlu perincian” beber Fuad.
Demikian pula terkait demokrasi, dijelaskan Syaikh Abu Qatadah telah menyingkirkan Qur’an Sunnah menggantinya dengan konstitusi sehingga orang yang berkeyakinan tersebut telah melakukan kekafiran dan kemusyrikan. Bahkan orang yang tidak mengkafirkan mereka menjadi kafir juga.
“Namun, kata Abu Qatadah jika itu dikarenakan kebodohan dikecualikan untuk dikafirkan. Jadi, jika seseorang meyakini tidak ada kekuasaan selain kekuasaan ditangan rakyat maka dia telah kafir, tapi kalau itu disebabkan kebodohan ada pengecualian untuk tidak dikafirkan,” terang Fuad.
Masih mengutip perkataan Abu Qatadah, kata Fuad, penganut demokrasi ada beberapa kelompok. Salah satunya yang diistilahkan Abu Qatadah sebagai Muslim demokrat, yaitu pelaku demokrasi yang menjadikan demokrasi sebagai wasilah untuk menegakkan hukum Allah. Mereka tidak dikafirkan hanya dianggap sebagai mubtadi’ (pelaku bid’ah) yang telah melakukan kesalahan, meski bid’ah sendiri ada yang menyebabkan kekafiran (mukaffiroh) dan ada yang tidak menyebabkan kekafiran (ghoiru mukaffiroh). Sehingga perlu diteliti perbuatan bid’ahnya.
Jika, mereka melakukan bid’ah mukaffiroh dengan alasan mashlahat atau menghindari mudarat yang lebih besar, JAT akan tetap menimbang realita tersebut dan tidak menutup mata untuk tidak mengkafirkannya, sebab aslul hukm kadang berbeda dalam penerapan di realitanya.
“Inilah yang diyakini oleh JAT, bahwa orang yang menjadikan demokrasi sebagai wasilah adalah mubtadi’, dan kebid’ahannya berbeda-beda tingkatannya, tataran bid’ahnya sesuai dengan bentuk yang dilakukannya. Meski, kita tidak mengkafirkannya tapi kita tidak menyetujuinya” kata Fuad.
Tambahnya, JAT juga memandang demokrasi telah kufur baik secara ideologi ataupun secara mekanisme. “Karena kekufuran dalam ideologi menurunkan kekufuran dalam mekanismenya,” pungkas Fuad. (kiblat.net)
Namun, dalam hal itu JAT mengambil sikap seperti sikap Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah dalam memandang penganut Jahmiyah, demikian disampaikan oleh ustadz Fuad Hazimi, Majelis Syari’ah JAT kepada Kiblatnet, Kamis 10 Oktober 2013.
Jahmiyah meyakini hulul atau wihdatul wujud yang menggambarkan Allah menyatu dengan makhluknya dan ini dihukumi oleh para ulama sebagai keyakinan yang lebih kufur dari yahudi. Namun, Ibnu Taymiyah berbeda pendapat dengan Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Bukhari. Ibnu Taymiyah tidak mengkafirkan pelaku dari kalangan ulamanya Jahmiyah terlebih kepada pengikutnya yang awam.
“Kurang kufur bagaimana Jahmiyah menganggap Allah menyatu dengan makhluk ?, itupun Ibnu Taymiyah masih memberikan uzur, apalagi sikap kita terhadap demokrasi,” ungkap Fuad.
Syaikh Ibnu Taymiyah, kata Fuad, mengatakan kepada Jahmiyah ‘kami tidak mengkafirkan kalian dengan pendapat kalian karena kalian Jahil, kalian tidak memahami nash shohih (kuat) dan waqi’ (realita) yang shorih (jelas). Tetapi kalau aku membenarkan pendapat kalian maka aku telah kafir’. Sehingga bagi JAT yang sudah memahami hakikat demokrasi berlaku hukum demokrasi sebagai Syirik akbar zhahiroh, bila JAT melakukan demokrasi dapat kafir. Namun, untuk menyikapi masyarakat awam, maka demokrasi berlaku menjadi hukumnya syirik akbar khofiyah.
“Inilah yang terkadang tidak bisa difahami grass root, kok katanya khofiyah sekarang dibilang zhohiroh. Jadi, masyarakat awam menggunakan fatwa ulama lain sehingga terkadang ada ghumam (kebingungan) atau syak (keraguan). ” jelasnya.
Selain itu, Syaikh Abu Qatadah al Filisthini dalam kitab Junathul Muthibin pada bab yang berjudul “Apakah Penganut Demokrasi Dikafirkan Tanpa Pengecualian?” mengulas bahwa untuk menghukum demokrasi harus dilacak dari asal istilahnya. Di dalam Islam demokrasi tidak pernah dikenal yang ada adalah Syuro. Namun, ia mengambil contoh dengan kasus istilah Quburiyun yang berkaitan dengan kaum Tasawuf. Tasawuf pada dasarnya tidak ada di dalam Islam, dalam perkembangannya tasawuf masuk ke dalam Islam dan terbagi menjadi dua antara yang sesat dan tidak sesat dengan ragam keyakinannya. Menyikapi hal tersebut, Abu Qatadah tidak serta merta mengatakana bahwa semua tasawuf sesat.
“Jika mereka meyakini wihdatul wujud memang kafir, tetapi jika sekedar tawasul itu perlu perincian. Maka, beliau berkata suatu kesimpulan ngawur jika semua tasawuf distempel Quburiyun. Karena tawasul juga perlu perincian” beber Fuad.
Demikian pula terkait demokrasi, dijelaskan Syaikh Abu Qatadah telah menyingkirkan Qur’an Sunnah menggantinya dengan konstitusi sehingga orang yang berkeyakinan tersebut telah melakukan kekafiran dan kemusyrikan. Bahkan orang yang tidak mengkafirkan mereka menjadi kafir juga.
“Namun, kata Abu Qatadah jika itu dikarenakan kebodohan dikecualikan untuk dikafirkan. Jadi, jika seseorang meyakini tidak ada kekuasaan selain kekuasaan ditangan rakyat maka dia telah kafir, tapi kalau itu disebabkan kebodohan ada pengecualian untuk tidak dikafirkan,” terang Fuad.
Masih mengutip perkataan Abu Qatadah, kata Fuad, penganut demokrasi ada beberapa kelompok. Salah satunya yang diistilahkan Abu Qatadah sebagai Muslim demokrat, yaitu pelaku demokrasi yang menjadikan demokrasi sebagai wasilah untuk menegakkan hukum Allah. Mereka tidak dikafirkan hanya dianggap sebagai mubtadi’ (pelaku bid’ah) yang telah melakukan kesalahan, meski bid’ah sendiri ada yang menyebabkan kekafiran (mukaffiroh) dan ada yang tidak menyebabkan kekafiran (ghoiru mukaffiroh). Sehingga perlu diteliti perbuatan bid’ahnya.
Jika, mereka melakukan bid’ah mukaffiroh dengan alasan mashlahat atau menghindari mudarat yang lebih besar, JAT akan tetap menimbang realita tersebut dan tidak menutup mata untuk tidak mengkafirkannya, sebab aslul hukm kadang berbeda dalam penerapan di realitanya.
“Inilah yang diyakini oleh JAT, bahwa orang yang menjadikan demokrasi sebagai wasilah adalah mubtadi’, dan kebid’ahannya berbeda-beda tingkatannya, tataran bid’ahnya sesuai dengan bentuk yang dilakukannya. Meski, kita tidak mengkafirkannya tapi kita tidak menyetujuinya” kata Fuad.
Tambahnya, JAT juga memandang demokrasi telah kufur baik secara ideologi ataupun secara mekanisme. “Karena kekufuran dalam ideologi menurunkan kekufuran dalam mekanismenya,” pungkas Fuad. (kiblat.net)
0 komentar:
Posting Komentar
Pribadi seseorang tercermin dari apa yang diucapkannya.