Demokrasi, seakan adalah sebuah penyakit
yang telah berhasil menjangkiti umat islam dan membawa mereka ke dalam
perpecahan. Memang tak bisa dipungkiri bahwa perdebatan tentang demokrasi sudah
terjadi di tataran para ulama yang akhirnya melahirkan berbagai macam fatwa
dengan segala kontroversinya.
Ulama Islam pro demokrasi sering
melontarkan ucapan bahwa bila aktivis anti demokrasi harus konsekuen ketika
mereka menolak demokrasi, maka harus total jangan menikmati hasil demokrasi
dalam arti hal-hal yang disediakan oleh negara ini. Hal ini pun disambut oleh
aktivis anti demokrasi dengan menolak total segala bentuk yang terkait
demokrasi bahkan diiringi dengan tindak berlebihan dengan
pengkafiran-pengkafiran kepada semua orang yang bersinggungan dengan unsur
negara demokrasi.
Hal-hal yang sering didengungkan seputar
kebathilan demokrasi tak lepas dari, proses tahkim (berhukum kepada selain
hukum Allah), tasyri’ (membuat hukum dan menyampingkan hukum Allah) dan segala
bentuk turunan dari kedua hal diatas yang secara langsung berkonsekuensi haram,
kufur ataupun syirik. Bahwa untuk memperoleh kejayaan islam adalah dengan
kesungguhan mengikuti hukum Allah dan bukan malah dengan mengikuti sistem
jebakan demokrasi yang dibuat oleh Amerika dan Yahudi. Ulama anti demokrasi
sering memperingatkan bahwa apa yang terjadi di Mesir dan Aljazair merupakan
sebuah pelajaran bahwa perjuangan melalui kotak suara tak akan bisa
menyelesaikan masalah, justru menambah masalah.
Sementara pihak yang pro demokrasi memandang
bahwa sistem demokrasi ini adalah sistem pemerintahan terakhir (pilihan
terakhir) yang paling bisa dimanfaatkan untuk penyelenggaraan Negara yang
berhukum kepada hukum Allah ketimbang sistem pemerintahan lain, misal sistem
kapitalis, komunis, diktatoris atau liberalis. Akhirnya pihak pro demokrasi
mengatakan bahwa demokrasi tidak serta merta begitu saja dianggap sebagai
sistem kufur. Alasannya, karena demokrasi itu tidak ada standar yang baku.
Sebab dengan sistem ini seorang ulama bisa jadi Presiden atau ketua MPR. Dari
sisi hukum bisa terjadi misalnya sebuah Undang-undang dibatalkan oleh
sekelompok ulama, karena dianggap merugikan umat Islam. Padahal di Negara
demokrasi lain hal ini tidak mungkin terjadi. Di Negara demokrasi dimana umat
Islam mayoritas, bisa terjadi suatu Undang-undang berlandaskan hukum-hukum
Islam. Jadi sistem ini bisa diarahkan untuk menerapkan hukum Allah, jika umat
Islam memiliki SDM yang cukup. Faktanya di Negara demokrasi seperti Indonesia
bisa lahir hukum pernikahan Islam, hukum pengharaman miras, judi, perzinaan,
pencurian dsb. Jadi kalau orang ragu untuk hidup di tengah sistem demokrasi
atau tidak ikut memperjuangkan Islam melalui sistem demokrasi maka ia akan dimanfaatkan
oleh mereka yang menggunakan demokrasi untuk menguasai kaum muslimin. Ini bisa menjadi sangat tragis.
Seakan perdebatan semakin seru ketika adu
argumen terus terjadi. Ulama anti demokrasi berpendapat bahwa produk demokrasi
berupa pelayanan negara terhadap rakyatnya seperti subsidi-subsidi
kebutuhan-kebutuhan rakyat dan bentuk pelayanan lain hakikatnya adalah hak
rakyat sendiri yang harus ditunaikan oleh negara tanpa melihat sistem yang
dianut oleh negara tersebut. Pasalnya negara yang tidak menganut sistem
demokrasi pun melakukan hal yang sama, itupun ditambah bahwa subsidi-subsidi
itu juga berasal dari uang rakyat yang ditarik oleh pemerintah melalui pajak.
Jadi menikmati pelayanan Negara tersebut seperti pengurusan KTP, buku nikah, dan
pos-pos pelayanan masyarakat yang lain, menurut para aktivis anti demokrasi
hakikatnya adalah mengambil kembali hak rakyat yang diambil oleh negara berupa
pajak dan lain-lain. Para aktivis anti demokrasi menganggap memanfaatkan
subsidi Negara demokrasi adalah bukan sebagai tindakan berdemokrasi tapi
sebagai tindakan memanfaatkan celah demokrasi. (sumber : sahabat mpi)
Sementara itu ulama-ulama dan aktivis
demokrasi kurang bisa menerima alasan tersebut karena bagaimanapun, hal itu
adalah salah satu ‘manfaat’ yang diperoleh kaum muslimin dari paket sistem
negara demokrasi ini. Ulama pro demokrasi menganggap bahwa umat islam saat ini
tidak bisa lepas dari faktor realita yang mengharuskan mereka hidup di sebuah Negara
demokrasi. Oleh karena kaum muslimin tidak bisa lepas dari kondisi realita
tersebut, ulama-ulama pro demokrasi menyerukan untuk melakukan perjuangan
politik masuk ke dalam parlemen dan mendirikan partai dakwah untuk melakukan
islamisasi dari dua arah, yakni bottom-top dan top-bottom. Partai
dakwah yang telah dibentuk diharapkan mampu untuk melakukan islamisasi terhadap
undang-undang Negara sehingga hukum Allah dapat ditegakkan. Sementara di sisi
lain kader-kader partai islam ini tetap melakukan kerja-kerja dakwah, melakukan
pembinaan-pembinaan keluarga dan masyarakat sehingga tatkala undang-undang
sudah berprinsip pada hukum Allah, masyarakat sudah menerima dan siap
melaksanakan undang-undang Negara yang berafiliasi kepada hukum Allah.
Kesimpulan dari masing-masing pihak
adalah, ulama anti demokrasi sama sekali tidak ingin berkompromi dengan
demokrasi karena topik ini adalah sudah menyangkut ke ranah aqidah yang dapat
menyeret para pelaku demokrasi ke dalam jurang kekufuran. Sementara ulama-ulama
pro demokrasi, secara ideologis tetap menganggap bahwa demokrasi adalah sistem
kufur yang harus umat islam tolak dengan tegas dalam hati, namun dibarengi
dengan sikap realistis bahwa umat islam sekarang berada pada pilihan hidup di
sebuah Negara demokrasi yang tak bisa dihindari.
Bagaimanakah harus bersikap
Lantas, bagaimanakah kita harus bersikap?
Kepada siapakah kita harus memberi dukungan? Sebelum menjawab pertanyaan ini
akan disampaikan bahwa dalam agama islam ada sebuah konsep yang bernama
ijtihad, dimana dalam islam ijtihad merupakan sumber hukum ketiga yang dapat
digunakan kaum muslimin setelah Al Quran dan Hadist.
“Apabila
seorang mujtahid (hakim) akan
memutuskan perkara, lalu ia melakukan ijtihad,
kemudian ijtihadnya benar,
maka ia memperoleh dua
pahala (pahala ijtihad
dan pahala kebenarannya). Jika mujtahid
(hakim) akan memutuskan perkara, dan ia
berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya
salah, maka ia mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya)."
(Riwayat
Bukhari Muslim).
Maka
dari hadist di atas telah jelas bahwa hasil ijtihad dari ulama-ulama yang shalih
yang senantiasa menjaga agamanya, tidak ada alasan bagi kita untuk mencela
fatwa-fatwa mereka apalagi sampai menghujatnya. Insha Allah mereka telah
berijtihad, dan jika salah pun adalah mendapat satu pahala.
Yang kedua adalah ibroh (hikmah) dari
shiroh nabawi tentang kisah sahabat yang memasuki perkampungan bani Quroizhoh
saat perang Ahzab. Rasullullah shollalhu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Janganlah ada satupun
yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu ada di antara
mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah jalan, maka berkatalah sebagian
mereka:”Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain mengatakan:”Bahkan
kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau inginkan dari kita.” Kemudian
hal itu disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam namun
beliau tidak mencela yang manapun.”
(H.R Bukhori Muslim)
Dari hadits ini, jumhur ulama mengambil kesimpulan tidak
ada dosa atas mereka yang sudah berijtihad, karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak mencela salah satu dari dua kelompok
sahabat tersebut.
Yang ketiga yang paling berat adalah harus adanya
kehati-hatian dalam perkara kafir mengkafirkan. Sifat iman dan takwa sewajarnya
tidak membuat seorang individu muslim itu tidak terburu-buru dalam masalah
takfir (mengkafirkan) individu Muslim yang lain. Ini karena implikasinya yang
besar dan berat terhadap kedua tertuduh dan yang menuduh. Implikasinya terhadap
yang menuduh jika tuduhannya tidak benar; tuduhan kafir itu akan terpantul
semula kepadanya. Sabda Nabi Muhammad SAW:
“Barang siapa berkata
kepada saudaranya, 'Wahai kafir’, maka pengkafiran itu akan kembali kepada
seorang daripada mereka; sama ada ungkapan itu benar atau ia akan kembali
kepadanya.” (Riwayat Bukhari & Muslim)
Maka perihal
masalah takfir ini adalah bukan bahasan kita sebagai orang amah yang belum
banyak mengerti tentang ilmu agama. Hukuman kafir tidak boleh diambil mudah dan
dijatuhkan secara terburu-buru karena terbawa emosi, perbedaan pendapat atau
pandangan politik.
Saatnya Menentukan Pilihan
Maka setelah masing-masing
pihak memahami konteks ini dengan baik, maka tidak perlu lagi ada perdebatan
tema di luar konteks yang biasanya hanya akan menimbulkan perselisihan atau
minimal ketidakenakan hati sesama kaum muslimin. Mari kita renungkan dengan
penuh kejujuran dan tanggung jawab, kira-kira kepada pihak manakah pilihan kita
akan berlabuh?
Memilih anti demokrasi
dengan niat dan kesungguhan menjaga izzah agama namun dengan konsekuensi Negara
akan dikuasai orang-orang jahat, dikuasai muslim yang fasik bahkan orang-orang
kuffar. Dan kondisi seperti itu telah terjadi di negara-negara timur tengah
dengan peperangan berdarah dan konflik bersenjata. Tentu saja ini menjadi ‘surga’
bagi kaum muslimin yang mengusung ideologi jihad fisabilillah. Lantas apakah
pilihan ini sesuai jika diterapkan di Negara kita Indonesia? Seandainya
Indonesia telah dipimpin oleh pemimpin muslim namun sekuler lagi fasik yang
memimpin Negara dengan tidak adil, apakah pilihan jihad ini adalah pilihan
terbaik?
Atau memilih perjuangan
pro demokrasi, dengan menimbang besar kecilnya maslahat yang diterima kaum
muslimin, mendirikan partai dakwah, melakukan metode dakwah kepada masyarakat
yang lebih moderat dan mudah diterima, membangun kesadaran masyarakat tentang
berislam yang sempurna. Tentunya dengan konsekuensi, seberapa besar diri kita
siap menerima syubhat-syubhat demokrasi? Siapkah para elit dan kader partai dakwah
terkena silaunya gemerlap kekuasaan dan harta dunia yang menggiurkan? Seberapa
siap kaum muslimin menghadapi ancaman kudeta militer?
Pilihan ada di tangan
Anda. Selamat berjuang !
Terdera Hingar Bingar
Politik
Menunggu Datangnya
Ramadhan
Surabaya,
6 Jumadil Tsani 1435 H
7 April 2014
0 komentar:
Posting Komentar
Pribadi seseorang tercermin dari apa yang diucapkannya.