Syeikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin pernah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Samahahatusy Syaikh, apa prinsip-prinsip akidah yang dianut oleh penulis kitab Fi Zhilal Al Qur’an? Apakah buku tersebut bisa dijadikan rujukan untuk menafsirkan Al Qur’an?"
Jawaban beliau adalah sebagai berikut:
“Aku tidak memiliki hasrat untuk membaca buku tersebut. Aku yakin kitab-kitab tafsir yang terkenal semisal Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Syeikh Abdurrahman bin Sa’di, Tafsir Abu Bakar Jabir Al Jazairi dan Tafsir Al Qurthubi memuat penjelasan yang jauh lebih baik dibandingkan Fi Zhilal Al Qur’an.
Namun perlu diketahui bahwa dalam Tafsir Al Qurthubi terdapat beberapa hadits yang lemah karena memang tidak memiliki kemampuan yang baik dalam masalah hadits. Sehingga dalam tafsirnya, beliau membawakan hadits yang shahih, hasan dan dhaif. Yang jelas buku-buku tafsir yang ada sudah mencukupi sehingga kita tidak membutuhkan Fi Zhilal Al Qur’an.
Tafsir Fi Zhilal Al Qur’an sebenarnya bukanlah buku tafsir. Oleh karena itu, penulisnya menamai bukunya dengan judul Fi Zhilal Al Qur’an yang artinya dalam bayang-bayang Al Qur’an. Dengan kata lain, buku tersebut tidak menyelami kedalaman Al Qur’an. Oleh sebab itu, kita jumpai gaya bahasa penulisnya adalah gaya bahasa yang bersifat umum. Penulis menyampaikan isi ayat al Qur’an hanya secara global. Penulis sangat jarang sekali membahas makna mendalam yang terdapat dalam kata demi kata dalam Al Qur’an.
Di samping itu, dalam buku tersebut terdapat berbagai hal yang sangat berbahaya yang telah diingatkan oleh para ulama semisal Abdullah Ad Duwaisy dan Al Albani.
Sejak lama aku mengetahui kritikan Al Albani terhadap penafsiran Sayid Qutb untuk surat Al Ikhlas ayat pertama. Kemudian kulihat sendiri penafsirannya untuk ayat tersebut. Ternyata penafsirannya adalah penafsiran yang sangat mengerikan. Tidak mungkin ada orang yang menyetujuinya kecuali orang yang menganut faham wahdah wujud (di alam semesta ini hanya ada satu yang wujud atau ada yaitu Allah).
Demikian pula penafsiran Sayyid Qutb untuk sifat Allah istiwa atau berada di atas ‘Arsy. Dia menafsirkan istiwa’ dengan hegomoni dan menguasai. Ini adalah penafsiran yang serupa dengan penafsiran Mu’tazilah dan Asy’ariyyah dan orang-orang yang sejalan dengan mereka. Mereka semua menafsirkan istawa‘ dengan istaula yang bermakna menguasai.
Singkat kata, buku tersebut belum pernah kubaca secara tuntas.
Meski demikian, aku tegaskan bahwa penulis buku tersebut telah meninggal dunia. Jika dia salah karena berijtihad niscaya Allah akan mengampuninya. Orang yang berijtihad dari umat ini jika benar akan mendapat dua pahala. Jika salah dalam berijtihad akan mendapat satu pahala.
Akan tetapi, jika dia salah karena tidak sungguh-sungguh dalam mencari kebenaran maka Allah lah yang mengurusi perkaranya.
Sedangkan untuk kita, sama sekali tidak boleh bagi kita untuk menjadikan prinsip beragama yang dianut seseorang atau buku tafsirnya sebagai pengikat hubungan di antara kita atau menjadikannya sebagai tolak ukur orang yang dicintai atau dibenci sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang pada zaman ini.
Banyak orang yang memiliki prinsip jika ada orang yang menyanjung Sayid Qutb maka dia adalah kekasih (baca:kawan) kita. Jika orang tersebut tidak menyanjung Sayid Qutb maka dia adalah musuh (baca:lawan) kita.
Ini adalah prinsip yang keliru. Kita berharap agar Allah mengampuni Sayid Qutb karena dia adalah bagian dari kaum muslimin yang bisa benar dan bisa salah.
Kita tidak boleh membicarakan pendapatnya yang benar ataupun yang salah untuk dijadikan sebab permusuhan di antara kita.
Buku-buku tafsir yang lain seribu kali lebih baik dari pada tafsir Sayid Qutb. Buku Fi Zhilal Al Qur’an sebenarnya juga bukan buku tafsir sebagaimana yang telah kusampaikan. Penulis hanya berputar di sekeliling makna ayat yang sesungguhnya dengan menggunakan kalimat-kalimat global. Di dalamnya juga terdapat berbagai kekeliruan yang sebagian di antaranya telah kusampaikan. Boleh jadi dalam buku tersebut terdapat kesalahan yang lebih banyak lagi. Karena memang aku belum menelusuri kesalahan-kesalahannya satu persatu.
Hendaknya kaum muslimin berkata tentang dirinya, “Dia sebagaimana manusia yang lain, bisa salah dan bisa benar. Kita berharap agar dia mendapatkan ampunan terkait kesalahan yang dia miliki. Dia telah meninggal dunia. Kita juga tidak memiliki kewenangan sedikit pun tentang nasibnya di akherat”.
Tentang buku tafsirnya, kunasehatkan kepada orang yang ingin mengetahui tafsir Al Qur’an dengan benar agar membaca buku-buku tafsir yang lain yang lebih baik dari pada buku tersebut”.
***
Jawaban Syeikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ini, beliau sampaikan dalam sesi tanya jawab setelah memberikan pengajian di hadapan para mahasiswa Universitas Al Imam Muhammad bin Saud pada malam Rabu tanggal 23 Dzulhijjah 1417 H di aula asrama mahasiswa Universitas Ibni Saud.
Lihat buku Washaya wa Taujihat li Thullab Al Ilmi hal 309-311 terbitan Dar Ibn Al Haitsam Mesir, cetakan pertama tahun 2005.
Kalimat yang ditebalkan di atas adalah dari kami.
Subhanallah, inilah sikap yang bijak terkait dengan Sayid Qutb. Sebagian orang demikian kagum dengan beliau sehingga menjadikan sikap seseorang terhadap Sayid Qutb sebagai tolak ukur orang yang menjadi kawan atau lawannya.
Di sisi lain, ada juga yang demikian benci dengan Sayid Qutb sehingga sikap seseorang terhadap beliau dia jadikan sebagai barometer kawan ataukah lawan.
Orang yang tidak membenci Sayid Qutb, terlebih lagi membelanya adalah ahli bid’ah atau dinilai keluar dari ahli sunnah apapun alasan orang tersebut sehingga tidak membenci dan memusuhi Sayid Qutb.
Padahal boleh jadi orang tersebut bersikap demikian karena dia tidak mengetahui kesalahan-kesalahan beliau. Bahkan sebatas pengetahuannya, Sayid Qutb adalah seorang pembela dan pejuang Islam.
Atau boleh jadi, dia bersikap demikian karena menurutnya apa yang dikatakan oleh sebagian orang sebagai kesalahan Sayid Qutb sebenarnya bukanlah sebuah kesalahan karena masih bisa dipahami dengan makna dan pemahaman yang baik dan benar.
Karena pada dasarnya kita berkewajiban untuk berbaik sangka dengan seorang muslim dan menafsirkan perkataan seorang muslim dengan penafsiran yang benar selama memungkinkan.
Dua sikap di atas bukanlah sikap yang benar. Yang benar adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Syeikh Ibnu Utsaimin yaitu kita tidak menjadikan sikap seseorang terhadap tokoh tertentu sebagai tolak ukur wala’ wal bara’ atau cinta dan benci atau sebagai parameter ahli sunnah atau ahli bid’ah.
Yang jadi tolak ukur penilaian adalah sikap seseorang terhadap dalil Al Qur’an dan sunnah serta hal-hal yang baku dan permanent dari akidah Ahli Sunnah. Hal-hal baku itulah perkara-perkara yang disepakati oleh para ulama ahli sunah dari zaman ke zaman. Sikap terhadap tokoh tertentu atau pendapat tokoh bukanlah tolak ukur kawan atau lawan, ahli sunnah ataukah bukan.
sumber : ustadz aris munandar
0 komentar:
Posting Komentar
Pribadi seseorang tercermin dari apa yang diucapkannya.