Beberapa
hadits lemah di sekitar RAMADHAN (Menurut Ulama' Hadits)
Hadits 1
صومواصوموا تصحوا
“Berpuasalah, kalian akan sehat.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun Nabawi sebagaimana
dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya(3/108), oleh Ath
Thabrani di Al Ausath(2/225),
oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227).
Hadits
ini dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di
Takhrijul Ihya (3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh Dha’ifah (253).
Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan mengatakan hadits ini maudhu (palsu)
dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).
Keterangan:
jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa
itu dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini benar, namun
tetap tidak boleh dianggap sebagai sabda Nabishallallahu’alaihi wa
sallam.
Hadits 2
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan
amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi diSyu’abul Iman (3/1437).
Hadits
ini dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul
Ihya (1/310). Al Albani juga mendhaifkan hadits ini dalamSilsilah Adh
Dha’ifah (4696).
Terdapat juga riwayat yang lain:
الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه
“Orang yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas ranjangnya.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif,
sebagaimana dikatakan oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).
Yang
benar, tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah.
Maka, sebagaimana perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah
jika diniatkan sebagai sarana
penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda
untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh
agar kuat dalam beribadah.
Sebaliknya,
tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh,
tidur karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur.
Keduanya, tentu tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur
yang tercela. Maka, hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan
sebagai kesempatan baik untuk memperbanyak amal kebaikan, bukan
bermalas-malasan.
Hadits 3
يا
أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل الله
صيامه فريضة ، و قيام ليله تطوعا ، و من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن
أدى فريضة فيما سواه ، و من أدى فريضة كان كمن أدى
سبعين فريضة فيما سواه ، و هو شهر الصبر و الصبر ثوابه الجنة ، و شهر
المواساة ، و شهر يزاد فيه رزق المؤمن ، و من فطر فيه صائما كان مغفرة
لذنوبه ، و عتق رقبته من النار ، و كان له مثل أجره من غير أن ينتقص من
أجره شيء قالوا : يا رسول الله ليس كلنا يجد ما يفطر الصائم ، قال : يعطي
الله هذا الثواب من فطر صائما على مذقة لبن ، أو تمرة ، أو شربة من ماء ، و
من أشبع صائما سقاه الله من الحوض شربة لايظمأ حتى يدخل الجنة ، و هو شهر
أوله رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار ،
“Wahai
manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat
satu malam yang lebih baik dari 1. 000 bulan.
Allah menjadikan puasa pada siang harinya sebagai sebuah kewajiban, dan
menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’ (sunnah). Barangsiapa
pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan satu kebaikan, ia
seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan yang lain.
Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah mengerjakan
70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran,
sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan
tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa
pada bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang
berpuasa, dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan
memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi
pahala orang yang berpuasa tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat
berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kita memiliki makanan untuk
diberikan kepada orang yang berpuasa.” Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam berkata, “Allah memberikan pahala tersebut
kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma, atau
satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan yang
permulaannya rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya
pembebasan dari api neraka.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam
Amaliyyah(293), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa(6/512), Al Mundziri
dalam Targhib Wat Tarhib (2/115)
Hadits
ini didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam At
Targhib Wat Tarhib (2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al
Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy(110), bahkan dikatakan oleh Abu Hatim Ar
Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah
(871) bahwa hadits ini Munkar.
Yang
benar, di seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya
terdapat ampunan Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang
mukmin untuk terbebas dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah
satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah:
من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه
“Orang
yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38, Muslim, no.760)
Dalam
hadits ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada
pertengahan Ramadhan saja. Lebih jelas lagi pada hadits yang
diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Rasulullah bersabda:
إِذَا
كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ،
وَمَرَدَةُ الجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ،
فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، فَلَمْ
يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الخَيْرِ
أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ
النَّارِ، وَذَلكَ كُلُّ لَيْلَةٍ
“Pada
awal malam bulan Ramadhan, setan-setan dan jin-jin jahat dibelenggu,
pintu neraka ditutup, tidak ada satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga
dibuka, tidak ada satu pintu pun yang ditutup. Kemudian Allah menyeru:
‘wahai penggemar kebaikan, rauplah sebanyak mungkin, wahai penggemar
keburukan, tahanlah dirimu’. Allah pun memberikan pembebasan dari
neraka bagi hamba-Nya. Dan itu terjadi setiap malam” (HR. Tirmidzi 682,
dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At
Tirmidzi)
Adapun
mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap amalan
sunnah kebaikan di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana amalan
wajib, dan amalan wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah
wajib diluar bulan Ramadhan, keyakinan ini tidaklah benar berdasarkan
hadits yang lemah ini. Walaupun keyakinan ini tidak benar, sesungguhnya
Allah ta’ala melipatgandakan pahala amalan kebaikan berlipat ganda
banyaknya, terutama ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Hadits 4
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم
“Biasanya
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika berbuka membaca doa:
Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka
antas samii’ul
‘aliim.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud
dalamSunan-nya (2358), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (4/1616), Ibnu
Katsir dalamIrsyadul Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalamBadrul Munir
(5/710)
Ibnu Hajar Al Asqalani berkata di Al
Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341) : “Hadits ini gharib, dan sanadnya lemah
sekali”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul
Authar (4/301), juga oleh Al Albani di Dhaif Al Jami’ (4350). Dan doa
dengan lafadz yang semisal, semua berkisar antara hadits lemah dan
munkar.
Sedangkan doa berbuka puasa yang tersebar dimasyarakat dengan lafadz:
اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين
“Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha
Penyayang.”
Hadits ini tidak terdapat di kitab
hadits manapun. Atau dengan kata lain, ini adalah hadits palsu.
Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qaari dalam kitab Mirqatul
Mafatih Syarh Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di
masyarakat dengan tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada
asalnya, walau secara makna memang benar.”
Yang benar, doa berbuka puasa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terdapat dalam hadits:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء
الله
/Dzahabaz zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/
(‘Rasa haus telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya Allah’)”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni (2/401), dan
dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani diHidayatur Ruwah, 2/232 juga
oleh Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud.
Hadits 5
من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله
“Orang
yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari di bulan Ramadhan, padahal
ia bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti
puasanya meski berpuasa terus menerus.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh
Abu Daud di Sunannya (2396), oleh
Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al Mughni (4/367), Ad
Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan Al Baihaqi di Sunan-nya
(4/228).
Hadits ini didhaifkan oleh Al Bukhari,
Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al Muhalla (6/183), Al Baihaqi, Ibnu Abdil
Barr dalam At Tamhid(7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif At Tirmidzi
(723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif Al Jami’ (5462) dan Silsilah Adh
Dha’ifah(4557). Namun, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan
hadits ini seperti Abu Hatim Ar Razi di Al Ilal (2/17), juga ada yang
menghasankan seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah (2/329)
dan Al Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171). Oleh karena itu, ulama
berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja
tidak berpuasa.
Yang benar -wal ‘ilmu
‘indallah- adalah penjelasan Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta (Komisi
Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa “Seseorang yang
sengaja tidak berpuasa tanpa udzur syar’i,ia harus bertaubat kepada
Allah dan mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.” (Periksa: Fatawa
Lajnah Daimah no. 16480, 9/191)
Hadits 6
لا تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء الله تعالى ولكن قولوا شهر رمضان
“Jangan menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.'”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalamSunan-nya (4/201), Adz Dzaahabi
dalamMizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa
(8/313), Ibnu Katsir diTafsir-nya (1/310).
Ibnul
Jauzi dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu. Namun,
yang benar adalah sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An
Nukat ‘alal Maudhuat (41) bahwa “Hadits ini dhaif, bukan
palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid
Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al Adzkar (475), oleh Ibnu Hajar Al
Asqalani dalam Fathul Baari (4/135) dan Al Albani dalam Silsilah Adh
Dhaifah(6768).
Yang benar adalah boleh
mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama karena
banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.
Hadits 7
أن شهر رمضان متعلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر
“Bulan Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat mengangkatnya kecuali zakat fithri.”
Hadits
ini disebutkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/157). Al
Albani mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib (664), dan Silsilah
Ahadits Dhaifah(43).
Yang benar,
jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan
tidak diterima jika belum membayar zakat fithri, keyakinan ini salah,
karena haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah syarat sah puasa Ramadhan,
namun jika seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri.
Hadits 8
رجب شهر الله ، وشعبان شهري ، ورمضان شهر أمتي
“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Adz Dzahabi diTartibul Maudhu’at (162, 183), Ibnu Asakir diMu’jam Asy Syuyukh (1/186).
Hadits
ini didhaifkan oleh di Asy Syaukani diNailul Authar (4/334), dan Al
Albani diSilsilah Adh Dhaifah (4400). Bahkan hadits ini dikatakan hadits
palsu oleh banyak ulama seperti Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at(162,
183), Ash Shaghani dalam Al
Maudhu’at (72), Ibnul Qayyim dalam Al Manaarul Munif (76), Ibnu Hajar
Al Asqalani dalam Tabyinul Ujab (20).
Hadits 9
من فطر صائما على طعام وشراب من حلال صلت عليه الملائكة في ساعات شهر رمضان وصلى عليه جبرائيل ليلة القدر
“Barangsiapa
memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang halal,
para malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadhan dan Jibril
bershalawat kepadanya di malam lailatul qadar.”
Hadist
ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/300), Al Baihaqi
diSyu’abul Iman (3/1441), Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Adh Dhuafa (3/318),
Al Mundziri dalamAt Targhib Wat Tarhib (1/152)
Hadits ini didhaifkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhuat (2/555), As Sakhawi dalamMaqasidul Hasanah (495), Al Albani dalamDhaif At
Targhib (654)
Yang benar,orang yang memberikan
hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala puasa orang yang diberi
hidangan tadi, berdasarkan hadits:
من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا
“Siapa
saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang
berpuasa, ia akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun
mengurangi pahalanya.” (HR. At Tirmidzi no 807, ia berkata: “Hasan
shahih”)
Hadits 10
رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : جهاد القلب
“Kita
telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para
sahabat bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda:
“Jihadnya hati melawan hawa nafsu.”
Menurut Al
Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh
Al Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf
(4/114) juga mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al
Kuna.
Hadits ini adalah hadits palsu.
Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu Fatawa (11/197), juga
oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al Asrar Al Marfu’ah (211). Al Albani
dalam Silsilah Adh Dhaifah (2460) mengatakan hadits ini Munkar.
Hadits
ini sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan, yaitu
untuk mengatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih
utama dari jihad berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya. Tidak ada seorang pun ulama
hadits yang berangapan seperti ini, baik dari perkataan maupun perbuatan
Nabi.
Selain itu jihad melawan orang kafir adalah amal yang paling mulia.
Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan amalan sunnah yang paling
dianjurkan.” (Majmu’ Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadits palsu
ini pun tidak benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan
yang paling mulia. Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan
Allah tentunya telah berhasil mengalahkan hawa nafsunya untuk
meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia sayangi.
Hadits 11
قال وائلة : لقيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عيد فقلت : تقبل الله منا ومنك ، قال : نعم تقبل الله منا ومنك
“Wa’ilah
berkata, “Aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
pada hari Ied, lalu aku berkata: Taqabbalallahu minna wa minka.” Beliau
bersabda: “Ya, Taqabbalallahu minna wa
minka.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu
Hibban dalam Al Majruhin (2/319), Al Baihaqi dalamSunan-nya (3/319), Adz
Dzahabi dalam Al Muhadzab (3/1246)
Hadits ini
didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhuafa (7/524), oleh Ibnu
Qaisirani dalam Dzakiratul Huffadz (4/1950), oleh Al Albani dalam
Silsilah Adh Dhaifah (5666).
Yang benar, ucapan ‘Taqabbalallahu Minna Wa Minka’ diucapkan sebagian sahabat berdasarkan sebuah riwayat:
كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم لبعض : تقبل الله منا ومنك
Artinya:
“Para
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika saling
berjumpa di hari Ied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu Minna Wa Minka
(Semoga Allah menerima amal ibadah saya dan amal ibadah
Anda)”
Atsar
ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Mughni (3/294), dishahihkan
oleh Al Albani dalam Tamamul Minnah (354). Oleh karena itu, boleh
mengamalkan ucapan ini, asalkan tidak diyakini sebagai hadits
Nabishallallahu’alaihi wa sallam.
Hadits 12
خمس تفطر الصائم ، وتنقض الوضوء : الكذب ، والغيبة ، والنميمة ، والنظر بالشهوة ، واليمين الفاجرة
“Lima
hal yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah,
namimah, melihat lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Jauraqani diAl Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131)
Hadits ini adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al Maudhu’at (1131), Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah
(1708).
Yang benar, lima hal tersebut bukanlahpembatal puasa, namun pembatal pahala puasa. Sebagaimana hadits:
من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة أن يدع طعامه وشرابه
“Orang
yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, serta
mengganggu orang lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.” (HR.
Bukhari, no.6057)
*Ditulis oleh Ustadz Agung Cahyadi (Ikadi Jawa Timur)
0 komentar:
Posting Komentar
Pribadi seseorang tercermin dari apa yang diucapkannya.