Betapa banyak dari sebagian bahkan mayoritas kaum muslimin
mengharapkan dapat menjadi seseorang yang salih, yang senantiasa taat dalam
menjalankan setiap aktivitas ibadahnya kepada Allah SWT. Hal ini tidak salah,
bahkan menjadi anjuran yang ditekankan oleh agama, sebagaimana yang disabdakan
Rasulullah shollallahu’alaihi wa sallam dalam sebuah hadits,
“Sesungguhnya
Allah Ta’ala berfirman, ‘Wahai anak Adam!, beribadahlah sepenuhnya kepadaKu,
niscaya Aku penuhi (hatimu yang ada) di dalam dada dengan kekayaan dan Aku
penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan niscaya Aku penuhi tanganmu
dengan kesibukan dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu (kepada manusia)”
(H.R Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah & Hakim)
Ibadah-ibadah yang bersifat mahdhoh ini tentu saja akan
meningkatkan level kesalihan seseorang secara individu. Namun cukupkah
seseorang dengan kesalihan individu tersebut mendapatkan derajat yang tinggi di
hadapan Allah ta’ala?
Kebanyakan orang menilai bahwa kesalihan seseorang dapat diukur
dari banyaknya aktivitas-aktivitas ibadah ritualnya saja, misal dari banyaknya
sholat yang dikerjakan, banyaknya puasa, ataupun bacaan dzikirnya. Padahal Rasulullah
shollallahu’alaihi wa sallam justru lebih menekankan aspek kesalihan sosial
daripada sekedar kesalihan individu.
Mari kita cermati beberapa buah hadits dari Rasulullah shollallahu’alaihi
wa sallam berikut,
“Demi Allah tidak beriman. Demi Allah
tidak beriman. Demi Allah tidak beriman. Para sahabat RA. bertanya: Siapakah
gerangan ya Rasulallah? Beliau menjawab: “Dia adalah seseorang yang membuat
tetangganya tidak merasa aman dari gangguan dan keburukannya” (HR. Al-Hakim).
“Tidaklah beriman kepadaku seseorang yang
tidur malam dengan kenyang, sedangkan ia tahu bahwa, tetangga sebelahnya tengah
kelaparan” (HR. At-Thabrani, Al-Bazzar dan lain-lain, serta dihasankan oleh
Al-Albani).
Dalam hadits di atas jelas bahwa Rasulullah shollallahu’alaihi
wa sallam sangat menekankan aspek kepedulian sosial dalam menentukan
parameter keimanan seseorang. Bahkan beliau shollallahu’alaihi wa sallam sampai
mengatakan tidak beriman seseorang yang membiarkan tetangganya kelaparan. Subhanallah
!
Dalam hadits yang
lain Rasulullah shollallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Penyantun janda tua dan orang miskin itu
nilainya setara dengan orang yang berjihad fi sabilillah, atau seperti orang
yang berpuasa tanpa putus dan yang shalat malam tanpa henti” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda: “Maukah kalian Aku beri tahu tentang amal yang lebih tinggi daripada
derajat puasa, shalat dan sedekah?”. Para ahabat menjawab: Tentu saja kami mau.
Beliau lalu melanjutkan sabdanya: “Yaitu mendamaikan hubungan sesama. Karena
rusaknya hubungan sesama itu ibarat gunting penyukur. Tapi bukan gunting yang
mencukur rambut, melainkan yang menggunting agama”
(HR. Abu Dawud).
“Muslim yang baik adalah ketika orang
lain telah merasa aman dari gangguan lidah dan tangannya” (HR. Al-Bukhari dan
Muslim).
Sejenak kembali kita renungkan hadits di atas. Betapa banyak dari golongan
salafussalih menginginkan agar dapat melaksanakan jihad di jalan Allah
dan shalat malam. Karena memang amalamn-amalan ibadah itu adalah amalan yang
amat agung pahalanya. Namun kembali beliau shollallahu’alaihi wa sallam menegaskan
bahwa menyantuni fakir miskin dan mendamaikan sesama manusia adalah lebih afdhal
(utama) dari semua ibadah ritual individu.
Begitulah islam mengajarkan kepada manusia. Dari sisi kemanusiaan
pun islam tidak memperkenankan egoisme walaupun untuk kepentingan ibadah
sekalipun. Islam adalah agama terdepan dalam mengusung konsep sosialitas dan
solidaritas antar sesama. Dan memang benar, dengan kesalihan sosial ini islam
akan tampil lebih indah dan mempesona di mata pemeluk agama lain.
Dengan semua itu, maka tak cukup bagi kita seorang muslim merasa
puas atas capaian kesalihan individu saja. Saatnya menjadi muslim yang lebih
bermanfaat untuk sesama.
“Sebaik-baik
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”.
(HR.
Ahmad, Thabrani)
0 komentar:
Posting Komentar
Pribadi seseorang tercermin dari apa yang diucapkannya.